Manfaat Siwak

Sejarah Penggunaan Siwak (Salvadora persica)

Penggunaan alat-alat kebersihan mulut telah dimulai semenjak berabad-abad lalu. Manusia terdahulu menggunakan alat-alat kebersihan yang bermacam-macam seiring dengan perkembangan sosial, teknologi dan budaya. Beraneka ragam peralatan sederhana dipergunakan untuk membersihkan mulut mereka dari sisa-sisa makanan, mulai dari tusuk gigi, batang kayu, ranting pohon, kain, bulu burung, tulang hewan hingga duri landak. Diantara peralatan tradisional yang mereka gunakan dalam membersihkan mulut dan gigi adalah kayu siwak atau chewing stick. Kayu ini walaupun tradisional, merupakan langkah pertama transisi/peralihan kepada sikat gigi modern dan merupakan alat pembersih mulut terbaik hingga saat ini.

Miswak (Chewing Stick) telah digunakan oleh orang Babilonia semenjak 7000 tahun yang lalu, yang mana kemudian digunakan pula di zaman kerajaan Yunani dan Romawi, oleh orang-orang Yahudi, Mesir dan masyarakat kerajaan Islam. Siwak memiliki nama-nama lain di setiap komunitas, seperti misalnya di Timur Tengah disebut dengan miswak, siwak atau arak, di Tanzania disebut miswak, dan di Pakistan dan India disebut dengan datan atau miswak. Penggunaan chewing stick (kayu kunyah) berasal dari tanaman yang berbeda-beda pada setiap negeri. Di Timur Tengah, sumber utama yang sering digunakan adalah pohon Arak (Salvadora persica), di Afrika Barat yang digunakan adalah pohon limun (Citrus aurantifolia) dan pohon jeruk (Citrus sinesis). Akar tanaman Senna (Cassiva vinea) digunakan oleh orang Amerika berkulit hitam, Laburnum Afrika (Cassia sieberianba) digunakan di Sierre Leone serta Neem (Azadirachta indica) digunakan secara meluas di benua India.

Meskipun siwak sebelumnya telah digunakan dalam berbagai macam kultur dan budaya di seluruh dunia, namun pengaruh penyebaran agama Islam dan penerapannya untuk membersihkan gigi yang paling berpengaruh. Istilah siwak sendiri pada kenyatannya telah umum dipakai selama masa kenabian Nabi Muhammad yang memulai misinya sekitar 543 M. Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “Seandainya tidak memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap akan sholat (dalam riwayat lain : setiap akan berwudhu’).” Nabi memandang kesehatan dan kebersihan mulut adalah penting, sehingga beliau senantiasa menganjurkan pada isterinya untuk selalu menyiapkan siwak untuknya hingga akhir hayatnya.

Siwak terus digunakan hampir di seluruh bagian Timur Tengah, Pakistan, Nepal, India, Afrika dan Malaysia, khususnya di daerah pedalaman. Sebagian besar mereka menggunakannya karena faktor religi, budaya dan sosial. Ummat Islam di Timur Tengah dan sekitarnya menggunakan siwak minimal 5 kali sehari disamping juga mereka menggunakan sikat gigi biasa. Penelitian yang dilakukan oleh Erwin dan Lewis (1989) menyatakan bahwa pengguna siwak memiliki relativitas yang rendah dijangkiti kerusakan dan penyakit gigi meskipun mereka mengkonsumsi bahan makanan yang kaya akan karbohidrat.

Morfologi dan Habitat Tanaman Siwak

Siwak atau Miswak, merupakan bagian dari batang, akar atau ranting tumbuhan Salvadora persica yang kebanyakan tumbuh di daerah Timur Tengah, Asia dan Afrika. Siwak berbentuk batang yang diambil dari akar dan ranting tanaman arak (Salvadora persica) yang berdiameter mulai dari 0,1 cm sampai 5 cm. Pohon arak adalah pohon yang kecil seperti belukar dengan batang yang bercabang-cabang, berdiameter lebih dari 1 kaki. Jika kulitnya dikelupas berwarna agak keputihan dan memiliki banyak juntaian serat. Akarnya berwarna cokelat dan bagian dalamnya berwarna putih. Aromanya seperti seledri dan rasanya agak pedas.

Siwak berfungsi mengikis dan membersihkan bagian dalam mulut. Kata siwak sendiri berasal dari bahasa arab ‘yudlik’ yang artinya adalah memijat (massage). Siwak lebih dari sekedar sikat gigi biasa, karena selain memiliki serat batang yang elastis dan tidak merusak gigi walaupun di bawah tekanan yang keras, siwak juga memiliki kandungan alami antimikrobial dan antidecay system (sistem antipembusuk). Batang siwak yang berdiameter kecil, memiliki kemampuan fleksibilitas yang tinggi untuk menekuk ke daerah mulut secara tepat dan dapat mengikis plak pada gigi. Siwak juga aman dan sehat bagi perkembangan gusi.

Kandungan Kimia Batang Kayu Siwak

Al-Lafi dan Ababneh (1995) melakukan penelitian terhadap kayu siwak dan melaporkan bahwa siwak mengandung mineral-mineral alami yang dapat membunuh dan menghambat pertumbuhan bakteri, mengikis plaque, mencegah gigi berlubang serta memelihara gusi. Siwak memiliki kandungan kimiawi yang bermanfaat, meliputi :

Antibacterial Acids, seperti astringents, abrasive dan detergent yang berfungsi untuk membunuh bakteri, mencegah infeksi, menghentikan pendarahan pada gusi. Penggunaan kayu siwak yang segar pertama kali, akan terasa agak pedas dan sedikit membakar, karena terdapat kandungan serupa mustard yang merupakan substansi antibacterial acid tersebut.

Kandungan kimiawi seperti Klorida, Pottasium, Sodium Bicarbonate, Fluorida, Silika, Sulfur, Vitamin C, Trimetilamin, Salvadorin, Tannin dan beberapa mineral lainnya yang berfungsi untuk membersihkan gigi, memutihkan dan menyehatkan gigi dan gusi. Bahan-bahan ini sering diekstrak sebagai bahan penyusun pasta gigi.

Minyak aroma alami yang memiliki rasa dan bau yang segar, yang dapat menyegarkan mulut dan menghilangkan bau tidak sedap.

Enzim yang mencegah pembentukan plak yang merupakan penyebab radang gusi dan penyebab utama tanggalnya gigi secara prematur.

Anti Decay Agent (Zat anti pembusukan) dan Antigermal System, yang bertindak seperti Penicilin menurunkan jumlah bakteri di mulut dan mencegah terjadinya proses pembusukan. Siwak juga turut merangsang produksi saliva, dimana saliva sendiri merupakan organik mulut yang melindungi dan membersihkan mulut.

Menurut laporan Lewis (1982), penelitian kimiawi terhadap tanaman ini telah dilakukan semenjak abad ke-19, dan ditemukan sejumlah besar klorida, fluor, trimetilamin dan resin. Kemudian dari hasil penelitian Farooqi dan Srivastava (1990) ditemukan silika, sulfur dan vitamin C. Kandungan kimia tersebut sangat bermanfaat bagi kesehatan gigi dan mulut dimana trimetilamin dan vitamin C membantu penyembuhan dan perbaikan jaringan gusi. Klorida bermanfaat untuk menghilangkan noda pada gigi, sedangkan silika dapat bereaksi sebagai penggosok. Kemudian keberadaan sulfur dikenal dengan rasa hangat dan baunya yang khas, adapun fluorida berguna bagi kesehatan gigi sebagai pencegah terjadinya karies dengan memperkuat lapisan email dan mengurangi larutnya terhadap asam yang dihasilkan oleh bakteri.

Siwak sebagai zat antibakterial

El-Mostehy dkk (1998) melaporkan bahwa tanaman siwak mengandung zat-zat antibakterial. Darout et al. (2000) Melaporkan bahwa antimikrobial dan efek pembersih pada miswak telah ditunjukkan oleh variasi kandungan kimiawi yang dapat terdeteksi pada ekstraknya. Efek ini dipercaya berhubungan dengan tingginya kandungan Sodium Klorida dan Pottasium Klorida seperti salvadourea dan salvadorine, saponin, tannin, vitamin C, silika dan resin, juga cyanogenic glycoside dan benzylsothio-cyanate. Hal ini dilaporkan bahwa komponen anionik alami terdapat pada spesies tanaman ini yang mengandung agen antimikrobial yang melawan beberapa bakteri. Nitrat (NO3-) dilaporkan mempengaruhi transportasi aktif porline pada Escherichia coli seperti juga pada aldosa dari E. coli dan Streptococcus faecalis. Nitrat juga mempengaruhi transport aktif oksidasi fosforilasi dan pengambilan oksigen oleh Pseudomonas aeruginosa dan Stapyhylococcus aureus sehingga terhambat.

Menurut hasil penelitian Gazi et al. (1987) ekstrak kasar batang kayu siwak pada pasta gigi yang dijadikan cairan kumur, dikaji sifat-sifat antiplaknya dan efeknya terhadap komposisi bakteri yang menyusun plak dan menyebabkan penurunan bakteri gram negatif batang.

Penyusun (2005) di dalam skripsi yang berjudul “Pengaruh Ekstrak Serbuk Kayu Siwak (Salvadora persica) Terhadap Pertumbuhan Bakteri Streptococcus mutans Dan Staphylococcus aureus Dengan Metode Difusi Lempeng Agar” menemukan bahwa ekstrak serbuk kayu siwak bersifat antibakterial sedang terhadap bakteri S. mutans dan S. aureus.

Siwak sebagai “oral cleaner device” (alat pembersih mulut)

Siwak sangat efektif sebagai alat pembersih mulut. Almas (2002) meneliti perbandingan pengaruh antara ekstrak siwak dengan Chlorhexidine Gluconate (CHX) yang sering digunakan sebagai cairan kumur (mouthwash) dan zat anti plak pada dentin manusia dengan SEM (Scanning Electron Microscopy). Almas melaporkan bahwa 50% ekstrak siwak dan CHX 0,2% memiliki efek yang sama pada dentin manusia, namun ekstrak siwak lebih banyak menghilangkan lapisan noda-noda (Smear layer) pada dentin.

Sebuah penelitian tentang Periodontal Treatment (Perawatan gigi secara berkala) dengan mengambil sampel terhadap 480 orang dewasa berusia 35-65 tahun di kota Makkah dan Jeddah oleh para peneliti dari King Abdul Aziz University Jeddah, menunjukkan bahwa Periodontal Treatment untuk masyarakat Makkah dan Jeddah adalah lebih rendah daripada treatment yang harus diberikan kepada masyarakat di negara lain, hal ini mengindikasikan rendahnya kebutuhan masyarakat Makkah dan Jeddah terhadap Periodontal Treatment.

Penelitian lain dengan menjadikan serbuk (powder) siwak sebagai bahan tambahan pada pasta gigi dibandingkan dengan penggunaan pasta gigi tanpa campuran serbuk siwak menunjukkan bahwa prosentase hasil terbaik bagi kesehatan gigi secara sempurna adalah dengan menggunakan pasta gigi dengan butiran-butiran serbuk siwak, karena butiran-butiran serbuk siwak tersebut mampu menjangkau sela-sela gigi secara sempurna dan mengeluarkan sisa-sisa makanan yang masih bersarang pada sela-sela gigi. Hal ini yang mendorong perusahaan-perusahaan pasta gigi di dunia menyertakan serbuk siwak ke dalam produk pasta gigi mereka. WHO (World Health Organization) turut menjadikan siwak sebagai salah satu komoditas kesehatan yang perlu dipelihara dan dibudidayakan.

(Diadopsi dari Skripsi penyusun yang berjudul “PENGARUH EKSTRAK SERBUK KAYU SIWAK (Salvadora persica) TERHADAP PERTUMBUHAN BAKTERI Streptococcus mutans DAN Staphylococcus aureus DENGAN METODE DIFUSI LEMPENG AGAR), 2005, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya
Lanjut

Cinta Rasulullah Terhadap Umatnya

Islam sampai kepada kita saat ini tidak lain berkat jasa Baginda Rasulullah Muhammad Saw sebagai sosok penyampai risalah Allah yang benar dan di ridhai. Dan nanti di padang mahsyar, tiap umat Islam pasti akan meminta syafa’at dari beliau dan menginginkan berada di barisan beliau. Namun, pengakuan tidaklah cukup sekedar pengakuan. Pasti yang mengaku umat beliau akan berusaha mengikuti jejak beliau dengan jalan mengikuti sunnah-sunnah beliau dan senantiasa membasahi bibir ini dengan mendoakan beliau dengan cara memperbanyak shalawat kepada Rasulullah

Sejarah tak akan mampu mengingkari betapa indahnya akhlak dan budi pekerti Rasulullah tercinta, Sayyidina Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam hingga salah seorang istri beliau, Sayyidatina Aisyah mengatakan bahwa akhlak Rasulullah adalah “Al-Qur’an”. Tidak satu perkataan Rasulullah merupakan implementasi dari hawa nafsu beliau, melainkan adalah berasal dari wahyu ilahi. Begitu halus dan lembutnya perilaku keseharian beliau. Rasulullah adalah sosok yang mandiri dengan sifat tawadhu’ yang tiada tandingnya.

Beliau pernah menjahit sendiri pakaiannya yang koyak tanpa harus menyuruh istrinya. Dalam berkeluarga, beliau adalah sosok yang ringan tangan dan tidak segan-segan untuk membantu pekerjaan istrinya di dapur. Selain itu dikisahkan bahwa beliau tiada merasa canggung makan disamping seorang tua yang penuh kudis, kotor lagi miskin. Beliau adalah sosok yang paling sabar dimana ketika itu pernah kain beliau ditarik oleh seorang Badui hingga membekas merah dilehernya, namun beliau hanya diam dan tidak marah.

Dalam satu riwayat dikisahkan bahwa ketika beliau mengimami shalat berjamaah, para sahabat mendapati seolah-olah setiap beliau berpindah rukun terasa susah sekali dan terdengar bunyi yang aneh. Seusai sholat, salah seorang sahabat, Sayyidina Umar bin Khatthab bertanya, “Ya Rasulullah, kami melihat seolah-olah baginda menanggung penderitaan yang amat berat. Sedang sakitkah engkau ya Rasulullah?.” “Tidak ya Umar. Alhamdulillah aku sehat dan segar.” Jawab Rasulullah. “Ya Rasulullah, mengapa setiap kali Baginda menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi-sendi tubuh baginda saling bergesekkan? Kami yakin baginda sedang sakit”. Desak Sayyidina Umar penuh cemas.

Akhirnya, Rasulullah pun mengangkat jubahnya. Para sahabatpun terkejut ketika mendapati perut Rasulullah yang kempis tengah di lilit oleh sehelai kain yang berisi batu kerikil sebagai penahan rasa lapar. Ternyata, batu-batu kerikil itulah yang menimbulkan bunyi aneh setiap kali tubuh Rasulullah bergerak. Para sahabat pun berkata, “Ya Rasulullah, adakah bila baginda menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya untuk tuan?.” Baginda Rasulullah pun menjawab dengan lembut, “Tidak para sahabatku. Aku tahu, apapun akan kalian korbankan demi Rasulmu. Tetapi, apa jawabanku nanti dihadapan Allah, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban bagi umatnya? Biarlah rasa lapar ini sebagai hadiah dari Allah buatku, agar kelak umatku tak ada yang kelaparan di dunia ini, lebih-lebih di akhirat nanti.

Teramat agung pribadi Rasulullah sehingga para sahabat yang ditanya oleh seorang Badui tentang akhlak beliau hanya mampu menangis karena tak sanggup untuk menggambarkan betapa mulia akhlak beliau. Beliau diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak manusia dan sebagai suri tauladan yang baik sepanjang zaman.

Saudaraku, sungguh kehadiran Rasulullah adalah untuk menyempurnakan akhlak manusia lewat segala hal yang beliau contohkan kepada umat manusia. Beliau tidak pernah pandang bulu dalam hal menghargai manusia, penuh kasih sayang, tidak pernah mendendam, malahan beliau pernah menangis ketika mengetahui bahwa balasan kekafiran adalah neraka yang menyala-nyala hingga menginginkan umat manusia untuk meng-esakan Allah.

Cukup kiranya beliau yang jadi suri tauladan kita, umat Islam khususnya yang hari ini sebagian sudah sangat jauh dari akhlak Rasulullah, baik dalam tindakan maupun perkataan yang menyejukkan. apa yang dikatakan oleh seorang sastrawan Pakistan, Muhammad Iqbal dalam salah satu karyanya dapat kita jadikan renungan bersama dimana beliau berkata: “Barangsiapa yang mengaku umat Nabi Muhammad, hendaklah berakhlak seperti beliau (Nabi Muhammad)”.

Dalam salah satu hadits dikatakan bahwa “Belum beriman seseorang sehingga aku (Rasulullah Muhammad Saw) lebih dicintainya daripada ayahnya, anak-anaknya dan seluruh manusia” (HR. Bukhari). Kita tidak tahu apakah nanti akan diakui Rasulullah sebagai umatnya atau tidak kelak di yaumul qiamah. Namun satu yang pasti bahwa semua ingin berada di barisan beliau. maka, marilah kita sama-sama berusaha untuk mengikuti akhlak beliau semampu diri kita, sebagai suri tauladan kita yang utama, memperbanyak ucapan sholawat untuknya, membela sunnahnya, bukan malah membelakanginya (mari berlindung dari hal demikian), sebagai bagian dari rasa cinta kita terhadapnya.

Mari kita sampaikan salam dan shalawat kepada Rasulullah, yang dengannya kita akan peroleh cinta dan Syafa’atnya kelak di yaumul mahsyar. insya Allah…Amiin.
Lanjut

Biografi Siti Aisyah

Siti Aisyah memiliki gelar ash-Shiddiqah, sering dipanggil dengan Ummu Mukminin, dan nama keluarganya adalah Ummu Abdullah. Kadang-kadang ia juga dijuluki Humaira’. Namun Rasulullah sering memanggilnya Binti ash-Shiddiq. Ayah Aisyah bernama Abdullah, dijuluki dengan Abu Bakar. Ia terkenal dengan gelar ash-Shiddiq. Ibunya bernama Ummu Ruman. Ia berasal dari suku Quraisy kabilah Taimi di pihak ayahnya dan dari kabilah Kinanah di pihak ibu.

Sementara itu, garis keturunan Siti Aisyah dari pihak ayahnya adalah Aisyah binti Abi Bakar ash-Shiddiq bin Abi Quhafah Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Fahr bin Malik. Sedangkan dari pihak ibu adalah Aisyah binti Ummu Ruman binti Amir bin Uwaimir bin Abd Syams bin Itab bin Adzinah bin Sabi’ bin Wahban bin Harits bin Ghanam bin Malik bin Kinanah.

Siti Aisyah lahir pada bulan Syawal tahun ke-9 sebelum hijrah, bertepatan dengan bulan Juli tahun 614 Masehi, yaitu akhir tahun ke-5 kenabian. Kala itu, tidak ada satu keluarga muslim pun yang menyamai keluarga Abu Bakar ash-Shiddiq dalam hal jihad dan pengorbanannya demi penyebaran agama Islam. Rumah Abu Bakar saat itu menjadi tempat yang penuh berkah, tempat makna tertinggi kemuliaan, kebahagiaan, kehormatan, dan kesucian, dimana cahaya mentari Islam pertama terpancar dengan terang.

Dari perkembangan fisik, Siti Aisyah termasuk perempuan yang sangat cepat tumbuh dan berkembang. Ketika menginjak usia sembilan atau sepuluh tahun, ia menjadi gemuk dan penampilannya kelihatan bagus, padahal saat masih kecil, ia sangat kurus. Dan ketika dewasa, tubuhnya semakin besar dan penuh berisi. Aisyah adalah wanita berkulit putih dan berparas elok dan cantik. Oleh karena itu, ia dikenal dengan julukan Humaira’ (yang pipinya kemerah-merahan). Ia juga perempuan yang manis, tubuhnya langsing, matanya besar, rambutnya keriting, dan wajahnya cerah.

Tanda-tanda ketinggian derajat dan kebahagiaan telah tampak sejak Siti Aisyah masih kecil pada perilaku dan grak-geriknya. Namun, seorang anak kecil tetaplah anak kecil, dia tetap suka bermain-main. Walau masih kecil, Aisyah tidak lupa tetap menjaga etika dan adab sopan santun ajaran Rasulullah di setiap kesempatan.

Pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah merupakan perintah langsung dari Allah, setelah wafatnya Siti Khadijah. Setelah dua tahun wafatnya Khadijah, turunlah wahyu kepada kepada Rasulullah untuk menikahi Aisyah, kemudian Rasulullah segera mendatangi Abu Bakar dan istrinya, mendengar kabar itu, mereka sangat senang, terlebih lagi ketika Rasulullah setuju menikahi putri mereka. Maka dengan segera disuruhlah Aisyah menemui beliau.

Pernikahan Rasulullah dengan Siti Aisyah terjadi di Mekkah sebelum hjirah pada bulan Syawal tahun ke-10 kenabian. Ketika dinikahi Rasulullah, Siti Aisyah masih sangat belia. Di antara istri-istri yang beliau nikahi, hanyalah Aisyah yang masih dalam keadaan perawan. Aisyah menikah pada usia 6 tahun. Tujuan inti dari pernikahan dini ini adalah untuk memperkuat hubungan dan mempererat ikatan kekhalifahan dan kenabian. Pada waktu itu, cuaca panas yang biasa dialami bangsa Arab di negerinya menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan fisik anak perempuan menjadi pesat di satu sisi. Di sisi lain, pada sosok pribadi yang menonjol, berbakat khusus, dan berpotensi luar biasa dalam mengembangkan kemampuan otak dan pikiran, pada tubuh mereka terdapat persiapan sempurna untuk tumbuh dan berkembang secara dini.

Pada waktu itu, karena Siti Aisyah masih gadis kecil, maka yang dilangsungkan baru akad nikah, sedangkan perkawinan akan dilangsungkan dua tahun kemudian. Selama itu pula beliau belum berkumpul dengan Aisyah. Bahkan beliau membiarkan Aisyah bermain-main dengan teman-temannya. Kemudian, ketika Aisyah berusaha 9 tahun, Rasulullah menyempurnakan pernikahannya dengan Aisyah. Dalam pernikahan itu, Rasulullah memberikan maskawin 500 dirham. Setelah pernikahan itu, Aisyah mulai memasuki rumah tangga Rasulullah.

Pernikahan seorang tokoh perempuan dunia tersebut dilangsungkan secara sederhana dan jauh dari hura-hura. Hal ini mengandung teladan yang baik dan contoh yang bagus bagi seluruh muslimah. Di dalamnya terkandung hikmah dan nasehat bagi mereka yang menganggap penikahan sebagai problem dewasa ini, yang hanya menjadi simbol kemubaziran dan hura-hura untuk menuruti hawa nafsu dan kehendak yang berlebihan.

Dalam hidupnya yang penuh jihad, Siti Aisyah wafat dikarenakan sakit pada usia 66 tahun, bertepatan dengan bulan Ramadhan, tahun ke-58 Hijriah. Ia dimakamkan di Baqi’. Aisyah dimakamkan pada malam itu juga (malam Selasa tanggal 17 Ramadhan) setelah shalat witir. Ketika itu, Abu Hurairah datang lalu menshalati jenazah Aisyah, lalu orang-orang pun berkumpul, para penduduk yang tinggal di kawasan-kawasan atas pun turun dan datang melayat. Tidak ada seorang pun yang ketika itu meninggal dunia dilayat oleh sebegitu banyak orang melebihi pelayat kematian Aisyah.

Sumber Asli:
- Arief, Nurhaeni. Engkau Bidadari Para Penghuni Surga, Kisah Teladan Wanita Saleha. Kafila: Yogyakarta: 2008
- Taman, Muslich. Pesona Dua Ummul Mukminin, Teladan Terbaik Menjadi Wanita Sukses dan Mulia. Pustaka Al-Kautsar: Jakarta. 2008
- Razwy, Syeda. A. Khadijah, The Greatest of First Lady of Islam. Alawiyah Abdurrahman (terj.). Mizan Publika: Jakarta. 2007
- an-Nadawi, Sulaiman. ‘Aisyah, The Greatest Woman in Islam. Firdaus (terj.). Qisthi: Jakarta. 2007
- asy-Syathi’, Aisyah Abdurrahman. Nisa’ an-Nabiy Alaihi ash-Shalatu wa as-Salam. Zaki Alkaf (terj.). Pustaka Hidayah: Bandung. 2001
Lanjut

Keutamaan Sholawat kepada Rasulullah SAW


Sufyan Ats Tsauri bercerita, " Aku melihat seorang lelaki, ia tidak mengangkat atau meletakkan kakinya kecuali bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Aku bertanya kepadanya, Hai pemuda, mengapa engkau tinggalkan tasbih dan tahlil dan hanya bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW ? "

" Siapa kamu, semoga Allah memberimu kesehatan ? " tanya sang pemuda.

" Aku adalah Sufyan Ats Tsauri. "

" Kalau kamu bukan  orang yang asing di zamanmu, aku tak akan membuat rahasiaku, ucap sang pemuda. ia lalu mulai bercerita.

" Suatu hari aku bersama ayahku pergi haji ke baitullah al haram. Dalam perjalanan ayahku sakit dan meninggal dunia. Kulihat muka ayahku berubah hitam. Lalu kututup wajahnya dengan kain. Ketika menunggu mayatnya, aku sangat mengantuk sehingga aku tertidur. Dalam tidurku aku melihat seorang yang sangat tampan. Belum pernah aku melihat pria setampan dia, berpakaian sebersih pakaiannya. dan berbau seharum tubuhnya. Ia berjalan mendekati ayahku, menyingkap kain yang menutupi wajahnya, kemudian mengusapkan tangannya kewajah ayahku. Wajah yang semula hitam segera berubah menjadi putih. Setelah itu ia berbalik hendak pergi. Aku lali memegang bajunya dan bertanya, " Siapakah kamu sebenarnya, semoga Allah merahmatimu ? " Kedatanganmu sungguh merupakan karunia Allah bagiku.
Tidakkah kamu mengenal aku. Aku adalah Muhammad bin Abdillah, kepadaku Quran telah diturunkan. Sesungguhnya ayahmu menyia - nyiakan dirinya. Namun, ia banyak bersholawat kepadaku. Ketika mengalami apa yang sedang ia alami, ia meminta tolong kepadaku, sedangkan aku adalah penolong bagi orang - orang yang banyak bersholawat kepadaku.

Ketika bangun dari tidur, kulihat wajah ayahku telah berubah putih. Barang siapa ingin dekat dengan Al Musthafa dan bercakap - cakap dengannya hendaknya ia menyempurnakan asasnya, yaitu selalu mengikuti Rasulullah SAW dalam perbuatan, ucapan dan segala hal. Para salaf kita tidak pernah meninggalkan sunnah dalam setiap langkah mereka.

Setiap orang yang ingin dekat dengan Nabi Muhammad SAW hendaknya melaksanakan perintah beliau walaupun hukumnya sunah, dan menjauhi segala larangan beliau walaupun hukumnya makruh. Karena semua amal umatnya akan ditunjukkan kepada beliau. Jika umatnya beramal saleh, beliau akan merasa senang, mencintai, dan menyebut - nyebut namanya sehingga Allah melimpahkan rahmatNya.

Sholawat Kepada Nabi Muhammad Saw menjanjikan pahala yang sangat besar. Rasulullah SAW bersabda yang artinya : " Barang siapa bersholawat kepadaku sekali, Allah akan bersholawat kepadanya 10 kali. " ( HR Muslim, Turmudzi, Abu Dawud,Nasai dan Ahmad )

Barang siapa bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW sewaktu duduk, ia akan di ampuni sebelum berdiri. Dan barang siapa bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW sewaktu tidur, ia akan di ampuni sebelum bangun.

Diriwayatkan bahwa Sayidina Abu Bakar Ash Shiddiq meminta ibunya untuk memeluk agama islam, namun ia menolak, kemudian Sayidina Abu Bakar pergi kerumah Rasulullah SAw mengabarkan hal ini. Ketika hendak pulang, ia memohon doa Rasulullah SAW agar ibunya masuk islam. Rasulullah SAW mengabulkan permintaannya. Sesampainya di rumah, Sayidina Abu Bakar melihat ibunya sedang tidur sambil bersholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Setelah bangun dari tidurnya ia segera masuk islam.

Kejadian ini semua adalah berkat sholawat kepada Nabi Muhammad SAW. Sholawat merupakan guru bagi mereka yang tak memiliki guru, karenanya sholawat tidak butuh guru maupun hudhur tetapi akan lebih sempurna jika diucapkan dengan hati yang hudhur. Riya' tidak dapat menghapuskan pahala sholawat. Al Habib Ahmad bin Ali Assegaff
Lanjut

Syekh Yusuf - Seorang Ulama, Sufi dan Pejuang

Syekh Yusuf berasal dari keluarga bangsawan tinggi di kalangan suku bangsa Makassar dan mempunyai pertalian kerabat dengan raja-raja Banten, Gowa, dan Bone. Syekh Yusuf sendiri dapat mengajarkan beberapa tarekat sesuai dengan ijazahnya. Seperti tarekat Naqsyabandiyah, Syattariyah, Ba`alawiyah, dan Qadiriyah. Namun dalam pengajarannya, Syekh Yusuf tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fansuri yang mengembangkan ajaran wujudiyah dengan Syekh Nuruddin Ar-Raniri dalam abad ke-17 itu.

Nama lengkapnya Tuanta Salamka ri Gowa Syekh Yusuf Abul Mahasin Al-Yaj Al-Khalwati Al-Makassari Al-Banteni. Tapi, ia lebih populer dengan sebutan Syekh Yusuf. Sejak tahun 1995 namanya tercantum dalam deretan pahlawan nasional, berdasar ketetapan pemerintah RI.

Kendati putra Nusantara, namanya justru berkibar di Afrika Selatan. Ia dianggap sebagai sesepuh penyebaran Islam di negara di benua Afrika itu. Tiap tahun, tanggal kematiannya diperingati secara meriah di Afrika Selatan, bahkan menjadi semacam acara kenegaraan. Bahkan, Nelson Mandela yang saat itu masih menjabat presiden Afsel, menjulukinya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

Syekh Yusuf lahir di Gowa, Sulawesi Selatan, tanggal 03 Juli 1626 dengan nama Muhammad Yusuf. Nama itu merupakan pemberian Sultan Alauddin, raja Gowa, yang merupakan karib keluarga Gallarang Monconglo’E, keluarga bangsawan dimana Siti Aminah, ibunda Syekh Yusuf berasal. Pemberian nama itu sekaligus mentasbihkan Yusuf kecil menjadi anak angkat raja.

Syekh Yusuf sejak kecil diajar serta dididik secara Islam. Ia diajar mengaji Alquran oleh guru bernama Daeng ri Tasammang sampai tamat. Di usianya ke-15, Syekh Yusuf mencari ilmu di tempat lain, mengunjungi ulama terkenal di Cikoang yang bernama Syekh Jalaluddin al-Aidit, yang mendirikan pengajian pada tahun 1640.

Syekh Yusuf meninggalkan negerinya, Gowa, menuju pusat Islam di Mekah pada tanggal 22 September 1644 dalam usia 18 tahun. Ia sempat singgah di Banten dan sempat belajar pada seorang guru di Banten. Di sana ia bersahabat dengan putra mahkota Kerajaan Banten, Pengeran Surya. Saat ia mengenal ulama masyhur di Aceh, Syekh Nuruddin ar Raniri, melalui karangan-karangannya, pergilah ia ke Aceh dan menemuinya.

Setelah menerima ijazah tarekat Qadiriyah dari Syekh Nuruddin, Syekh Yusuf berusaha ke Timur Tengah. Beliau ke Arab Saudi melalui Srilanka.

Di Arab Saudi, mula-mula Syekh Yusuf mengunjungi negeri Yaman, berguru pada Sayed Syekh Abi Abdullah Muhammad Abdul Baqi bin Syekh al-Kabir Mazjaji al-Yamani Zaidi al-Naqsyabandi. Ia dianugerahi ijazah tarekat Naqsyabandi dari gurunya ini.

Perjalanan Syekh Yusuf dilanjutkan ke Zubaid, masih di negeri Yaman, menemui Syekh Maulana Sayed Ali Al-Zahli.. Dari gurunya ini Syekh Yusuf mendapatkan ijazah tarekat Assa’adah Al-Baalawiyah. Setelah tiba musim haji, beliau ke Mekah menunaikan ibadah haji.

Dilanjutkan ke Madinah, berguru pada syekh terkenal masa itu yaitu Syekh Ibrahim Hasan bin Syihabuddin Al-Kurdi Al-Kaurani. Dari Syekh ini diterimanya ijazah tarekat Syattariyah. Belum juga puas dengan ilmu yang didapat, Syekh Yusuf pergi ke negeri Syam (Damaskus) menemui Syekh Abu Al Barakat Ayyub Al-Khalwati Al-Qurasyi. Gurunya ini memberikan ijazah tarekat Khalwatiyah & Gelar tertinggi, Al-Taj Al-Khalawati Hadiatullah setelah dilihat kemajuan amal syariat dan amal Hakikat yang dialami oleh Syekh Yusuf.

Melihat jenis-jenis alirannya, diperoleh kesan bahwa Syekh Yusuf memiliki pengetahuan yang tinggi, meluas, dan mendalam. Mungkin bobot ilmu seperti itu, disebut dalam lontara versi Gowa berupa ungkapan (dalam bahasa Makassar): tamparang tenaya sandakanna (langit yang tak dapat diduga), langik tenaya birinna (langit yang tak berpinggir), dan kappalak tenaya gulinna (kapal yang tak berkemudi).

Cara-cara hidup utama yang ditekankan oleh Syekh Yusuf dalam pengajarannya kepada murid-muridnya ialah kesucian batin dari segala perbuatan maksiat dengan segala bentuknya. Dorongan berbuat maksiat dipengaruhi oleh kecenderungan mengikuti keinginan hawa nafsu semata-mata, yaitu keinginan memperoleh kemewahan dan kenikmatan dunia. Hawa nafsu itulah yang menjadi sebab utama dari segala perilaku yang buruk. Tahap pertama yang harus ditempuh oleh seorang murid (salik) adalah mengosongkan diri dari sikap dan perilaku yang menunjukkan kemewahan duniawi.

Ajaran Syekh Yusuf mengenai proses awal penyucian batin menempuh cara-cara moderat. Kehidupan dunia ini bukanlah harus ditinggalkan dan hawa nafsu harus dimatikan sama sekali. Melainkan hidup ini harus dimanfaatkan guna menuju Tuhan. Gejolak hawa nafsu harus dikuasai melalui tata tertib hidup, disiplin diri dan penguasaan diri atas dasar orientasi ketuhanan yang senantiasa melingkupi kehidupan manusia.

Hidup, dalam pandangan Syekh Yusuf, bukan hanya untuk menciptakan keseimbangan antara duniawi dan ukhrawi. Namun, kehidupan ini harus dikandungi cita-cita dan tujuan hidup menuju pencapaian anugerah Tuhan.

Dengan demikian Syekh Yusuf mengajarkan kepada muridnya untuk menemukan kebebasan dalam menempatkan Allah Yang Mahaesa sebagai pusat orientasi dan inti dari cita, karena hal ini akan memberi tujuan hidup itu sendiri.

Terlibat pergerakan naasional

Setelah hampir 20 tahun menuntut ilmu, ia pulang ke kampung halamannya, Gowa. Tapi ia sangat kecewa karena saat itu Gowa baru kalah perang melawan Belanda. Di bawah Belanda, maksiat merajalela. Setelah berhasil meyakinkan Sultan untuk meluruskan pelaksanaan syariat Islam di Makassar, ia kembali merantau. Tahun 1672 ia berangkat ke Banten. Saat itu Pangeran Surya sudah naik tahta dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.

Di Banten ia dipercaya sebagai mufti kerajaan dan guru bidang agama. Bahkan ia kemudian dinikahkan dengan anak Sultan, Siti Syarifah. Syekh Yusuf menjadikan Banten sebagai salah satu pusat pendidikan agama. Murid-muridnya datang dari berbagai daerah, termasuk di antaranya 400 orang asal Makassar di bawah pimpinan Ali Karaeng Bisai. Di Banten pula Syekh Yusuf menulis sejumlah karya demi mengenalkan ajaran tasawuf kepada umat Islam Nusantara.

Seperti banyak daerah lainnya saat itu, Banten juga tengah gigih melawan Belanda. Permusuhan meruncing, sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sutan Ageng di satu pihak dan Sultan Haji beserta Kompeni di pihak lain. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng dengan memimpin sebuah pasukan Makassar.Namun karena kekuatan yang tak sebanding, tahun 1682 Banten menyerah.

Maka mualilah babak baru kehidupan Syekh Yusuf; hidup dalam pembuangan. Ia mula-mula ditahan di Cirebon dan Batavia (Jakarta), tapi karena pengaruhnya masih membahayakan pemerintah Kolonial, ia dan keluarga diasingkan ke Srilanka, bulan September 1684.

Bukannya patah semangat, di negara yang asing baginya ini ia memulai perjuangan baru, menyebarkan agama Islam. Dalam waktu singkat murid-muridnya mencapai jumlah ratusan, kebanyakan berasal dari India Selatan. Ia juga bertemu dan berkumpul dengan para ulama dari berbagai negara Islam. Salah satunya adalah Syekh Ibrahim Ibn Mi’an, ulama besar yang dihormati dari India. Ia pula yang meminta Syekh Yusuf untuk menulis sebuah buku tentang tasawuf, berjudul Kayfiyyat Al-Tasawwuf.

Ia juga bisa leluasa bertemu dengan sanak keluarga dan murid-muridnya di negeri ini. Kabar dari dan untuk keluarganya ini disampaikan melalui jamaah haji yang dalam perjalan pulang atau pergi ke Tanah Suci selalu singgah ke Srilanka. Ajaran-ajarannya juga disampaikan kepada murid-muridnya melalui jalur ini.

Hal itu merisaukan Belanda. Mereka menganggap Syekh Yusuf tetap merupakan ancaman, sebab dia bisa dengan mudah mempengaruhi pengikutnya untuk tetap memberontak kepada Belanda. Lalu dibuatlah skenario baru; lokasi pembuangannya diperjauh, ke Afrika Selatan.

Menekuni jalan dakwah
Bulan Juli 1693 adalah kali pertama bagi Syekh Yusuf dan 49 pengikutnya menginjakkan kaki di Afrika selatan. Mereka sampai di Tanjung Harapan dengan kapal De Voetboog dan ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai (tempat ini kemudian disebut Madagaskar).

Di negeri baru ini, ia kembali menekuni jalan dakwah. Saat itu, Islam di Afrika Selatan tengah berkembang. Salah satu pelopor penyebaran Islam di Imam Abdullah ibn Kadi Abdus Salaam atau lebih dikenal dengan julukan Tuan Guru (mister teacher).

Tuan Guru lahir di Tidore. Tahun 1780, ia dibuang ke Afrika Selatan karena aktivitasnya menentang penjajah Belanda. Selama 13 tahun ia mendekam sebagai tahanan di Pulau Robben, sebelum akhirnya dipindah ke Cape Town. Kendati hidup sebagai tahanan, aktivitas dakwah pimpinan perlawanan rakyat di Indonesia Timur ini tak pernah surut.

Jalan yang sama ditempuh Syekh Yusuf. Dalam waktu singkat ia telah mengumpulkan banyak pengikut. Selama enam tahun di Afrika Selatan, tak banyak yang diketahui tentang dirinya, sebab dia tidak bisa lagibertemu dengan jamaah haji dari Nusantara. Usianya pun saat itu telah lanjut, 67 tahun.

Ia tinggal di Tanjung Harapan sampai wafat tanggal 23 Mei 1699 dalam usia 73 tahun. Oleh pengikutnya, bangunan bekas tempat tinggalnya dijadikan bangunan peringatan. Sultan Banten dan Raja Gowa meminta kepada Belanda agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan, tapi tak diindahkan. Baru setelah tahun 1704, atas permintaan Sultan Abdul Jalil, Belanda pengabulkan permintaan itu. Tanggal 5 April 1705 kerandanya tiba di Gowa untuk kemudian dimakamkan di Lakiung keesokan harinya.

Syekh Yusuf di Sri Lanka

Di Sri Lanka, Syekh Yusuf tetap aktif menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal dari India Selatan. Salah satu ulama besar India, Syekh Ibrahim ibn Mi’an, termasuk mereka yang berguru pada Syekh Yusuf.

Melalui jamaah haji yang singgah ke Sri Lanka, Syekh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para pengikutnya di Nusantara, sehingga akhirnya oleh Belanda, ia diasingkan ke lokasi lain yang lebih jauh, Afrika Selatan, pada bulan Juli 1693.

Syekh Yusuf di Afrika Selatan
Di Afrika Selatan, Syekh Yusuf tetap berdakwah, dan memiliki banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699, pengikutnya menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan. Bahkan, Nelson Mandela, mantan presiden Afrika Selatan, menyebutnya sebagai ‘Salah Seorang Putra Afrika Terbaik’.

Sebagai seorang ulama syariat, sufi dan khalifah tarikat dan seorang musuh besar Kompeni Belanda, Syekh Yusuf dianggap sebagai `duri dalam daging` oleh pemerintah Kompeni di Hindia Timur. Ia diasingkan ke Srilanka, kemudian dipindahkan ke Afrika Selatan, dan wafat di pengasingan Cape Town (Afrika Selatan) pada tahun 1699. Pada zamannya (abad ke-17), ia dikenal pada empat tempat, yaitu Banten dan Sulawesi Selatan (Indonesia), Srilanka, dan Afrika Selatan yang berjuang mewujudkan persatuan dan kesatuan untuk menentang penindasan dan perbedaan kulit.

Murid-murid Syekh Yusuf yang menganut tarekat Khalwatiyah terdapat di Banten, Srilanka, Cape Town, dan beberapa negara di sekitarnya. Mayoritas orang-orang Makassar dan Bugis di Sulawesi Selatan masih mengamalkan ajarannya sampai sekarang ini.
Lanjut

Halimah Sa'diyah - Mengasuh Nabi dengan Kasih

 Inilah kisah tentang ketulusan. Halimah as-Sa’diyah, seorang wanita desa bersahaja, pergi ke Mekah, bersama suami dan bayinya yang masih mungil. Mereka turut dalam kafilah Bani Sa’ad. Ketika itu musim kemarau. Terik siang begitu menyengat. Perjalanan terasa sangat menyiksa. Halimah bercerita, “Semalaman aku dan suamiku tak bisa tidur. Si kecil terus menangis. Ia haus dan lapar. Tapi kami sudah tak punya apa-apa. Unta yang kami bawa sudah tidak mengeluarkan air susu.”

Dengan tertatih, tibalah mereka ke Mekah. Wanita-wanita bersegera mencari anak susuan. Tak ketinggalan pula Halimah. Akan tetapi, ia sedikit tidak beruntung. Lewat dua hari ia belum juga mendapatkan bayi untuk ia susui. Hingga akhirnya terlintas seorang bayi yatim dari wanita tak berpunya. Namanya Muhammad bin Abdullah.

Sebelum itu, ihwal bocah itu sebetulnya sudah didengar, tepatnya tatkala rombongan baru memasuki kota. “Aku tahu bahwa setiap orang dari kami telah ditawari bocah itu,” aku Halimah. “namun, ketika tahu bahwa ia sudah tak punya bapak, mereka enggan. Mereka beranggapan, bayi yatim kurang memberikan keuntungan. Ibunya yang janda takkan mampu memberi imbalan. Sedang kami mencari anak susuan adalah demi bayaran.”

Dalam kebimbangan, Halimah mengadu kepada suaminya, Al-Harits bin Abdul Uzza, “Abang, aku tak hendak pulang tanpa membawa anak susuan. Bagaimana bila kubawa anak yatim itu saja.” “Ambillah ia,” jawab sang suami.”Barangkali Tuhan memendam kebaikan dalam diri bayi itu.” Halimah pun mantap memungut si bocah dari ibunya. Ketika membuka kain yang membungkus bayi, ia sontak merasa takjub, “Demi Allah, tak pernah kulihat bayi seindah ini. Lihat, wajahnya penuh cahaya.”

Dibawalah bayi itu oleh mereka berdua dengan rasa suka cita. Halimah langsung menyusuinya. Ajaib. Air susunya mengalir lancar seketika. Bayi itu, juga putra Halimah, menjadi kekenyangan dibuatnya. Tak hanya itu. Unta tua yang mereka bawa juga mengeluarkan air susu dengan derasnya begitu suami Halimah memerahnya. Al-Harits keheranan. “Duhai adinda, demi Allah, aku merasa Engkau telah mengambil anak yang penuh keberkahan. Tidakkah Engkau menyaksikan pula keberuntungan demi keberuntungan menghampiri kita semenjak ia kita bawa serta.” Semenjak itu, keluarga kecil Halimah diguyur anugerah.

Sudah merupakan kebiasaan ibu-ibu Arab masa itu menitipkan bayi mereka supaya diasuh dan disusui wanita pedesaan. Upaya ini bertujuan agar si bayi bisa tumbuh dalam lingkungan yang lebih asri. Desa Halimah terletak di kawasan pegunungan dekat Thaif, 60 kilometer dari kota Mekah. Udaranya bersih dan segar.

Rasulullah berkembang dengan keistimewaan-keistimewaan. Usia lima bulan sudah pandai berjalan. Menginjak sembilan bulan, kemampuan verbalnya (bicara) sudah lancar. Dan ketika sudah berumur dua tahun, balita itu sudah dilepas bersama putra-putra Halimah yang lain untuk menggembala kambing.

Halimah memberikan pendidikan yang baik kepada Al-Amin kecil. Ia sangat mencintainya. Dan tatkala masa penyusuan—yakni dua tahun—telah lewat, Halimah mesti menyerahkan anak itu kepada ibundanya, Aminah. Ia merasa berat hati. Ia masih ingin menuai berkah darinya. “Aku mengharapkan Anda masih bersedia menitipkan anak ini kepada kami. Biarlah ia bersama kami sampai lebih besar dan kuat. Aku khawatir ia jadi sakit-sakitan bila tinggal di Mekah.” Begitulah Halimah memohon kepada bunda Aminah. Ia terus meminta hingga akhirnya ibu rasul itu luluh hati. Kembalilah Halimah ke kampung halamannya dengan hati berbunga-bunga lantaran “bocah pilihan” itu masih bersamanya.

Halimah memang bergelimang berkah kala itu. Setiap malam rumahnya terang benderang oleh pancaran wajah Nabi. Sampai tak perlu ia pasang lampu. Rejekinya kian melimpah ruah. Kambing-kambingnya beranak pinak dengan pesat serta memberikan susu yang melimpah. Padahal daerah bani Sa’ad kering kerontang dan tak menyediakan sabana yang cukup untuk gembala. Perlu dicatat, sebelum mengasuh Rasul, Halimah sekeluarga hidup dalam keserbaterbatasan.

DIBELAH

Suatu waktu, Rasulullah SAW bermain-main dengan saudara angkatnya, Damrah. Tiba-tiba beliau terlentang seperti pingsan. Damrah memanggil ibunya, “Ibu lihatlah adik, adik ini kenapa?” Halimah bergegas datang. Sampai kepada Rasulullah SAW dia langsung memeluk. Seusai puas memeluk, dia tanya, “Mengapa nak, Engkau sakit?” Rasulullah SAW berkata, “Tadi ada tiga orang menangkap aku. Dibelah dadaku tapi tak sakit, dibasuh-basuh kemudian dijahit oleh mereka, juga tak terasa apa-apa, itu saja”. Halimah kebingungan. Tapi ia tak merasa dibohongi, sebab ia mafhum anak itu tak pernah berkata dusta.  Halimah kemudian berkata pada suaminya, “Beruntung kita bang, anak kita bukan orang sembarangan. Kelak ia menjadi orang besar.”

Kemudian setelah umur 4 tahun, Muhammad SAW dibawa oleh Halimah untuk diserahkan kembali kepada ibunya. Setelah itu dia tidak tahu apa yang terjadi pada bocah itu, sebab untuk dapat kabar di zaman itu sangat susah. Baru, ketika Rasulullah SAW berusia 40 tahun terdengarlah berita oleh Halimah, rupanya anak susuannya telah menjadi rasul. Maka dia berujar kepada suaminya, “Tidak sangka bang, anak susu kita, anak angkat kita jadi utusan Allah”. Halimah pun merasa sebagai wanita paling bahagia di dunia.

Halimah as-Sa’diyah, putri Abu Dzuaib Abdullah bin Al-Harits adalah teladan bagi muslimah setiap zaman. Dengan keikhlasannya, ia menjadi sosok yang pernah mewarnai kehidupan Rasulullah SAW. Jabatan apa yang lebih hebat dari “Ibunda Pemimpin Umat Manusia”? Ia wafat di kota Madinah dan dimakamkan di Baqi’. Sebelum meninggal, ia sempat bertemu anak susuan yang paling dicintanya itu. Dan, bisa dipastikan, itulah puncak kebahagiaannya di dunia ini
Lanjut

Maulid dalam Goresan Pena Ulama

Selain dengan menghayati sunnah Baginda Nabi Muhammad SAW, sudah menjadi kelaziman di dunia Islam dalam menyambut hari kelahiran beliau dengan membaca kisah perjalanan hidup Rasulullah SAW yang terkandung dalam kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama. Diantara kitab termasyhur yang menceritakan sejarah hidup beliau dari mulai detik-detik kelahiran hingga wafatnya, adalah kitab yang ditulis oleh Sayyid Ja’far Al Barzanji, Syaikh Muhammad Al Azab, Imam Wajihuddin Abdur Rahman bin Muhammad Ad Dibai’, Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi, dll.

Masyarakat kita menamakan karya-karya tersebut sebagai kitab Maulid. Hingga kini berbagai kitab Maulid tersebar luas di berbagai pelosok dunia islam, tak terkecuali di negeri kita. Di masing-masing daerah ada kitab Maulid yang lebih dikenal atau lebih banyak dibaca dibandingkan dengan yang lainnya. Karena selalu digunakan, kitab-kitab itupun terus dicetak ulang dan tetap diminati orang. Ada yang tersendiri, satu kitab terdiri dari satu kisah Maulid, tapi adapula kitab yang berisi kumpulan beberapa kisah Maulid.

Kitab-kitab tersebut dibaca oleh masyarakat Islam dalam majelis-majelis tertentu, terutama dalam bulan Maulid Nabi. Sesungguhnya kitab-kitab tersebut ditulis dengan penuh keikhlasan oelh penulisnya. Tujuan mereka semata-mata untuk mengabadikan sejarah kehidupan Rasulullah SAW untuk generasi yang akan datang, agar Beliau terus dikenal, dicintai dan diteladani oleh ummatnya.

Karenanya, karya tulis mereka itu diterima dan diberkahi Allah SWT. Salah satu tanda bahwa suatu amalan diterima oleh Allah adalah, ia kekal di hati masyarakat. Begitulah kitab Al Barzanji, Ad Dibai’, Al Azab, Al Habsyi dan lain-lain, terus mendapat sambutan umat Islam dari masa ke masa. Bukan saja di kawasan Nusantara, melainkan juga hampir diseluruh dunia. Tradisi membaca kitab Maulid kemudian tidak hanya berlaku di majelis peringatan Maulid atau pada bulan Maulid, melainkan juga pada bulan-bulan lain dan dalam berbagai kesempatan.

Di dalam Musnadnya, Imam Ahmad menyebutkan sebuah riwayat dari Ibnu Mas’ud (yang diterima melalui perawi-perwai yang terpercaya), “Apa-apa yang dianggap haq (benar) oleh sebagian besar umat Islam, itulah yang diridhai Allah, dan apa-apa yang dianggap batil (salah) oleh sebagian besar umat Islam, ia batil (salah) disisi Allah.”

Ulama Penyusun Kitab Maulid

Terlalu banyak ulama yang menulis kitab-kitab yang berkenaan dengan Maulid, yang ditulis dama berbagai bentuk penulisan, baik prosa maupun puisi. Ada yang singkat, sedang dan adapula yang panjang lebar. Menurut Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki dalam kitabnya Hawl Al Ihtifal bi Dzikr Al Mawlid an Nabawiy As Syarif, karena banyaknya ulama yang menulis itu, sulit untuk merincinya. Meskipun demikian, kata beliau selanjutnya, sebagian kitab itu memang lebih utama dibandingkan yang lain.

Berikut ini akan disebutkan sebagian saja dari mereka, terutama para huffaz al hadits (para penghafal hadits) dan imam-imam terkemuka. Meskipun hanya sebagian kecil dari seluruh ulama yang telah menulis tentang tema ini, sesungguhnya itu cukup menjadi petunjuk akal pikiran umat Islam akan keutamaan dan kemulian Maulid Nabi.

Iniliah nama-nama yang disbutkan oleh Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki dalam kitabnya itu :

1. Al Imam Al Muhaddits Al Hafizh Abdurrahman bin Ali, yang terkenal dengan sebutan Al Faraj Ibnul Jauzi (wafat tahun 597 H), dengan kitab Maulidnya yang masyhur yang dinamakan Al ‘Arus. Kitab ini telah dicetak di Mesir berulang kali.

2. Al Imam Al Muhaddits Al Musnid Al Hafizh Abu Al Khaththab Umar bin Ali bin Muhammad, yang terkenal dengan sebutan Ibn Dahyan Al Kalbi (wafat tahun 633 H). Beliau mengarang satu kitab Maulid dengan tahqiq (editan) yang amat berfaedah, yang dinamakan At Tanwir Fi Maulid Al Basyir an Nadzir.

3. Al Imam Syaikh Al Qurra wa Imam Al Qiraat Al Hafizh Al Muhaddits Al Musnid Al Jami’ Abul Khair Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Al Juzuri As Syafi’i (wafat tahun 660 H). Kitab Maulidnya dalam bentuk manuskrip berjudul Urf At Ta’rif bi Al Maulid As Syarif.

4. Al Imam Al Mufti Al Muarrikh Al Muhaddits Al Hafizh Imaduddin Imail bin Umar bin Katsir, penyusun tafsir dan kitab sejarah yang terkenal (wafat tahun 774 H). Ibnu Katsir telah menyusun satu kitab Maulid Nabi yang telah diterbitkan dan di tahqiq oleh Dr. Shalahuddin Al Munjid, kemudian kitab Maulid ini disyarahkan oleh Al Allamah Al Faqih As Sayyid Muhammad bin Salim Al Hafidz, mufti Tarim, dan diberi syarah pula oleh Al Muhaddits As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki, dan telah diterbitkan di Syria tahun 1387 H.

5. Al Imam Al Kabir wa Al Alim As Syahir Hafizh Al Islam wa Umdah Al Anam wa Marja’ Al Muhadditsin Al ‘Alam Al Hafizh Abdur Rahim bin Abdur Rahman Al Mishri, yang terkenal dngan Al Hafizh Al Iraqi (725-808 H). Maulidnya yang mulia dinamakan Al Maurid Al Hana yang telah disebutkan oleh banyak hafizh seperti Ibn Fahd dan As Suyuthi.

6. Al Imam Al Muahddits Al Hafizh Muhammad bin Abi Bakar bin Abdillah Al Qisi Ad Dimasyqi As Safi’i, yang terkenal dengan sebutan Al Hafizh bin Nashiruddin Ad Dimasyqi (777-842H ). Beliau adalah ulama yang terkenal dalam membela Ibn Taymiyah, bahkan menulis kitab dalam menjawab berbagai tuduhan atas Ibn Taymiyah, Beliau telah menulis beberapa kitab Maulid, diantaranya Jami’ Al Atsar fi Maulid An Nabiy Al Mukhtar dalam 3 Jilid, Al Lafzh Ar Raiq fi Maulid Khair Al Khaliq berbentuk ringkasan, Maurid Ash Shadiy fi Maulid Al Hadi.

7. Al Imam Al Urraikh Al Kabir wa Al Hafizh Asy Syahir Muhammad bin Abdur Rahman Al Qahiri, yang terkenal dengan sebutan Al Hafizh As Sakhawi (831-902 H), yang mengarang kitab Adh-Dhau’ Al Lami’ dan kitab-kitab lain. Kitab Maulid yang disusunnya adalah Al Fakhr Al ‘Alawi fi Maulid An Nabawi. Itu beliau sebutkan dalam kitabnya yang lain, Adh-Dhaul Lami’ (juz 8, hlm.18).

8. Al Allamah Al Faqih As Sayyid Ali Zainal Abidin As Samhudi Al Hasani, pakar sejarah dari Madinah Al Munawwarah (wafat tahun 911 H). Kitab Maulidnya yang ringkas dinamakan Al Mawarid Al Haniyyah fi Maulid Khair Al Bariyyah. Kitab ini ditulis dengan khat nasakah (salah satu gaya tulisan arab) yang cantik san bias didapat di perpustakaan-perpustakaan di Madinah, Mesir dan Turki.

9. Al Hafizh Wajihuddin Abdur Rahman bin Ali bin Muhammad Asy Syaibani Al Yamani Az Zabidi Asy Syafi’i, yang terkenal dngan sebutan Ad Dibai’. Beliau yang lahir pada bulan Muharram 866 H dan meninggal dunia pada hari Jum’at 12 Rajab 944 H, adalah salah seorang Imam di zamannya dan termasuk ulama puncak di kalangan ahli hadits. Beliau telah membaca Shahih Bukhari lebih dari seratus kali, dan pernah membacanya sekali dalam waktu enam hari.
Beliau telah menyusun maulid yang amat termasyhur dan dibaca diseluruh dunia, yakni Maulid Ad Dibai’. Maulid ini juga telah ditahqiq dan diberi syarah oleh Al Muhaddits As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki.

10. Al Allamah Al Faqih Al Hujjah Syihabuddin Ahmad bin Hajar Al Haitami (wafat tahun 974 H). Beliau adalah mufti mazhab Syafi’i di Mekkah Al Mukarromah. Beliau telah mengarang kitab Maulid yang sederhana (71 pasal) dengan tulisan khat nasakh yang jelas, bias didapat di Mesir dan Turki. Beliau memberinya judul Itmam An Ni’mah ‘Ala Al ‘Alam bi Maulid Sayyidi Waladi Adam.
Selain itu beliau juga menulis lagi satu kitab Maulid yang ringkas yang telah diterbitkan di Mesir dengan nama An Ni’mah Al Kubra ‘Ala Al ‘Alam fi Maulid Sayyidi Waladi Adam. As Syaikh Ibrahim Al Bajuri telah mensyarahnya dan dinamakan Tuhfah al Basyar ‘Ala Maulid Ibn Hajar.

11. Al ‘Allamah Al Faqih Asy Syaikh Muhammad bin Ahmad Asy Syarbini Al Khatib (wafat tahun 977 H). Kitab Maulidnya dalam bentuk manuskrip sebanyak 50 halaman dengan tulisan yang kecil tetapi tetap dapat dibaca.

12. Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Musnid Al Faqih Asy Syaikh Nuruddin Ali bin Sultan Al Harawi, yang terkenal dengan sebutan Al Mula Ali Al Qari (wafat tahun 1014 H), yang mensyarah kitab Al Misykat. Beliau juga mengarang kitab Maulid dengan judul Al Maulid Ar Rawi fi Al Maulid An Nabawi. Kitab ini juga telah ditahqiq dan diberi syarah oleh Al Muhaddits As Sayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki dan dicetak di Mathba’ah As Sa’adah Mesir tahun 1400 H/1980 M.

13. Al ‘Allamah Al Muhaddits Al Musnid As Sayyid Ja’far bin Hasan bin Adul Karim Al Barzanji, mufti mazhab Syafi’I di Madinah Al Munawwarah, ada perbedaan mengenai tahun wafatnya, 1177 H atau 1184 H. Beliau adalah penyusun Maulid yang sangat termasyhur, yakni Maulid Al Barzanji. Sebagian ulama menyatakan judul sebenarnya kitab ini ialah ‘Iqd Al Jauhar fi Maulid An Nabiy Al Azhar.
Ini merupakan Maulid yang paling luas tersebar dinegara-negara Arab dan Negara-negara muslim lainnya, di timur dan abarat. Malah dihafal dan dibaca oleh orang-orang Arab dan ‘Ajam pada pertemuan-pertemuan mereka.

14. Al ‘Allamah Abu Al Barakat Ahmad bin Muhammad bi Ahmad Al ‘Adawi yang terkenal dengan sebutan Ad Dardir (wafat tahun 1201 H). Kitab Maulidnya yang ringkas telah dicetak di Mesir dan terdapat syarah yang luas terhadapnya oleh Syaikhul Islam di Mesir, Al Allamah As Syaikh Ibrahim bin Muhammad bin Ahmad Al Baijuri atau Al Bajuri (wafat tahun 1277 H).

15. Al ‘Allamah As Syaikh Abdul Hadi Naja Al Abyari Al Mishri (wafat tahun 1305 H). Beliau mengarang kitab Maulid yang ringkas, masih dalam bentuk manuskrip.

16. Al Imam Al ‘Arif Billah Al Muhaddits Al Musnid As Sayyid As Syarif Muhammad bin Ja’far Al Kattani Al Hasani (wafat tahun 1345 h). Kitab Maulidnya, berjudul Al Yumn wa Al Is’ad bi Maulid Khair Al ‘Ibad dalam 60 halaman, telah diterbitkan di Maghribi pada tahun 1345 H.

17. Al ‘Allamah Al Muhaqqiq Asy Syaikh Yusuf An Nabhani (wafat tahun 1350 H). Kitab Maulidnya dalam bentuk susunan bait dinamakan Jawahir An Nazhm Al Badi’ fi Maulid As Syafi’I, diterbitkan di Beirut berulang kali.

Disamping nama-nama ulama di atas, seorang ulama besar, yaitu Al Imam Al ‘Allamah Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi, juga menyusun sebuah kitab Maulid yang berjudul Simthud Durar. Saat ini ktab Maulid sangat populer di tengah-tengah masyarakat Indonesia pada umumnya disamping kitab Maulid Al Barzanji, yang memeng jauh lebih dulu tersebar di pelosok Nusantara.

Di Era sekarang inipun, Al ‘Allamah Al Habib Umar bin Hafidz juga telah menambah khzanah kepustakaan kitab Maulid Nabi dengan menuliskan sebuah kitab Maulid yang diberinya judul Ad-Dhiya’ Al Lami’.

Sumber : Majalah Alkisah No.07/Tahun VI
Lanjut