Masjid Jami As-Salafiyah (1620) Jatinegara Kaum

Sekitar bulan Mei tahun 1619 di daerah Mangga Dua, pasukan Pangeran Jayawikarta---selanjutnya lebih dikenal dengan Jayakarta, berhadap-hadapan dengan tentara Pemerintah Hindia Belanda pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pietersen Coen. Pertempuran sengit terjadi, dan pasukan Pangeran Jayakarta terdesak.

Pasukan Belanda mengepung dari arah Senen, Pelabuhan Sunda Kelapa dan Tanjung Priok. Karena terjepit Pangeran Jayakarta dan pasukannya bergerak mundur ke timur hingga daerah Sunter, lalu ke selatan. Sambil terus bergerak ke selatan, ketika itu Pangeran Jayakarta membuang jubahnya ke sebuah sumur tua.

Mengira Pangeran Jayakarta telah tewas kedalam sumur tua itu, Pasukan Belanda menghentikan pengejaran dan menimbun sumur itu dengan tanah. Melihat situasi yang tidak memungkinkan untuk kembali, Pangeran Jayakarta dan sisa pengikutnya meneruskan perjalanan terus ke selatan. Sampailah mereka ke sebuah hutan jati yang lebat. Untuk sementara mereka beristirahat di tepi Kali Sunter yang membelah hutan itu yang kemudian dikenal masih bagian dari daerah Jatinegara.

Seterusnya Pangeran Jayakarta dan pengikutnya menetap dan membangun perkampungan baru di tempat itu. Perkampungan berkembang dengan kehadiran kaum pendatang lainnya. Dikisahkan, karena di tempat itu masih banyak hutan jati maka sumber ekonomi masyarakatnya mengandalkan diri dari kerajinan kayu jati. Inilah mungkin mengapa daerah Klender-berdekatan dengan Jatinegara Kaum, dikenal sebagai pusat industri furnitur hingga kini.

Mulai tahun 1620, Pangeran Jayakarta membangun sebuah masjid yang lokasinya berdekatan dengan Kali Sunter. Dahulu sebelum bernama Masjid As-Salafiyah, masjid ini dikenal dengan sebutan Masjid Pangeran Jayakarta. Dalam perkembangannya, masjid ini rupanya digunakan oleh Pangeran Jayakarta untuk menggalang kekuatan kembali. Berpuluh-puluh tokoh masyarakat dan jawara serta ulama seringkali berkumpul di masjid ini menyusun strategi perjuangan dan dakwah Islam.

Tahun 1700 Pangeran Sugeri, putera Sultan Fatah dari Banten, memugar masjid ini. Sebelumnya bersama-sama dengan Pangeran Jayakarta, Sugeri dan Fatah yang terbuang dari Kesultanan Banten ini---karena Sultan Haji saudara Sultan Fatah melakukan kup dibantu Belanda, berjuang melawan Pemerintah Hindia Belanda di Batavia. Pangeran Jayakarta dan Pangeran Sugeri kemudian dimakamkan di komplek masjid bertiang penyangga jati ini.

Tercatat beberapa peninggalan sejarah masjid ini hilang tak ketahuan rimbanya. Yang tersisa hanya empat tiang penyangga dan sebuah kaligrafi Arab berbentuuk sarang tawon di dalam plafon menara masjid. Seperti nasib masjid tua lainnya, As Salafiyah sekarang lebih terlihat lapang. Penampilannya pun terkesan mewah dengan keramik dan marmer menutupi hampir seluruh temboknya. Persis sama dengan masjid-masjid seumurnya, tampaknya ukuran asli As Salafiyah hanya seluas empat pilar dengan selasar sepanjang 5 meter di setiap sisinya---separuh bagian barat bangunan. Dan inilah masjid tua yang paling banyak memiliki makam di sisi selatan, barat, dan utara.

Mudah saja memilih angkutan untuk menuju ke Masjid As-Salafiyah. Terminal Pulogadung atau Pasar Klender adalah terminal yang terdekat dengan masjid. Dari Senen ada MetroMini T-47, dari Kampung Rambutan ada Patas 98, dari Rawamangun ada Angkot T-26, dan dari Kampung Melayu ada Kopaja T-501.

No comments:

Post a Comment