Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani

Biografi Singkat
Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah Abad 21
Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani

Nama lengkap beliau adalah Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari assyadzili. Sehari-hari beliau dipanggil Abuya.

Abuya lahir di Makkah Almukarramah, pada tahun 1362 H / 1943 M. Ayah beliau bernama Assayyid Alwi Bin Abbas Almaliki, seorang ulama terkemuka di Makkah Almukarramah, dan seorang mudarris (pengajar) di Masjid Alharam.

Awal masa pendidikan yang ditempuh oleh Abuya adalah berbentuk halaqah-halaqah ilmiyah yang diasuh oleh ayahnya, Assayyid Alwi Bib Abbas Almaliki yang bertempat di Masjid Alharam. Selain belajar kepada ayahnya sendiri, beliau juga belajar kepada beberapa para Ulama, di antara guru beliau adalah Syeikh Hasan Muhammad Almassyath, Asayyid Amin Kutbi, Syeikh Muhammad Nur Saif, Syeikh Sa’id Yamani, dan sebagainya.

Abuya juga belajar di Madrasah Alfalah, Madrasah Shaulatiyyah, dan Madrasah Tahfidz Alquran yang berada di kota Makkah. Beliau menimba ilmu Hadits kepada beberapa ulama di India dan Pakistan. Di kedua negara tersebut, beliau berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari ilmu Hadits, di antaranya Bombai, Haidar Abad, Karachi, dan sebagainya. Beliau memperoleh sertifikasi mengajar (ijazah) dan rantas transmisi (isnad) dari Alhabib Ahmad Almasyhur Alhaddad di Jiddah, Syeikh Hasanain Makhluf dari Mesir, Syeikh Ghumari dari Maroko, Syaikh Diyauddin Qadiri di Madinah, Maulana Zakariyya Alkandahlawi, dan sebagainya.

Pada fase selanjutnya, beliau menempuh studi akademis di Universitas Alazhar Mesir. Beliau berhasil meraih gelar Magister dan Doktoral dari Fakultas Ushuluddin Universitas Alazhar yang kondang tersebut. Beliau juga pergi ke Maroko untuk belajar kepada ulama-ulama di negeri ujung barat benua Afrika itu.

Pada tahun 1390 H / 1970 M, beliau diberi tugas mengajar di Fakultas Syari’ah di kota Makkah (1390-1399 H). Beliau juga termasuk salah seorang staf pengajar program pasca sarjana Universitas King Abdul Aziz Makkah.

Sepeninggal sang ayah,tanggal 25 Safar 1391, Abuya ditunjuk menjadi pengajar di Masjid Alharam menggantikan sang ayah. Keputusan ini merupakan hasil kesepakatan para ulama Makkah, di antaranya Syeikh Hasan Almassyath, Syeikh Muhammad Nur Saif, Syeikh Muhammad Salim Rahmatullah, Assayyid Amin Kutbi, dan sebagainya. Sang ayah sendiri, Assayyid Alwi Bin Abbas Almaliki, telah mengajar di majelis tersebut selama 50 tahun lamanya.

Di Masjid Alharam, setiap malam Selasa, Abuya mengajar tanpa ada liburnya, baik di musim dingin maupun musim panas. Majelis tersebut tidak pernah libur kecuali karena ada halangan syar’i saja.

Selain halaqah di Masjid Alharam, banyak ceramah agama yang telah beliau sampaikan, baik di radio maupun televisi, juga yang terekam dalam bentuk kaset dan CD. Beliau selalu berperan aktif dalam Pekan Budaya (Almawasim Astsaqafiyyah) yang digelar oleh Rabithah Alam Islami. Sebagaimana beliau juga aktif dalam seminar-seminar agama yang diselenggarakan di dalam maupun luar Saudi Arabia. Dalam momen MTQ tingkat internasional, beliau terpilih sebagai Ketua Dewan Juri pada kisaran tahun 1399, 1400, dan 1401 H. Beliau merupakan orang pertama yang mengetuai dewan tahkim MTQ tingkat internasional tersebut.

Abuya juga telah mengunjungi banyak negara Islam. Tercatat, beliau berperan aktif membantu di berbagai pesantren dan madrasah di Asia Timur dan Asia Tenggara. Bentuk bantuannya, termasuk segi peletakan metodologi (manhaj), pemberian bantuan dana, penataran guru, perekrutan murid pesantren atau madrasah tersebut untuk dididik di Makkah dengan beasiswa penuh dari beliau rahmatullah ‘alaihi.

Dalam dunia tulis menulis dan karya ilmiah, Abuya berhasil menulis puluhan kitab dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, antara lain Aqidah Islam, Ulumul Quran, Musthalah Hadits, Fiqh, dan Sirah Nabawiyyah. Hingga akhir hayat, beliau tetap istiqamah mengajar di majelis ta’lim yang dirintis di tempat kediamannya di Syari’ Almaliki Distrik Rushaifah Makkah, yang dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai kalangan anak muda hingga orang tua, selain santri beliau sendiri yang berdomisili di Rushaifah. Adapun para santri beliau baik yang berdomisili dikediaman beliau, maupun yang mukim di luar, mayoritas berasal dari luar negeri Saudu Arabiah, dan ada pula yang berasal dari masyarakat setempat. Banyak pula dari para muridnya itu, sekembalinya ke negara masing-masing, menjadi da’i, ustadz, dan ulama terkemuka.

Pada tanggal 2 Safar 1421 H / 6 Mei 2000, Universitas Alazhar Mesir, memberi Abuya gelar Profesor, berkat dedikasi beliau yang panjang dalam riset ilmiah dan karya tulis, yang memenuhi standar akademi. Selain itu, gelar honoris tersebut merupakan penghargaan atas jasa-jasa perjuangan beliau yang cukup lama, dalam dunia dakwah dan penyebaran ilmu syariat di banyak negara Islam.

Halaqah ilmiyah yang cukup dikenal oleh penduduk Makkah, yang semula bertempat di Masjid Alharam, dan pada akhirnya dipindah ke kediaman beliau, adalah halaqah yang merupakan tradisi ilmiah turun menurun selama 600 tahun lamanya yang senantiasa ditekuni oleh datuk-datuk beliau.

Ayah dan kakek beliau, adalah ketua para khatib dan da’i di kota Makkah. Demikian juga dengan Abuya, profesi tersebut digeluti yakni sejak tahun 1971 dan harus berakhir pada tahun 1983, saat beliau dicekal dari kedudukan terhormat itu akibat penerbitan kitabnya yang berjudul; Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan), sebuah kitab yang banyak meluruskan paham yang selama ini diyakini oleh ulama-ulama Wahabi. Paham Wahabi sangat menguasai keyakinan mayoritas ulama Saudi Arabia dan mempunyai peran pesar dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah.

Setelah pencekalan beliau dari pengajian umum dan khutbah, beliau mendedikasikan dirinya dalam pendidikan secara privat kepada ratusan murid-muridnya, dengan penekanan murid-murid dari Asia Tenggara, di kediaman di jalan Al Maliki di distrik Rushaifah Makkah.

Majelis ta’lim Abuya, dan juga ayah beliau, Sayyid Alwi Almaliki, tidak berkonsentrasi pada satu disiplin ilmu saja, atau hanya dikhususkan pada kalangan tertentu saja. Namun, teruntuk siapa saja. Karena itulah, Abuya berusaha mempersiapkan desain rumahnya untuk keperluan ini. Di rumahnya, dibangun ruangan (qa’ah) yang cukup luas, karena setiap hari dipergunakan untuk menampung jama’ah dalam halaqah ilmiyah yang diasuh beliau, tidak kurang dari 500 orang. Dalam setiap harinya, mulai ba’da Maghrib hingga ba’da Isya, Abuya menyampaikan pelajarannya, serta menyambut para tamu dan thalibul ilmi di tempat itu. Bahkan, majelis beliau selalu dihadiri oleh para ulama dan pejabat, baik dari Saudi Arabia sendiri maupun dari luar negeri, yang datang untuk melaksanakan ibadah haji atau ziarah. Praktis, majelis itu menjadi ajang ta’aruf dan shilaturrahim yang ‘diformat’ oleh Sayyid Muhammad secara simpel, sederhana, dengan didukung oleh sifat beliau yang begitu simpatik. Beliau selalu menanyakan kabar para jama’ah, mencari yang tidak hadir di antara muridnya, atau para jamaah yang istiqamah datang ke majelis tersebut.

Abuya dikenal sebagai figur yang sangat tawadlu, bijaksana, dan tidak ghuluw (fanatik secara berlebihan). Beliau selalu bersedia dan selalu siap bila diajak berdiskusi hin gga beddebat. Beliau bukan figur yang senang mencerca atau marah kepada orang yang berbeda pendapat dengannya. Namun sikap tegas dan wibawah sudah menjadi bagian dari karakter hidupnya. Maka tak heran, semasa hidupnya, beliau adalah otoritas yang paling dihormati oleh kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Beliau senantiasa menghormati para ulama yang telah wafat mendahului beliau. Beliau selalu mengenang guru-gurunya, yang telah berjasa dalam membentuk karakter pribadi beliau, baik para guru beliau sendiri, maupun para sahabat ayah beliau.

Di antara faktor yang menjadikan beliau mudah diterima oleh masyarakat adalah kelembutan bicara dan akhlaqnya, terutama kepada orang yang membutuhkan bantuan kepada beliau..

Pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya, banyak sikap kelompok yang meng-counter pendapat ilmiah beliau. Namun dengan kebesaran hatinya, Abuya menerima semua itu dengan penuh kesabaran. Beliau menjawab semua counter tersebut dengan cara yang baik, dan menjelaskan duduk permasalahan dengan dalil-dalil syar’i. Abuya selalu mempunyai keyakinan, bahwa sejak ribuan tahun, tidak pernah tercatat dalam sejarah, adanya ulama yang berbeda pendapat dengan ulama lain, lantas menyerang dengan menggunakan cara-cara yang tidak gentel, yang tidak layak dilakukan oleh seorang alim. Sikap beliau ini, berhasil meluluhkan hati beberapa orang, yang pada asalnya berbeda pendapat dan ‘menyerang’ beliau. Pada akhirnya mereka makin mengetahui ketulusan hati dan tujuan beliau dalam dakwah dan menyebarkan ilmu yang bersumber dari Alquran dan Sunnah.

Pada tanggal 5-9 Dzul Qa’dah 1424 H, Abuya menjadi pemateri dalam seminar nasional untuk dialog pemikiran yang diselenggarakan di Makkah Al Mukarramah. Pertemuan yang baru pertama kali diselenggarakan oleh pemerintah Saudi tersebut bertajuk, “Fanatisme Berlebihan dan Proporsional – Pandangan Metodologi Umum”.

Setelah berjuang panjang dalam dunia dakwah dan keilmuan, pada Jumat pagi hari, tanggal 15 Ramadhan 1425 H, setelah terkena serangan penyakit yang mendadak, beliau berpulang ke rahmatullah. Meninggalkan beberapa putra (Assayyid Ahmad, Assayyid Abdullah, Assayyid Alwi, Assayyid Ali, Assayyid Hasan, Assayyid Husain) dan beberapa putri. Beliau dimakamkan di pemakaman Ma’la Makkah Almukarramah.

Pemakaman beliau dihadiri para pentakziah dalam jumlah yang sangat besar. Jenazahnya dishalati di Masjid Alharam setelah shalat Isya pada hari itu. Di antara yang hadir adalah para ulama, murid-murid beliau, para pejabat Kerajaan Saudi Arabia dan negara-negara teluk lain, yang mempunyai ikatan kuat dengan beliau semasa hidupnya. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau, dan menjadikannya termasuk golongan orang-orang yang pertama masuk sorga untuk berziarah dan bermuwajahah kepada Allah, Dzat yang selalu dirindukannya, wujuuhun yauma idzin naadhirah, ilaa rabbihaa naadhirah

Abuya meninggal dunia dengan meninggalkan banyak pusaka yang sulit untuk dilupakan ummat Islam. Ribuan murid yang menyebar di berbagai negara, serta ratusan karya tulis dalam bentuk buku, monograf, makalah, dalam berbagai topik keislaman. Belum lagi kumpulan ceramah beliau yang terekam dalam kaset dan CD. Kitab-kitab maupun rekaman ceramah beliau, tidak bertujuan mencari keuntungan materi. Hal ini makin membuat beliau dicintai dan dihormati ummat. Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani akan terus berada dalam sanubari terdalam ummat Islam, karena wacana keilmiahannya masih terus dapat dinikmati generasi demi generasi, dan tak akan lekang oleh pergantian zaman. Di antara karya beliau yang paling terkenal adalah:

1. Abwab al Faraj (Kunci-Kunci Kebahagiaan), [Kairo: Dar al Ja’fari, tanpa tahun], sebuah manual yang mendeskripsikan tentang doa munajah, dan bacaan untuk berbagai situasi dari Alquran, Sunnah, dan para imam Islam. Disertai pula tentang adab / tata cara dalam berdoa. Buku ini juga berisi resep yang berharga untuk memperbanyak bacaan Surat Al Fatihah.
2. Al Anwar al Bahiyyah min Isra’ wal Mi’raj Khayr al Bariyyah (Cahaya-Cahaya Menakjubkan dari Perjalanan Malam dan Naiknya Sang Ciptaan Terbaik) [Edisi Kedua, Riyadh: tanpa penerbit, 1998]. Sebuah monograph yang mengumpulkan seluruh riwayat-riwayat sahih tentang Isra Mi’raj dalam suatu narasi tunggal.
3. Al Bayan wa at Ta’rif fi Dzikra al Maulid as Syarif (Penjelasan dan Devinisi Perayaan Maulid yang Mulia) [diterbitkan tahun 1995). Sebuah antologi singkat teks dan sya’ir yang terkait dengan maulid.
4. Haula Ihtifal bi Dzikra al Maulid an Nabi As Syarif (Berkaitan dengan Peringatan Hari Kelahiran Nabi SAW) [Cairo: Dar Jawami’ Al Kalim, 1998). Kumpulan detail bukti dan dalil yang diajukan ulama tentang kebolehan perayaan maulid.
5. Al Husun al Mani’ah (Benteng-Benteng Tak Terkalahkan). Sebuah buklet tentang ibadah harian yang dipilih dari Sunnah Nabi dan praktek ulama salaf.
6. Huwa Allah (Dia Adalah Allah). Sebuah statemen dan doktrin Sunni untuk menolak penyimpangan kaum antrhopomorphisme (mujassimah)
7. Khulasa Shawariq al Anwar min Ad’iya as Saadah al Akhyar (Ringkasan Cahaya-Cahaya yang Terbit dari Do’a-Doa Syuyukh Terpilih)
8. Al Madh an Nabawi Bayn al Ghuluw wal Insaf (Pujian pada Nabi SAW, antara Berlebihan dan Kepantasan)
9. Mafahim Yajibu an Tushahhah (Pemahaman-Pemahaman yang Perlu Diluruskan)
10. Al Musytasyriquun Bayn al Insaf wal ‘Asabiyyah (Orientalis antara Kejujuran dan Primordialisme)
11. Al Qawa’id al Asasiyyah fi ‘Ulumi al Quran (Kaidah-Kaidah Mendasar dalam Ilmu-Ilmu Alquran)
12. Al Qawa’id al Asasiyyah fi Ushul al Fiqh (Kaidah-Kaidah Mendasar dalam Ushul Fikih)
13. Al Qudwah al Hasanah fi Manhaj ad Da’wah ila Allah (Teladan Luhur dalam Metode Dakwah)
14. Mafhum at Tathawwur wa at Tajdiid fis Syari’ati al Islamiyyah (Hakikat Kemajuan dan Pembaharuan dalam Syariat Islam)
15. Manhaj as Salaf fi Fahmi an Nushush Bayn an Nadzariyyah wa at Tathbiiq (Metodologi Salaf dalam Memahami Teks; Teori dan Praktik)
16. Muhammad SAW al Insan al Kamil (Muhamamad SAW Manusia Sempurna)
17. Qul Haadzihii Sabili (Katakan: Inilah Jalanku)
18. Ar Risalah al Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha (Pesan Islam; Kesempurnaannya, Keabadiannya, dan Keuniversalannya)
19. Shifa’ al Fuad bi Ziyarah Khayr al ‘Ibad (Penyembuh Hati Berkenaan dengan Ziyarah Sebaik-Baik Manusia)
20. At Tali’ as Sa’id As Sa’id Al Muntakhab Min al Musalsalat wal Asaaniid (Bulan Baru Kebahagiaan: Pilihan atas Hadits-Hadits Musalsal dan Isnad-Isnad)
21. Tarikh al Hawadits wa al Ahwal an Nabawiyyah (Peristiwa-Peristiwa Bersejarah dan Penanda dalam Kehidupan Nabi SAW)
22. Al ‘Uqud al Lu’lu’iyyah bi al Asanid al ‘Alawiyyah (Kalung Mutiara: Isnad-Isnad ‘Alawi)
23. Wa Huwa bil Ufuqi al A’la (Dan Dia Di Cakrawala yang Paling Tinggi).


Adapun salah satu pemikiran Imam Ahlussunnah wal Jama`ah Abad 21ini adalah sebagai berikut:


EKSTREM DALAM PEMIKIRAN AGAMA
PENGARUHNYA PADA KEMUNCULAN TINDAKAN
TERORIS DAN ANARKIS


Kajian yang disampaikan oleh :

Imam Ahlussunnah wal Jamaah Abad - 21

Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani


Bismillaahir rahmaanir rahiim

Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam semoga tetap atas utusan paling mulia, junjungan kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya sekalian. Undangan untuk ikut serta dalam Dialog Nasional kedua di Makkah al Mukarromah datang kepadaku. Maju selangkah dan mundur dua langkah. Inilah yang aku alami menanggapi undangan tersebut sebab aku sendiri telah lupa tentang dasar–dasar dialog dan tukar pikiran. Bahkan, aku juga telah lupa tentang tata tertib dan prinsip-prinsip seminar di dalam negeri sejak aku hanya ikut serta dalam seminar di luar negeri dan tak pernah lagi ikut ambil bagian pada seminar dalam negeri karena aku ditinggalkan dari keikutsertaan mulai tahun 1400 H.

Setelah sholat istikhoroh seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, terbukalah hati untuk menghadiri undangan yang diprakarsai oleh yang mulia, Amir Abdulloh bin Abdul Aziz tersebut dari awal hingga selesai dalam rentang waktu lima hari tepatnya pada 5/11/1424 H sampai dengan 9/11/1424 H. Dalam keikutsertaan ini aku memaparkan pembahasan yang sederhana dan insya Allah diberkahi yang semuanya ada di tangan Anda sekalian (para pembaca). Akan tetapi, sebelumnya juga kami cantumkan lampiran surat undangan yang memuat penjelasan metode dan tata tertib muktamar.


Lampiran Surat Undangan
Bismillaahirrohmaanirrohiim
Yang mulia, Syekh Muhammad bin Alawi al Maliki, Hafizhohulloh.
Assalaamu Alaikum Warohmatulloh Wabarokaatuh. Waba’du.
Kami memohon kepada Allah Azza wajalla semoga memberkahi dan senantiasa menjaga dan merawat Anda.

Kami memberitahukan bahwa Muktamar Nasional Pertama yang berisi dialog pemikiran telah dilaksanakan. Dan untuk mengembangkan pemikiran dan memperluas keikutsertaan yang mencakup semua komponen masyarakat dan bisa menyelesaikan aneka ragam permasalahan maka atas izin Allah telah ditetapkan akan diadakan Pertemuan Nasional Kedua yang berintikan dialog pemikiran yang akan dilaksanakan di Makkah al Mukarromah dan berlangsung selama lima hari terhitung mulai tanggal 5/11/1424 H dengan tema “Ekstrem Dan Moderat: Sisi Pandang Sistematis dan Universal”. Panitia pelaksana Dialog Nasional di markas Raja Abdul Aziz telah memberikan gambaran pokok dari tema tersebut seperti berikut:

1. Keterkaitan eratnya dengan pelaksanaan dialog di Kerajaan Saudi Arabia serta penentuan tata cara dan aturannya.

2. Sesungguhnya awal penyimpangan yang merusak dalam sejarah Islam muncul dalam bentuk tindakan ghuluw/tathorruf (ekstrem). Mungkin sekali hal itu menjadi sebab munculnya satu kelompok dengan ciri–ciri seperti yang banyak disebutkan dan diperingatkan oleh hadits–hadits shohih di antara kelompok–kelompok yang telah berpaling dari Islam.

3. Sesungguhnya bahaya paling besar yang dihadapi dunia Islam, khususnya negeri kita, adalah ancaman (tahdiid) akan terjadinya ketimpangan, sebuah kondisi tidak seimbang yang kelak akan menjadi tempat subur bagi tumbuhnya sikap ghuluw dan tathorruf.

Gambaran masalah ini kiranya cukup memberikan penjelasan sampai di manakah dampak yang ditimbulkan oleh ghuluw yang berupa terciptanya permusuhan dan keburukan yang tidak terkontrol dalam watak kemanusiaan. Selanjutnya, (perlu pula diketahui) bahwa topik ini telah dipersiapkan untuk dibahas (dalam dialog) dari berbagai aspek: psikologi, pendidikan, sosial, ekonomi, dan agama. Dan untuk semua itu telah disiapkan (diajukan) lima belas lembar yang ditulis oleh para ahli di bidangnya. Karena itu, sangat diharapkan agar para tokoh ulama, pemikir, dan para jurnalis hadir dan ikut ambil bagian dalam muktamar ini. Dan panitia pelaksana telah memilih Anda agar menghadiri muktamar ini. Dan untuk hal itu, mereka lalu memaksaku untuk mengundang Anda. Kiranya kami bergembira jika Anda menghadiri undangan ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, kami menunggu jawaban Anda dalam waktu sepuluh hari ke depan. Setelah itu seluruh lembar yang diajukan untuk Dialog akan segera dikirimkan kepada Anda. Selain itu, kami juga memberitahukan bahwa panitia pelaksana pusat telah menjamin keamanan dan menanggung semua akomodasi mulai transportasi, penginapan, dan penjemputan para peserta. Di balik ini terlampir jadwal pertemuan yang menyangkut materi dan topik dialog.

Terimalah tahiyyat salam kami:
Ketua Panitia Dialog Nasional Kedua untuk Dialog Pemikiran

Sholeh bin Abdurrahman al Hushen
Pertemuan Nasional dan Dialog Pemikiran Kedua

Judul Pertemuan
“Ekstrem dan Moderat: Sisi Pandang Sistematis dan Universal”
Tanggal Pertemuan: 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 H
Masa Pertemuan: lima hari

Acara pertemuan dan Materi Dialog:

Pertama: Pembukaan pertemuan, meliputi: penjelasan topik, tujuan, dan tata tertib Dialog.
Kedua : Dialog pertemuan:

a. Dialog Syariat, meliputi topik berikut:
1. Definisi Ghuluw dalam al Kitab dan as Sunnah: Studi Pemahaman dan Istilah
2. Problematika yang Muncul Akibat Ghuluw: Sisi Pandang Syariat yang Universal
3. fenomena ghuluw masa kini. Ghuluw dalam takfiir, ghuluw dalam memberikan loyalitas dan antipati (fil wala’ wal baro’), membelot dari penguasa sah, ghuluw dalam amar ma’ruf nahi munkar, ghuluw dalam sikap kepada non-Islam dan ghuluw dalam bersikap keras terhadap diri sendiri dan orang lain
4. Hubungan antara hakim dan yang dihukumi, hak–hak yang terkait dengan kependudukan (muwaathonah) dan kewajiban–kewajibannya serta hubungan hal itu dengan ghuluw.

b. Dialog tentang Individu dan Masyarakat, meliputi topik:
1. Ciri–Ciri Pribadi yang Ekstrem: Fanatik, Toleransi, Kristalisasi Pemikiran, dan Kekakuan Berpikir (Tidak Toleran dan Harus Begitu)
2. Pengembangan Kemasyarakatan dalam Miliu Saudi: Fenomena–Fenomena dan Cara–Cara.
3. Pendidikan Agama di Masyarakat Saudi: Pandangan Kejiwaan dan Kemasyarakatan

c. Dialog Pendidikan, meliputi topik:
1. Kurikulum Agama: Pembentukan Kurikulum, Guru, atau Kealamiahan Masyarakat.
2. Peran Pendidikan dalam Membangun Pribadi yang Seimbang: Contoh–Contoh Pemikiran
3. Kegiatan pendidikan (yang berupa) training–training (al laashifiyyah), apakah berperan nyata dalam membangun sikap i’tidal (bersikap normal dan wajar) atau justru memunculkan ghuluw.

d. Dialog Pers, meliputi topik:
1. Apakah di sana ada teori (politik) pers yang jelas untuk menangani fenomena ekstremisme
2. Pentingnya kebebasan berbicara dalam media–media informasi yang berbeda dan peran yang dilakukan dalam menghadapi tantangan ghuluw dan mewujudkan i’tidal


e. Dialog Politik dan Ekonomi, meliputi topik:
1. Permasalahan kaum muslimin di medan internasional. Bagaimana memahami dan memberikan andil tanpa harus bersikap ghuluw
2. Pentingnya ikut serta dalam politik secara pemikiran dan praktik untuk memberikan terapi ghuluw yang menjangkit di masyarakat Saudi serta hubungan hal tersebut dengan kebebasan hak asasi manusia
3. Faktor ekonomi dan peranannya dalam ghuluw: pengangguran, kerusakan, dan pengembangan kawasan

Ketiga: Hasil–hasil pertemuan, meliputi resume kesepakatan dan rekomendasi dari pertemuan untuk menangani fenomena ghuluw, memberikan solusi dan strategi yang sesuai, yaitu dengan:
1. Memperjelas bentuk dan tampilan ghuluw di masyarakat Saudi serta memberikan penjelasan dampak yang ditimbulkannya
2. Memutuskan solusi tepat untuk fenomena ghuluw
3. Mempersiapkan strategi untuk melakukan terapi (menangani dan memberantas) fenomena ghuluw di masyarakat.


Bismillaahirrohmaanirrohiim
Yang terhormat: Ketua Pertemuan Nasional untuk Dialog Pemikiran,
Syekh Sholeh bin Abdurrahman al Hushen

Assalaamu Alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh. Amma Ba’du;
Menanggapi ungkapan Anda yang berintikan undangan buat saya untuk hadir dalam Dialog Nasional Kedua. Demi memenuhi undangan Waliyyul Ahdi (penguasa) maka kami memberitahukan bahwa kami setuju untuk hadir dalam Dialog Nasional ini. Kami memohon kepada Allah semoga Dia memberi pertolongan kepada kita agar bisa beramal sholeh, mematikan fitnah di antara kaum muslimin, menyatukan kalimat mereka dan mengumpulkan urusan mereka dalam kebenaran.

Washollallahu alaa Sayyidinaa Muhammad wa alaa Aalihii wa Shohbihi wa Sallam
Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani



Teks Pembahasan

Bismillahirrohmaanirrohiim

Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam atas utusan termulia, junjungan kita, Nabi Muhammad SAW dan keluarga serta seluruh sahabat. Amma Ba’du.
Tahiyyat Islam kami persembahkan kepada Anda sekalian:

Assalaamu Alaikum Warohmatulloh Wabarokaatuh.

Saya menyambut gembira terhadap undangan yang mulia ini. Saya merasa sangat senang dengan munculnya ide yang agung ini. Betapapun itu terlambat, tetapi urgen dan harus dilaksanakan andai saja hal ini dilaksanakan sebelum percikan api membesar dan sebelum bahaya menggurita. Saya ingin mengingatkan kembali bahwa seruan dan ajakan untuk berkumpul dan berdialog menyamakan persepsi dan pemahaman telah kami lontarkan sejak dua puluh tahun lalu dalam buku saya “Mafaahim Yajibu an Tushohhah”. Saya juga telah memberikan peringatan akan masalah–masalah yang muncul dan dampak negatif yang mesti terjadi sebagai akibat dari sikap ekstrem (ghuluw/tathorruf) yang dibiarkan dan tidak dipedulikan dalam buku saya “at Tahdziir Minal Mujaazafah bit Takfiir” yang telah dicetak sepuluh tahun lalu.

Sungguh langkah yang mulia ini datang tepat pada waktunya. Kenyataan memang telah membuktikan pada tempatnya dan datang dari pihak yang memang berkompeten. Sungguh langkah ini dinanti oleh seluruh penduduk dunia sebab semua menggantungkan harapan dan prasangka baik mereka pada kerajaan (mamlakah), para penguasa, politikus, dan ulamanya. Mereka juga menganggap semuanya sebagai suatu standar (miizan), komentar dan fatwanya sebagai hikmah hasanah, akal yang sempurna serta pendapat yang paling tepat. Sungguh realitas ini adalah bagian dari nikmat Allah.

Saya sendiri yakin bahwa langkah–langkah bijak yang dilakukan dengan serius oleh pemerintah ini akan memberikan penjelasan yang memuaskan sebelum keluarnya penjelasan yang dinantikan dari Anda sekalian. Dan satu hal yang mesti disepakati, ditetapkan, dan disiarkan ---sebelum dialog dan diskusi ini berjalan lebih lanjut-- adalah penjelasan global bahwa tindakan teror dan pengafiran yang terjadi di negeri ini dengan mengatasnamakan agama harus dihentikan. Klaim sepihak dan ulah brutal, penghinaan terhadap para imam kaum muslimin, pelecehan atas al Qur’an dan as Sunnah, mengapling surga dan neraka untuk orang-orang yang mereka kehendaki dengan seenaknya, dan semboyan mati syahid bagi siapa saja yang ikut dan menjadi simpatisan mereka harus segera diberantas.

Sungguh telah banyak kaum yang lemah dan yang miskin yang lenyap menjadi korban masalah ini. Padahal, sebenarnya mereka adalah orang–orang yang penanya tidak memiliki ruang gerak, tak ada suara bergelombang dari mereka yang bisa didengarkan dan sama sekali tak ada hasil pemikiran mereka yang layak disebarluaskan dalam media informasi model apapun. Mereka telah termakan kezholiman. Mereka pergi begitu cepat dan hilang dalam sekejap, justru saat lawan–lawan mereka bisa duduk dan berdiri dan bisa bebas melakukan gerakan. Benarlah jika ada orang yang berkata, “Udara telah kosong untukmu maka cetaklah putih atau kuning (sesuai seleramu)”. Dalam situasi pintu tertutup, ruang gerak dibatasi, dan pusat komando dihentikan seolah terdapat sebuah peraturan dan keputusan pemerintah yang tidak bisa diganti atau diganggu gugat. Mengomentari kondisi seperti ini sangat layak bila dikatakan, “Kondisi ini seperti nash Allah Azza wajalla, keputusan Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam yang tidak bisa dilawan dengan pendapat, masukan, perdebatan, atau protes apapun.”

Sungguh Allah telah memberikan pertolongan-Nya kepada para pemegang kebijakan (instansi pemerintahan), utamanya yang mulia, Khodimul Haromain, yang memprakarsai dan memberikan perhatian istimewa pada Muktamar Pemikiran dan Dialog Ilmiah yang tenang (dan menyenangkan) ini. Sungguh, (sekali lagi ini) adalah usaha mulia yang mendapatkan taufik dari-Nya dalam mengantisipasi bahaya besar dan memberikan manfaat yang besar pula.

Langkah dan usaha semacam ini pasti membawa manfaat berupa terhindarkannya pertumpahan darah, kehormatan yang terjaga, aib dan cela yang terlindungi, dan lubang- lubang mengangah yang tertutupi. Formalitas seperti ini juga menjadi pertanda jelas akan kemuliaan yang dikirimkan oleh Allah ke negeri kita yang berupa para penguasa yang sejak semula memiliki komitmen kuat untuk menyebarluaskan agama, ilmu dan kekayaan ilmiah, dan membangun peradaban manusia yang modern dengan aroma rasa sosial yang kuat dengan dasar–dasar yang kokoh dan metode yang jelas. Kemuliaan yang dikirimkan Allah tersebut telah berlangsung sejak masa almarhum Raja Abdul Aziz yang telah mengikis fanatisme, mempersatukan dan menghilangkan perbedaan–perbedaan, dan merobohkan sekat–sekat latar belakang.

Usaha tersebut sama sekali tidak menyisakan tempat bagi para penyeru keburukan maupun agen–agen asing untuk bisa masuk dan menjadi benalu dalam tatanan masyarakat Saudi yang kokoh dan bersatu yang sangat loyal dengan kepemimpinan beliau yang penuh dengan cinta dan kredibelitas.

Seperti disaksikan, perpecahan dan tindakan teror merupakan bencana dan keburukan (yang muncul dari para ekstremis ) yang saat ini menjadi beban berat banyak masyarakat. Dalam situasi seperti ini, para pengacau (penyeru keburukan) akan dengan mudah membuat dan menyebarluaskan fitnah, memperkeruh suasana, dan mencari kesempatan dalam iklim perdebatan pemikiran dan ilmu yang sedang terjadi di antara kita.

Hal ini sangat mungkin untuk memunculkan masalah, membuat semuanya menjadi rumit serta memunculkan kasus–kasus yang tidak bermanfaat dan tidak pula mempersatukan. Bahkan sebaliknya, hal itu akan membahayakan dan menjadi penyebab perpecahan serta tak ada apapun yang bisa dibanggakan dari awal hingga akhir sebab terlanjur banyak pihak yang dewasa ini merasa tersakiti dan terbakar oleh apinya yang membara yang terkadang terlihat dan pada suatu saat tersembunyi begitu rapi.


Ekstrem dalam Mengafirkan

Uraian topik ini merupakan salah satu agenda pokok muktamar dan dialog kali ini. Akan tetapi, saya tidak ingin mengulas dan menjabarkan arti secara etimologi dari kata ini (ghuluw) sebab telah diungkap dan dijelaskan oleh yang lain. Hanya saja, di sini kami ingin memberikan definisi ghuluw sebagai suatu tindakan keluar dari batas sedang dan tengah–tengah yang sudah digariskan dan dianjurkan oleh Islam serta sangat ditekankan agar dipegang dengan teguh dan jangan sampai dilepaskan sebagaimana disebut dalam firman Allah:

وَكَذَلِكَ جَعَلْناَكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ...


“Dan demikian (pula) Kami jadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia... “ (Q.S. al Baqoroh: 142)

Dengan pengertian seperti ini, bisa disimpulkan bahwa ghuluw (sikap ekstrem) bukanlah suatu hal baru, tetapi telah sangat lama dan berumur tua sejajar dengan umur manusia. Perhatikanlah firman Allah yang artinya, “Wahai ahli Kitab, janganlah kalian bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian....” (Q.S. an Nisa’: 171)
Nabi Muhammad ShollAllahu Alaihi Wasallam bersabda:

إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ


“Waspadailah oleh kalian tindakan ghuluw dalam beragama sebab sungguh ghuluw dalam beragama telah menghancurkan orang sebelum kalian.”

Ada satu poin penting yang perlu dicamkan dari hadits ini, yaitu fenomena di mana tak ada satu umat pun (yang pernah ada) yang sepi dari kelompok–kelompok yang bertindak ghuluw (al Mughooliin). Jadi, ghuluw merupakan bencana lama yang terbukti menjadi sebab kehancuran banyak umat. Yahudi, misalnya, sejarah menceritakan betapa banyak kisah–kisah seputar kehadiran mereka yang sangat aktif dalam lapangan tindakan ekstrem yang berbentuk aksi teror, kebiadaban, dan keangkuhan yang salah satunya terwujud dalam aksi mendustakan (takdziib), mengintimidasi, dan bahkan membunuh sebagian para nabi. Al Qur’an telah mencatat dan menyuguhkan aksi–aksi penghinaan tersebut dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan al Kitab (Taurot) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut–turut) sesudah itu dengan rasul –rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruuhul Qudus.

Apakah setiap datang kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian angkuh, maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh.“ (Q.S. al Baqarah: 87) Dalam berakidah, orang Nashrani juga bertindak ghuluw dengan mengangkat Isa bin Maryam alaihissalaam sampai pada tingkat ketuhanan dan mereka pun menyembahnya.

Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya telah kafirlah orang–orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al Masih putera Maryam’, padahal al Masih sendiri berkata, ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada seorang penolong pun bagi orang–orang zholim itu. Sesungguhnya kafirlah orang–orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’. Padahal, sekali–kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa.

Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang–orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (Q.S. al Maidah: 72 – 74).Ekstremisme Nashrani tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya, tetapi menjalar pada keyakinan bahwa para pastur dan pendeta berhak menentukan suatu hukum selain (ketentuan hukum) dari Allah.

Lebih jauh lagi, mereka bahkan menyatakan kesanggupan secara total untuk patuh kepada pastur dan pendeta dalam segala hal yang bertentangan dengan syariat dan hukum Allah. Ini semua terdorong oleh ulah para pastur dan pendeta yang menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal atas mereka serta menetapkan hukum dan syariat yang sesuai dengan selera dan hawa nafsu sehingga mereka sangat antusias menerima dan menaatinya. Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.

Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah: 31)Dalam aspek kehidupan dunia, kaum Nashrani juga memiliki banyak sikap yang termasuk dalam kategori tindakan ghuluw yang di antaranya seperti dijelaskan oleh firman Allah: ...وَرَهْبَانِيَّةَ نِابْتَـدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ...“ .... Dan mereka mengada–adakan rohbaaniyyah. Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada–adakannya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya ....“ (Q.S. al Hadid: 27) Sungguh bibit tindakan ghuluw dari sebagian orang pernah tampak pada masa Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, tetapi segera dicegah dan dibabat sampai ke akarnya meski bibit itu tidak dalam lapangan Aqidah, melainkan dalam medan ibadah.

Dalam masalah ini, Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam benar–benar meneliti dan melakukan pengawasan ketat serta memberikan pengarahan menuju arah yang benar. Hal itu seperti diceritakan oleh Anas ra bahwa ada tiga orang datang ke rumah–rumah isteri Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam guna meminta informasi tentang ibadah beliau.

Setelah mendapat penjelasan, mereka sepertinya menganggap ibadah Nabi SAW terbilang sedikit. Karena itulah, mereka saling berkata, “Di mana kita (dibandingkan) dengan Nabi SAW yang telah diampuni segala yang telah berlalu dan yang akan berlaku.” Seorang kemudian berkata, “Adapun aku, maka sungguh aku akan terus sholat semalam suntuk selamanya!” Yang lain juga berkata, “Aku akan terus berpuasa selamanya dan tak akan berbuka!” Sementara itu, orang ketiga berkata, “Aku menjauh dari wanita dan tak akan pernah menikah selamanya!” Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam datang lalu bersabda yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”

Pengarahan yang diberikan oleh Rasulullah SAW ini kiranya sama sekali tidak menyisakan alasan apa pun bagi mujtahid untuk berijtihad guna menetapkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat, melarang hal yang tidak dilarang oleh syariat atau memfatwakan suatu produk hukum sesuai dengan selera dan pendapatnya.

Hadits tersebut bukan berarti melarang secara mutlak untuk berijtihad dalam beribadah sebab berijtihad dalam ibadah (seperti dimaklumi) merupakan tuntutan syariat selama berada dalam koridor syariat seperti dijelaskan oleh Allah: وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْـنَا لَنَهْدِيَنَّـهُمْ سُبُـلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ "Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bena–benar beserta orang–orang yang berbuat baik.“ (Q.S. al Ankabuut: 69) Allah juga berfirman, “Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian serta surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang disiapkan bagi orang–orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imron: 133)“Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang banyak dan sucikanlah Dia di waktu pagi dan sore hari.” (Q.S. al Ahzaab: 41-- 42). Sungguh hadits tersebut hanya mengajak dan mendorong pada keseimbangan (Muwaazanah) dalam segala tuntutan dan kewajiban.

Hal ini (sebagai langkah antisipatif atas) tindakan ekstrem (ghuluw) yang mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka. Ini adalah tindakan ghuluw yang sebenarnya. Karena itulah sikap dan sisi pandang (ittijaah) yang diambil dan dianut oleh para sahabat (yang disebut dalam hadits riwayat Anas ra di atas) tidak diakui dan segera ditangani oleh Nabi SAW dengan memberi penjelasan langsung bahwa sikap dan sisi pandang demikian merupakan bentuk ghuluw. Selanjutnya Nabi SAW memberikan bimbingan bahwa esensi takut dan takwa kepada Allah bukanlah dengan bersikap ekstrem, terlalu, atau teledor, melainkan dengan sikap yang seimbang terhadap aneka ragam tuntutan (mathoolib).

Atas dasar ini, (bisa dimengerti bahwa tabir) perbedaan antara giat (ijtihad) dalam ibadah dan ghuluw sangat tipis.Sungguh sangat disayangkan, ketika sebagian dari para pelaku kebaikan yang getol memperjuangkan kebaikan justru melakukan kekeliruan dalam menggunakan dan menerapkan istilah ini (ghuluw) atas diri mereka dan orang–orang selain mereka.

Hal itu akan berakibat pada terjadinya keburukan yang luas serta pintu–pintu fitnah besar yang terbuka lebar dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dalam bukunya (Iqoomatul Hujjah alaa Annal Iktsaar fil Ibaadah Laisa bi Bid’ah), Syekh Abul Hasanaat Abdul Hayyi al Lacknawi menjelaskan perbedaan dalam topik penting ini dengan tuntas.

Bahkan, termasuk tindakan yang jelas–jelas bagian dari sikap ekstrem adalah klaim sebagai pelaku bid’ah yang ditumpahkan atas sebagian ulama ahli suluk dan tarbiyah yang memfokuskan diri dalam beribadah. (Sekali lagi ) saya mengatakan, “Hal ini adalah bagian dari sikap ekstrem!! Laa Haula walaa Quwwata illa Billaah al Aliyyil Azhiim” Model Performa Ekstremisme (Ghuluw) Di antara performa–performa (mazhoohir) tindakan ghuluw adalah apa yang kita saksikan dari perilaku sebagian orang yang melakukan hujatan dan serangan sadis terhadap mayoritas ulama umat Islam yang berhaluan Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Syiah, Ibadhiyyah dan Shuufiyyah serta mengklaim secara mutlak bahwa seluruh mereka adalah kafir, syirik, sesat, keluar dari agama dan seterusnya tanpa terkecuali.

Meski demikian, dalam kesempatan ini kami tidak berkehendak ikut campur dalam menguraikan klaim tersebut beserta maksud, tujuan, perkembangan, dan sejarahnya, (apalagi memberi penjelasan dengan) rinci tentang madzhab dan aliran ini. Sebab hal ini tentu ada tempat dan medan yang spesifik untuknya, yaitu pembahasan ilmiah dan sisi pandang yang ada untuk kemudian dibahas secara bebas serta independen.

Hal penting bagi kita (di sini) adalah mendukung dan memantapkan langkah dan usaha memberikan peringatan agar waspada dan tidak gegabah mengafirkan kelompok ini, madzhab itu, dan madzhab ini, serta (waspada akan) dampak dari pengafiran ini yang berupa munculnya aksi teror (irhaab) dan perusakan (ifsaad) di bumi. Sungguh, aksi teror telah banyak memakan korban nyawa manusia hanya karena perselisihan ini.

Sementara aksi perusakan maka bukti–buktinya bisa disaksikan dengan nyata yang berupa tindakan anarkis dan penghancuran hingga buku–buku ilmiah pun tidak selamat dan turut menjadi korban. Betapa sangat disayangkan ketika ada sebuah kelompok yang senantiasa berjihad untuk Islam ternyata melakukan pembakaran terhadap kitab–kitab dan ensiklopedi yang di antaranya adalah Fathul Baari Syarah Shohih Bukhori milik al Hafizh Ibnu Hajar hanya karena alasan bahwa penulis berhaluan dan mengikuti jejak Imam Asy’ari dalam menafsirkan hadits–hadits tentang sifat–sifat-Nya yang terdapat dalam Shohih Bukhori. Di sini kami mengatakan, “Sebelum mencela dan mencaci mereka maka wajib bagi kita semua mengerti sebab yang menjadikan mereka bertindak semacam itu.

Jika sebab diketahui maka hilanglah keheranan. Anda sekalian tidak akan lama tenggelam dalam keheranan jika Anda sekalian mengetahui bahwa sebagian orang pandai yang mengaku sebagai pelayan ilmu telah mengeluarkan fatwa dan memutuskan hukum bahwa Asy’ariyyah adalah kafir. Fatwa itu kemudian disebarkan dalam tulisan–tulisan ataupun ceramah–ceramah yang mereka berikan. Inilah sebab langsung dari munculnya dampak–dampak (negatif tersebut). Orang pandai itulah yang telah membuat dan memproduksi kunci di pabriknya kemudian menyerahkan kunci tersebut kepada mereka (para pelaku tindakan teror).

Dialah yang menyiapkan dan membuka pintu (tindakan ghuluw/terorisme). Akan tetapi, ketika kedua daun pintu telah terbuka lebar, dia berpaling dan mengatakan, “Sungguh aku berlepas diri dari kalian. Sungguh aku melihat apa yang tidak kalian lihat.” Akan tetapi, (ini) setelah Khaibar sudah hancur. Syekh Ibnu Taimiyyah berkata:Dalam fatwa–fatwa al Faqiih Abu Muhammad, terdapat banyak hal bagus. Aneka permasalahan ditanyakan kepada beliau dan di sana beliau mengatakan, “Adapun para ulama yang melaknat para Imam Asy’ariyyah, maka barang siapa yang melaknat mereka maka ia harus dita’zir (diberi hukuman) dan laknat pasti kembali kepada dirinya sendiri.

Barang siapa melaknat seseorang yang tidak berhak dilaknat maka laknat itu pasti menimpa dirinya sendiri. Sungguh ulama adalah penolong agama (anshoorud diin) sementara Asy’ariyyah adalah penolong dasar–dasar agama (anshoor ushuuliddiin)”. Sulthonul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdussalaam menyebutkan, “Sesungguhnya Akidah Imam al Asy’ari telah disepakati oleh seluruh pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan para petinggi madzhab Hambali. Di antaranya adalah guru besar madzhab Maliki, Syekh Abu Amar bin al Hajib, yang hidup sezaman dengan Imam Asy’ari serta guru besar madzhab Hanafi, Syekh Jamaluddin al Hushoiri.

Sementara Imam al Khoyaali dalam catatan kaki (Hasyiyah) Syarhul Aqo’id mengatakan, “Orang–orang madzhab Asy’ari (Asyaa’iroh), mereka adalah ahlu sunnah wal jamaah.” Di sini kita tidak sedang melakukan studi terhadap madzhab ini atau aliran itu dengan segala prinsipnya untuk kemudian memberikan penilaian, tanggapan, dan komentar sebagai hasil akhir dari studi tersebut. Hal ini ada saat dan tempat, dan tokoh–tokoh di bidangnya sendiri. Karena itu, wajib atas mereka --sebagai tanggung jawab keilmuan, negara, dan sejarah-- mencurahkan usaha dengan maksimal untuk mewujudkannya sebagai sumbangsih dan pelayanan kepada riset ilmiah.

Di dalam riset tersebut, setiap hal dalam masalah ini bisa diterima dengan lapang dada dan nalar yang luas terbuka selama maksud dan tujuan terarah pada menampakkan kebenaran (ihqoqul haqq) dan menjelaskan kebatilan (ibthoolul baathil) seperti disebut dalam sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam: إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ“Jika hakim memberi keputusan dan berijtihad kemudian tepat (sesuai kebenaran) maka baginya dua pahala. Jika dia memutuskan hukum lalu berijtihad dan (ternyata) salah maka baginya satu pahala.” (Muttafaq alaih) Tentu saja, semua ini harus disertai kesadaran bahwa semua pintu di medan ini (medan pemikiran, aliran, dan pendapat ) tidak bisa terlepas dari kritik, sanggahan, dan garis bawah (dari pihak lain). Sebab, terjaga dari kesalahan (ishmah) hanya berlaku bagi Kitab Allah yang tidak bisa didatangi kebatilan dari depan maupun belakang, dan berlaku bagi Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam yang tidak berkata atas dasar keinginan, melainkan wahyu yang diwahyukan. Dalam masalah ini, Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) telah menggariskan satu standar ideal dan ungkapan yang tepat yang bisa dijadikan ukuran keadilan. Beliau mengatakan, “Setiap dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.Pembagian Klaim Syirik & Kufur kepada Kelompok–Kelompok Islam dalam Kurikulum PembelajaranDalam pertemuan dan kesempatan yang baik ini, saya ingin mengingatkan kepada Anda sekalian tentang sebagian kurikulum sekolah, khususnya materi tauhid. Dalam materi tersebut terdapat pengafiran, tuduhan syirik dan sesat terhadap kelompok-kelompok Islam sebagaimana dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiy (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah yang berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari agama. Materi kurikulum tersebut menjadikan sebagian pengajar terus memperdalam luka dan memperlebar wilayah perselisihan. Padahal, 3/4 penduduk muslim seluruh dunia adalah Shuufiyyah dan seluruhnya terikat dan meramaikan padepokan (zaawiyah) mereka dengan tashowwuf. Bahkan, harus dimengerti bahwa zawiyah–zawiyah tersebut memiliki jasa besar dalam memerangi penjajahan, membela negara, menyebarkan agama, dan memberikan pengajaran kepada kaum muslimin. Inilah sikap dan perilaku zawiyah Sanusiyyah, Idrisiyyah, Tijaaniyyah, Qoodiriyyah, Rifaa’iyyah, Syadziliyyah, Mahdiyyah, Naqsyabandiyyah, dan Marghoniyyah. Sejarah yang objektif dan terpercaya mengakui akan hal ini. Sementara itu, generasi berikut dari para imam thoriqot tersebut seperti Syekh Umar al Mukhtar, Syekh Abdul Qodir al Jazairi, al Imam al Mahdi, Syekh Umar al Fauti at Tiijani, Syekh Utsman bin Faudi al Qodiri juga mempunyai jasa–jasa yang perlu dihargai dalam berjihad di jalan Allah. Para imam tersebut melayani agama dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan untuk memerangi kebodohan dan tindakan bid’ah. Adapun (lebih jauh lagi) para imam tashowwuf pendahulu mereka yang terkenal dalam abad–abad terdahulu seperti Imam Rifai, Imam al Badawi, Imam Syadzili, dan para imam lain setingkat mereka serta para imam dari generasi tabi’in dan para pengikutnya dari para ahli Hilyah, Shofwah, Risalah dan Madarijis saalikin.Usaha dan jihad mereka semua di jalan Allah merupakan suatu hal yang banyak memenuhi sejarah dan telah banyak dikisahkan oleh buku–buku biografi (Manaaqib/Taroojim). Meskipun begitu, kita tidak mengatakan mereka ma’shum sebab setiap kita dan mereka (adalah sama,) diambil dan juga ditolak. Ijtihad yang mereka lakukan juga berputar antara daerah kebenaran dan kesalahan, diterima dan dibantah. Kendati begitu, kita semua tidak ingin mereka dihujat dengan tuduhan keluar dari Islam, kafir, syirik, dan fanatik dalam bermadzhab. Saya ingin bertanya kepada Saudara–Saudara yang berijtihad dalam menetapkan hukum dan klaim–klaim tersebut, dalam hitungan mereka berapa banyak mereka akan kehilangan saudara sesama kaum muslimin? Dengan hukum mereka yang menyimpang, berapa banyak tali silaturrahim dan persaudaraan Islam yang akan mereka putuskan di antara ratusan juta kaum muslimin yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah? Karena itulah, marilah kembali meninjau perhitungan kita bersama saudara–saudara kita!Tiga Pembagian Tauhid sebagai Faktor DominanDi antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajaran tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi tiga bagian: 1) Tauhid Rububiyyah, 2) Tauhid Uluhiyyah, dan 3) Tauhid Asma’ was Shifaat. (Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa sahabat, tabi’in maupun tabi’it taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah. Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid. Selanjutnya taqsiim ini juga akan senantiasa menjadi sarana yang mudah didapat untuk terus mengeluarkan klaim–klaim dan keputusan seenaknya tanpa didasari pemikiran dan perenungan. Taqsiim ini, terlepas dari penelitian apakah memiliki dasar dalam aqidah Islaamiyyah atau tidak, yang jelas dan sangat disayangkan kini telah menjadi dasar kuat (dan alat) untuk mengafirkan banyak kelompok Islam. Andai saja yang menjadi korban dari taqsiim ini hanya sebagian orang, tentu bencana sangat ringan dan mudah diatasi. Akan tetapi, musibah ini ternyata menimpa mayoritas umat: ulama dan awam, pemikir, juga para sastrawan. (Dengan demikian), pada hakikatnya taqsiim ini merupakan goresan yang memotong tali hubungan di antara umat Islam. Jika kita berniat membersihkan Makkah Madinah --dengan standar pendapat mereka-- dari orang–orang yang dicurigai sebagai pemilik kesyirikan, penyembah para wali, pengagum Ahlul Bait, dan pengikut pemahaman umum dalam sifat–sifat-Nya, tentu akan terjadi penolakan terhadap banyak jamaah haji dan para peziarah. Para jamaah haji dan para peziarah tersebut, dalam musim–musim agama, berasal dari berbagai kelompok umat Islam yang seluruhnya mendapat sambutan dan pelayanan dari pemerintah serta kebebasan menjalankan apapun sesuai dengan prinsip (madzhab) mereka yang sedikitpun tidak bertentangan dengan syariat Islam. (Sungguh, betapapun perbedaan itu ada), tetapi hanya berputar dalam masalah khilaafiyyah, hal di luar yang sudah disepakati bersama (ijma’) seperti halnya para pelaku kesalahan dan pelanggaran syariat. Para ulama tidak pernah sepakat (berijma’) mengafirkan para pelakunya, karena termasuk dalam firman-Nya: إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni apabila Dia disekutukan dan Dia memberikan ampunan kepada selain itu kepada orang yang Dia kehendaki.” (QS an Nisa’: 48) Telah kami jelaskan di awal sambutan bahwa semua pihak dituntut untuk melakukan penjernihan (tashfiyah), pembersihan (tanqiyah), saling mengingatkan, mengoreksi, dan dengar pendapat (murooja’ah), berusaha saling memahami (mufaahamah), dan mengadakan dialog (muhaawaroh) dengan memegang satu prinsip, “Sesungguhnya setiap jalan pemikiran ilmiah dalam agama, cabang–cabang, dan rinciannya yang masuk dalam medan ijtihad harus mau dikoreksi untuk perbaikan, pergantian, dan perubahan. Pemiliknya tidak boleh meyakini cabang dan rincian tersebut sebagai suatu masalah pasti yang wajib diterima dan dihormati seperti dua dasar pokok, yaitu al Qur’an dan al Hadits.” Jika semua pihak memegang prinsip ini, niscaya semuanya bisa bertemu, saling mendekat, menerima alasan orang lain, dan saling memaafkan satu sama lain. Sudah barang tentu, ini merupakan pondasi langkah–langkah pertama untuk membangun persatuan Islam yang diinginkan dan didambakan serta menjadi keinginan kuat setiap muslim. Kendati begitu, ini tidak lantas harus menghapus, memberantas, membuang, dan menolak secara total serta tidak memberikan pengakuan akan keberadaan komunitas yang berbeda yang telah ada di muka bumi dan memiliki akar kuat, para penjaga, dan pengikut yang loyal dan siap menjadi pembela. Sesungguhnya mayoritas kaum muslimin, dari saudara–saudara kita yang dikenal dengan tashowwuf dan meresapi betapa tashowwuf telah menyematkan kemulian dan keagungan besar kepada mereka serta merasa bangga memiliki hubungan dengannya. Itulah tashowwuf yang benar dan sesuai syariat serta berdiri di atas landasan maqom ihsan, maqom yang dibanggakan. Semestinya, setiap orang Islam berusaha mengenal dan memiliki hubungan dengannya yang digambarkan dalam sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam: ...أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ...“…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim) Sungguh, mereka semua dituntut untuk kembali meneliti dan meninjau ulang kurikulum kemudian mengoreksi, membenarkan, dan meluruskan sesuai kebenaran, keadaan, kenyataan, dan selaras dengan semangat persatuan nasional dalam perlindungan dan perawatan satu pemerintahan yang melihat semuanya dengan satu pandangan keadilan. Ibaratnya seperti anak–anak seorang lelaki yang semuanya harus memperoleh hak–hak dan kewajibannya masing–masing. Mereka mendapat kesempatan yang sama, perhatian dan kasih sayang yang seimbang. Semuanya berhak mengingatkan, “Takutlah kepada Allah dan berbuatlah adil terhadap anak–anak kalian.” Model GhuluwDi antara rupa dan performa yang terlihat sangat buruk dalam lapangan ghuluw pada era ini adalah apa yang kita saksikan dilakukan oleh para pemuda yang terseret memasuki pintu ini oleh faktor husnuz zhon, pemahaman yang salah atau kealpaan. Semua itu membawa mereka terjatuh dalam bahaya besar, menyeret mereka untuk terperosok dalam banyak problema yang semestinya tidak perlu terjadi jika saja kebanyakan orang mau menanganinya. Para pemuda tersebut mencela, mencaci, dan meremehkan para salaf yang sholeh, generasi yang membawa agama ini sampai kepada kita dan telah menghabiskan seluruh umur untuk membela syariat pemimpin para utusan, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. Generasi itu pula satu–satunya kelompok yang menjadi pelayan sunnah nabawiyyah sehingga bisa sampai kepada kita dalam keaadaan putih dan bersih. Imam Abu Hanifah, misalnya, oleh mereka (para pemuda) dikatakan sebagai seorang Jahmiyyah Murji’ah, seorang ahli bid’ah yang sesat dan pembawa naas bagi Islam dan pemeluknya. Begitu pula Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al Asqolani, Imam Ghozali, Imam Juned, Imam Ibrahim bin Adham, Imam Fudhel bin Iyadh, Imam Sahl at Tustari, Imam Dzahabi, Sulthonul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdussalam, dan lainnya. Sungguh, pena merasa malu untuk menulis caci maki yang mereka keluarkan dan julukan–julukan jelek yang mereka lontarkan terdengar begitu risih oleh telinga orang yang mendengarkan. Dan hal ini terdapat dalam seluruh isi buku dan sepanjang isi kaset yang telah disebarkan. (Jika perlakuan demikian diterima oleh para generasi salaf), maka sudah barang tentu caci maki itu juga dilontarkan terhadap ulama–ulama masa sekarang. Laa Haula walaa Quwwata illaa billaah. Kedangkalan Tsaqafah dan Pengertian AgamaSudah barang tentu kita semua sepakat bahwa penghinaan, hujatan, dan caci maki kepada para ulama seluruhnya bersumber dari ketidakluasan ilmu dan pengertian agama, atau belajar tanpa adanya pengajar. Hal inilah yang menyeret sebagian para pemuda kita pada ketidaktepatan dalam menggali sebagian hukum, cenderung memusuhi setiap orang yang berbeda dengan mereka, dan menganggap pendapat pihak yang bertentangan dengan mereka sebagai hal yang bodoh.Fanatik PendapatKedangkalan wawasan keagamaan, seperti kita saksikan dewasa ini, juga membawa sebagian dari para pemuda kita bersikap fanatik (ta’assub) dan menuhankan pendapat sendiri (istibdad bir ro’yi) khususnya dalam masalah–masalah yang sebetulnya di situ ijtihad bisa diterima.Orang–orang yang biasa berdebat, bertukar pendapat, dan berdialog pasti mengenal ungkapan, “Pendapatku benar, tetapi mungkin juga salah. Dan pendapat lawanku salah, tetapi mungkin juga benar.” Adapun tidak mengakui pendapat dan mengingkari kebenaran yang dimiliki orang lain yang bersilang pendapat dengannya maka sungguh itu adalah salah satu bencana besar yang diakibatkan oleh ghuluw, khususnya pada saat ini. Kiranya tak ada satu pun orang berakal yang mengingkari bahwa jika manusia tidak mengerti akan sesuatu maka pasti memusuhi sesuatu tersebut. Faktor bencana ini, (sekali lagi adalah), minimnya pengetahuan agama, bangga dengan pendapat sendiri (i’jaab bir ro’yi) dan cenderung menuruti hawa nafsu. Sebagian dari kaum ekstremis bahkan sampai bertindak kelewat batas dengan membodohkan orang lain dan menuduhnya sesat dan keluar dari agama. Ini pun disebabkan oleh fanatik dan keyakinan bahwa hanya pendapat sendiri yang paling benar serta berusaha mempertahankan egonya. Sudah barang tentu bahwa hal tersebut merupakan bentuk fanatik yang paling dominan, eksklusif, dan semaunya. Karena itu, wajib bagi para ulama untuk menyelamatkan para pemuda dari fanatisme. Wajib pula bagi para ulama menyadari bahwa hal ini merupakan tantangan yang harus mereka hadapi. Mereka harus memiliki semangat tinggi untuk memberikan perhatian dan terapi kepada pasien-pasien yang sudah terlanjur terjangkit wabah ini agar mereka bisa segera sembuh. Jika hal itu dibiarkan, akan berdampak pada kehancuran, umat tercabik, dan terpecah belah. Padahal, Allah telah berfirman, “Jangan kalian saling berselisih karena itu membuat kalian lemah dan hilang bau kalian.” (Q.S. al Anfaal: 46)“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan berpecah belah.” (Q.S. Ali Imran: 103)Model GhuluwTermasuk contoh dari berlebih-lebihan dalam beragama adalah banyak kita lihat di dunia Islam para pemuda yang mengaku salafiyah (pengikut jejak para ulama terdahulu). Sungguh, pengakuan itu sangat mulia apabila pengakuan itu mereka realisasikan. Beberapa golongan lainnya mengaku ahli hadits (berpegang teguh kepada hadits). Pengakuan ini pun sangat mulia. Sebagian yang lain mengatakan tidak perlunya bermadhzab dan hanya berpegang teguh dengan al Qur’an dan as Sunnah saja karena al Qur’an dan as Sunnah adalah pilar-pilar agung berdirinya agama Islam sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. إِنِّى قَدْ خَلَفْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا مَا أَخَذْ تُمْ بِهِمَا أَوْ عَمِلْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ الله وَسُنَّتِى وَلَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَي الْحَوْضِ (رواه البيهقى في السنن“Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka. Kkalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh atau mengamalkan keduanya, yaitu al Qur’an dan Sunnahku. Keduanya tidak terpisahkan sampai mengantarkan aku ke al-haudl/telaga.”(H.R. al Baihaqy). Pengakuan ini pada hakikatnya sangat terpuji. Namun, pengakuan-pengakuan ini hanya pengakuan dari orang-orang yang bukan ahlinya. Pengakuan dari orang-orang yang berfatwa secara individual tanpa ada dasar ataupun sandaran dari para ulama yang terpercaya. Pendapat dan fatwa-fatwa mereka terlontar begitu saja tanpa adanya batasan, keterikatan kaidah-kaidah, bahkan asal-usulnya.Oleh karena itu, mereka mengingkari dan menyanggah keyakinan orang-orang selain mereka. Mereka beranggapan, “hanya merekalah yang berada dalam jalan kebenaran dan selain mereka telah terjerumus dalam kesesatan.” Hal ini adalah salah satu pijakan atas apa-apa yang kita dengar dari mereka dalam mengafirkan, memusyrikkan, dan menuduhkan hukum-hukum dengan memberikan julukan-julukan dan sifat-sifat yang tidak pantas bagi seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah ta’ala dan bahwa Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala. Misalnya, tuduhan mereka dengan mengatakan kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dengan sebutan ”perusak! dajjal! ahli bid’ah! Bahkan, pada akhirnya mereka mengatakan “musyrik, kafir, dan lainnya. Sungguh, sangat sering kita dengar dari orang-orang yang mengaku berakidah, mereka membabi buta mengucapkan kata-kata keji di atas. Bahkan, sebagian dari mereka menuduh orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dengan berkata, ”Wahai orang yang mengajak kepada kemusyrikan dan kesesatan di zaman ini. Waha pembaharu agama, Amr bin Luhai!”Begitulah, sering kita dengar mereka melontarkan hinaan dan ejekan yang tidak sepantasnya terlontar dari mulut seorang pelajar apalagi dari mulut seorang ahli ilmu yang seyogyanya memilih cara-cara terbaik dalam berdakwah dan bersopan santun dalam berdiskusi. Kemudian setelah itu, mereka mengaku pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka menjadikan beliau sebagai pintu atas segala perilaku mereka, sandaran hukum bagi pendapat mereka, dan mengajak manusia seraya menakut-nakuti mereka dengan berlindung pada nama besar beliau. Dalam kesempatan ini akan saya paparkan perkataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab yang membebaskan dirinya dari orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya. Mereka melakukan segala kehendak mereka dengan berlindung kepada beliau. Mereka membunuh siapa saja yang mereka kehendaki dengan menggunakan tajamnya pedang beliau. Mereka mengafirkan siapa saja yang mereka kehendaki dengan bersandar pada fatwa beliau. Mereka membagi segolongan manusia di surga dan sebagian yang lain di neraka hanya menurut pendapat mereka.Al Imam Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam suratnya yang dikirim kepada orang-orang al Qashim:”Telah kalian ketahui bahwasanya aku mendengar Sulaiman bin Suhaim telah mengirim surat kepada kalian. Bahkan, kalangan orang-orang berilmu di daerah kalian menerima dan membenarkan isi surat itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui bahwasannya orang itu (Sulaiman bin Suhaim) telah berbohong mengatasnamakan aku dalam beberapa perkara yang aku tidak pernah mengucapkannya. Bahkan, tidak pernah terlintas dalam hatiku.Di antara isi surat itu yang dia tulis bahwa aku mengingkari kitab-kitab empat madzhab yang ada dan aku berkata, ‘sesungguhnya manusia selama 600 tahun telah hidup dalam keadaan sia-sia dan bahwa aku mengaku sebagai mujtahid, aku tidak bertaqlid, dan aku berkata bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama adalah bencana dan bahwa aku mengafirkan orang-orang yang bertawasul dengan orang sholeh, dan bahwa aku mengafirkan al Bushiri karena dia berkata, ‘Wahai makhluk termulia!’ Dan bahwa aku berkata, ‘andai aku mampu menghancurkan kubah Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam, niscaya akan aku hancurkan dan andai aku mampu, aku akan mengambil talang emas ka’bah dan aku ganti dengan talang kayu, dan aku mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam dan aku mengingkari ziarah kepada kedua orang tua dan lainnya, dan aku bersumpah dengan selain nama Allah ta’ala dan aku mengafirkan Ibnu al Faridl dan Ibnu ‘Arobiy, dan aku membakar kitab Dalailul Khoirot dan kitab Roudur Royyahin dan menamainya Roudus Syaithan. Aku jawab semua masalah ini seraya aku katakan, ”Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang besar dan sebelumnya telah ada orang yang mendustakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, juga ada orang yang telah menghina Isa bin Maryam dan orang-orang sholeh sehingga hati mereka menjadi serupa dalam kedustaan dan kebohongan. Allah ta’ala berfirman: إِِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِآيَاتِ اللهِ ”Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta.”(Q.S. An Nahl:105)Mereka semua telah mendustakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam bahwa para malaikat, Isa, dan Uzair akan masuk neraka. Maka Allah swt menjawab perkataan mereka dengan firman-Nya: إِنَّ الَّذِيْنَ سَبَقَتْ لَهُمُ ِّمنَّا الْحُسْنَى أُولئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُوْنَ ”Sesungguhnya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.” (Q.S. Al Anbiya’: 101) Surat Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab lainnya: Surat ini dikirim oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada as Suwaidi, seorang ulama di Iraq, sebagai jawaban dari surat as Suwaidi kepadanya. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam suratnya berkata: “Sungguh, menyebarkan kebohongan adalah hal yang memalukan bagi orang yang berakal apalagi mengadakan kebohongan. Adapun yang Anda katakan bahwasanya aku mengafirkan segenap manusia kecuali pengikutku sungguh mengherankan. Bagaimana hal ini bisa terpikirkan oleh orang yang berakal? Apakah pantas seorang muslim berkata demikian? Adapun yang Anda katakan bahwa aku berkata, ’Andai aku mampu menghancurkan kubah Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, niscaya akan aku hancurkan. Juga tentang Kitab Dalailul Khairot, bahwa aku melarang untuk bersholawat kepada Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. Hal itu semua adalah dusta belaka dan seorang muslim tidak akan berkeyakinan adanya hal yang lebih mulia dari pada kitab Allah (al Qur’an). ”Sumbang Saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani dalam Dialog Nasional II di Mekkah, Ahad, tanggal 5 Dzulqo’dah 1424 H Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salam sejahtera semoga selalu tercurah kepada Rasul termulia, Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, keluarga, serta segenap sahabatnya. Amma ba’du. Sesungguhnya saya tidak ingin memperpanjang pembahasan tentang “melampaui batas dalam beragama” karena pembahasan ini telah dibicarakan oleh saudara-saudara kita sebelumnya (semoga Allah memberkahi mereka). Hanya saja, saya ingin menambah sedikit pendapat dari salah seorang saudara kita yang membahas tentang sebab-sebab ghuluw (keterlaluan dalam beragama). Mungkin bisa ditambahkan dalam pembahasan itu bahwasanya dari penyebab ghuluw yang bisa kita rasakan adalah kedangkalan dalam memahami agama. Kedangkalan pemahaman inilah yang menjadikan seseorang gegabah mengingkari hal-hal yang tidak dia ketahui karena setiap orang akan membenci apa yang tidak diketahui. Guru-guru kita, di antaranya, Imam Alawi al Maliki telah menyebutkan bahwa manakala seorang siswa lebih mendalami pemahaman dalam beragama niscaya dia tidak akan banyak mengingkari banyaknya masalah dan kasus-kasus yang terjadi . Hal itu karena dia mengerti tentang perbedaan pendapat para ulama.Beberapa saudara kita dalam presentasinya membahas fanatisme terhadap satu madzhab atau seorang imam. Sebenarnya, fanatisme terhadap satu madzhab atau seorang imam itu muncul akibat dangkalnya pemahaman ilmu fiqih. Telah kita ketahui bersama bahwa asas/dasar dari dialog dan diskusi ulama terdahulu adalah ucapan salah seorang dari mereka. Sesungguhnya pendapatku itu benar. Akan tetapi, ada kemungkinan salah. Pendapat orang lain menurutku salah. Akan tetapi, ada kemungkinan benar.Adapun mengingkari pendapat orang lain dan menyalahkannya, selagi tidak sependapat dengannya, hal itu termasuk penyakit yang besar khususnya masa dewasa ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu mengakibatkan kerusakan dan marabahaya karena hal itu akan mendorong pelakunya untuk mengingkari dan menyanggah pendapat orang selainnya. Mereka menganggap diri merekalah yang benar dan orang lain telah terjerumus dalam kesesatan. Anggapan inilah yang mereka jadikan pijakan atas perilaku mereka dalam mengafirkan, memusyrikkan, dan memberi julukan kepada seorang muslim dengan julukan yang tidak sepantasnya. Misalnya, mereka menjuluki orang yang berbeda pendapat dengan mereka sebagai perusak, dajjal, tukang sulap, ahli bid’ah, bahkan syirik dan kafir.Sungguh, telah banyak kita mendengar dari orang-orang yang mengaku berakidah mengucapkan julukan-julukan ini secara membabi buta. Bahkan, sebagian dari mereka menambahkan dengan perkataan, ‘Wahai penganjur kepada kemusyrikan, penganjur kepada kesesatan, pembaharu agama Abu Lahab, dan lain-lain.’ Begitulah kita sering mendengar celaan dan ejekan dari mereka, semacam kata-kata dan julukan yang tidak sepantasnya terlontar dari mulut seorang siswa, apalagi dari seorang ahli ilmu yang seyogyanya dia memilih cara terbaik dalam berdakwah dan bersopan santun dalam diskusi.Kemudian setelah itu mereka mengaku sebagai pengikut Imam al Mujahid, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka menjadikan beliau sebagai pintu atas segala perilaku mereka, sebagai sandaran hukum atas pola pikir mereka. Kemudian mereka melabeli pola pikir itu dengan nama besar beliau dan menakuti-nakuti segenap manusia dengan berlindung di bawah pedangnya. Sangat banyak fatwa dari Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (yang tidak bisa saya paparkan pada kesempatan yang sedikit ini tentang sanggahan beliau terhadap golongan yang melakukan segala perilaku tersebut dengan berlindung kepada beliau, dan membunuh siapa saja yang dia kehendaki dengan ketajaman pedang beliau, serta mengafirkan siapa saja yang mereka kehendaki dengan bersandar kepada fatwa beliau.Fatwa beliau yang berisi pembebasan diri beliau dari suatu hal yang disandarkan kepada beliau bahwa beliau mengafirkan orang yang bertawasul. Fatwa tersebut sangat panjang. Saya tidak berkenan untuk membahasnya panjang lebar. Fatwa itu ada dan bisa dilihat di dalam kitab-kitab karangan beliau yang telah dicetak dan disebarkan oleh dosen-dosen Universitas Islam Muhammad bin Saud semester lima.Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata di dalam surat yang beliau kirimkan kepada penduduk al Qashim, “Allah ta’ala Maha Mengetahui bahwa laki-laki itu (Sulaiman bin Suhaim) telah berdusta atas namaku dengan beberapa perkara yang sama sekali tidak pernah aku katakan bahkan tidak pernah terlintas dalam hatiku. Di antaranya dia berkata bahwa aku mengingkari kitab-kitab empat madzhab yang ada dan bahwa aku berkata, ‘Sesungguhnya segenap manusia selama 600 tahun hidup dalam kesia-siaan dan bahwa aku mengaku sebagai mujtahid dan bahwa aku tidak bertaqlid dan bahwa aku berkata bahwa perbedaan pendapat para ulama adalah bencana dan bahwa aku mengafirkan orang yang bertawasul dengan orang-orang sholeh dan bahwa aku mengafirkan al Bushiri karena perkataannya ‘wahai makhluk termulia’ dan bahwa aku berkata, ‘andai aku mampu menghancurkan kubah rasul, niscaya aku akan menghancurkannya. Andai aku mampu, niscaya aku ambil talang emas ka’bah dan aku ganti dengan talang dari kayu dan bahwa aku mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam ….sampai perkataan beliau…. Jawabanku atas semua masalah ini, aku berkata, “Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang besar). Fatwa ini dan fatwa-fatwa semisalnya sangat banyak tertulis di dalam kitab-kitab beliau. Kemudian aku ingin menutup keikutsertaanku dalam hal ini dengan beberapa saran tentang apa yang telah disampaikan oleh Saudara Syekh Dr. Abdurrahman bin Ma’la al Wahidi yang mengungkapkan bahwa keterlaluan dalam beragama terkadang terjadi di dalam amal perbuatan dan terkadang terjadi di dalam akidah. Menurut pendapat saya, bahwasanya pada masa kehidupan Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam sama sekali tidak terjadi ghuluw dalam berakidah yang memunculkan pengafiran, pemusyrikan, dan penyesatan kepada orang yang tidak sepaham. Hanya saja terjadi pada beberapa sahabat. Mereka berlebihan dalam beribadah. Sebagian mereka mewajibkan atas diri mereka sholat malam, sebagian lainnya mewajibkan atas dirinya berpuasa setahun penuh, sebagian yang lain tidak mau menikah selamanya. Ghuluw semacam inilah yang nampak di kala itu. Namun, ketika Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam mendengar hal itu, beliau segera mengingkarinya, kemudian mematikan dan menyingkirkan hal-hal tersebut pada waktu itu juga.Syekh al Luwaihiqi juga berpendapat bahwa pelaku-pelaku ghuluw bukanlah anggota dari suatu yayasan atau lembaga pemerintah. Menurut pendapat saya, bahkan sebenarnya yang terjadi adalah bahwa ghuluw banyak terjadi di dalam lembaga-lembaga pendidikan.Hal ini adalah akibat dari materi-materi pelajaran dan hasil dari himbauan-himbauan dalam masalah ini. Beliau juga membahas tentang masalah kurikulum. Beliau mengatakan bahwa kami tidak melihat orang-orang yang fanatik dalam bermadzhab, mengambil dalil dari kurikulum yang telah ada. Saya berpendapat bahwa walaupun mereka tidak berpegang pada kurikulum yang ada, atas apa yang telah mereka lakukan, dari bom bunuh diri, perusakan, pembangkangan, dan pengafiran. Akan tetapi, mereka sangat banyak mendapatkan pemahaman-pemahaman itu dan buku-buku kebudayaan dan kitab-kitab tauhid. Hal ini sudah bukan rahasia lagi.

Yang mulia, Syekh Aidh al Qorni --semoga Allah ta’ala memberkahinya-- berpendapat bahwa sudah seharusnya didirikan satu panitia khusus untuk mempelajari materi beberapa kitab yang hendaknya dikaji ulang dan dikoreksi kebenarannya, di antaranya kitab ad Duror as Saniyyah. Sungguh, aku sepakat dengannya dan aku mendukung permintaan ini, dan aku berpendapat bahwa bukan hanya kitab ad Duror as Saniyyah saja, tetapi kurikulum pelajaran tauhid di jenjang SD, SMP, dan SMA sudah seharusnya untuk dikoreksi, dibersihkan, dan dikaji ulang. Kurikulum yang ada sangat berlebihan karena membahas banyaknya kelompok-kelompok Islam dan perbedaan-perbedaan madzhab yang tersebar. Padahal, datang kepada kita ratusan ribu dari kelompok dan madzhab itu untuk berhaji. Kita berhadapan dengan mereka, melihat mereka sholat dan thowaf di ka’bah. Mereka bersama kita dan di hadapan kita, namun mereka dihukumi musyrik dengan hanya bertumpu pada kurikulum yang telah ada ini. Saya tidak ingin menyebutkan satu per satu nama mereka karena kalian lebih mengetahuinya.Yang mulia, Syekh Abdurrahman Ma’la, di halaman kedua menyebutkan tanda-tanda ghuluw dewasa ini. Beliau menyebutkan bahwa di antara tanda-tanda ghuluw adalah pengafiran para hakim, pengafiran orang-orang tertentu, dan pengafiran orang yang tidak mengafirkan orang kafir.

Hal ini (pengafiran orang yang tidak mengafirkan orang kafir) adalah salah satu masalah yang dibahas dalam kitab tauhid di sekolah-sekolah. Begitu juga tentang pengafiran sebagian golongan umat Islam yang tidak sefaham dalam masalah-masalah ilmiah. Sekian, hanya Allah-lah pemberi taufiq dan semoga kalian tetap dalam lindungan Allah ta’ala. Sumbang Saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani pada Dialog Nasional II di Makkah al Mukarromah, Senin 6 Dzulhijjah 1424 H Bismillaahirrohmaanirrohiim.Ini adalah sedikit sumbang saran dan sedikit tambahan pada apa yang dikemukakan oleh saudara Dr. Thoriq Habib. Beliau menyampaikan bahwa beberapa pemuda yang dianggap ekstrem dan keterlaluan dalam beragama telah mengajak dan menuntut untuk diadakan dialog.

Mereka juga telah mendatangi para ulama namun mereka ditolak.Bahasan yang disampaikan beliau ini menjadi api fitnah yang mengenai saudara-saudara kita yang disifati dengan pengafiran (keluar dari agamanya). Namun, apalah daya, mereka adalah orang-orang lemah dan miskin, tidak mempunyai kekuatan untuk menggerakkan pena mereka, tidak mempunyai gelombang-gelombang suara yang bisa didengar dan tidak mempunyai acara-acara yang dapat menyiarkan pendapat-pendapat mereka sehingga mereka pun ditindas dan didholimi. Mereka juga pergi dan hilang tersia-sia, padahal di sisi lain, pihak-pihak yang menentang mereka bebas beraktivitas sekehendak mereka.Hal itu karena pintu-pintu telah ditutup, tempat-tempat telah dibatasi, dan daerah-daerah telah diblokir dengan kekuasaan yang tidak bisa diubah. Mereka dijauhkan dari majalah-majalah ilmiah, tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan keilmuan dan dilarang untuk mengarang.

Meskipun terkadang hal itu diperbolehkan, akan tetapi tidak diperkenankan untuk menjalin hubungan dengan media atau mengikuti seminar-seminar keilmuan dan keislaman.Sekitar dua puluh tahun yang lalu, saya pernah diundang untuk Dialog Nasional tahunan di negara kita ini. Beberapa orang teraniaya dan terdholimi juga pernah diundang untuk berdiskusi dan berdialog beberapa tahun yang lalu.

Akan tetapi, mereka tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan isi hati mereka. Sungguh saya berharap, dialog ini awal dari segala kebaikan, mencairkan kebekuan, menghilangkan perasaan yang membedakan satu dengan yang lainnya sebagai penyebab terjadinya perbedaan dan fanatisme. Allah ta’ala Maha Pemberi taufiq. Sebenarnya, al Ustadz Qosim sangat bagus dan banyak memberi faedah dalam bahasan beliau yang mendalam dan luas. Namun, seyogyanya lebih diperhatikan lagi hal yang beliau sampaikan tentang kurikulum pelajaran yang banyak memberi pengaruh kepada pola pikir siswa. Mereka disibukkan dengan materi-materi mendalam yang berkisar tentang perbedaan-perbedaan ilmu kalam antara Mu’tazilah dan al Asy’ariyah.

Saya ingin menambahkan maklumat yang mungkin sudah tidak asing lagi. Hanya saja, saya ingin mengungkapkannya dalam kesempatan ini, yaitu sebenarnya hal tersebut tidak hanya sebatas menyibukkan para siswa dalam pelajaran itu saja. Akan tetapi, lebih dari itu kurikulum yang ada mendorong siswa untuk menghukumi orang-orang dengan julukan syirik dan keluar dari agama. Bahkan, menempatkan mereka dalam daftar orang-orang yang sesat sehingga akan memberi kesempatan kepada beberapa pengajar di luar jam pelajaran untuk lebih mendalami pertentangan dan mengorbankan api permusuhan antara anak-anak negeri yang bersatu ini.Kami tidak ingin untuk menerangkan hakikat madzhab atau pendapat ini. Hanya saja, saya ingin mengingatkan kalian bahwa Syekh Islam Ibnu Taimiyah adalah seorang yang netral ketika menyebutkan tentang Asy’ariyah. Beliau menyebutkan beberapa sifat baik mereka di dalam beberapa kitab karangan beliau walaupun beliau berbeda pendapat dengan mereka dalam beberapa perkara. Disebutkan dalam kitab al Fatawa tentang Asy’ariyah: العُلَمَاءُ أَنْصَارُ فُرُوْعِ الدِّيْنِ وَالأَشْعَرِيَّةُ أَنْصَارُ أُصُوْلِ الدِّيْنِ“Para ulama adalah penolong cabang-cabang agama dan Asy’ariyah adalah penolong dasar-dasar agam.” (al Fatawa Juz IV:16) Saya tambahkan bahwasanya silet ini juga telah menyayat beberapa golongan umat Islam dan madzhab-madzhab, misalnya, al Maturidiyah, Syiah, al Ibadhiyah, dan as Sufiyah secara umum dan meluas tanpa adanya batasan yang mengikat ataupun pengecualian.

Kitab-kitab yang ditetapkan untuk materi tauhid kelas tiga SMA dan kelas-kelas sebelumnya, berisi tentang pengafiran dan pemusyrikan beberapa golongan umat Islam. Bukannya kami membenarkan mereka, karena sesungguhnya pendapat kita semua boleh diterima ataupun ditolak. Hanya saja, kami mengingkari penyerangan terhadap satu golongan dengan menghukumi mereka syirik dan kafir dengan hanya bersandar kepada fanatisme madzhab.Saya ingin bertanya kepada saudara-saudara kami yang sering melontarkan hukum-hukum dan julukan-julukan ini. Berapa banyak lagi orang muslim yang akan hilang (keluar dari agama mereka) menurut mereka? Dan berapa banyak lagi jaringan cinta kasih islami yang akan terputus antara umat Islam yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, akibat hukum mereka yang keterlaluan ini? Maka hendaknya kita mengoreksi kembali hubungan kita dengan saudara-saudara kita.Catatan Dr. Yusuf al GhonifaisDr. Yusuf al Ghonifais berkata dalam sumbang sarannya:Sesungguhnya apa yang disebutkan oleh Dr. Muhammad al Maliki, sebenarnya bukanlah perkataan Syekh Islam Ibnu Taimiyah. Akan tetapi, perkataan Abu Muhammad al Juwaini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ibnu Taimiyah dua halaman sebelumnya.Sumbang saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani setelah presentasi yang disampaikan Syekh al Ghoni, Senin, 6 Dzulqo’dah 1424 H.Saya ingin mengukuhkan pendapat Dr. Al Ghodami dalam paparan beliau mengatakan bahwa kurikulum pelajaran yang ditetapkan dahulu untuk jenjang SD, SMP, dan SMA sudah memenuhi standar, mudah, dan cepat dipahami oleh para siswa.

Kurikulum tersebut cocok bagi umur dan kelas-kelas mereka serta tidak membuahkan hal-hal negatif seperti yang kita lihat sekarang ini. Ustadz Abdul Maqsud Khowjah menyebutkan bahwasanya dia dan teman-temannya telah belajar di sekolah al Falah, di masjidil Haram dan di masjid Nabawi.

Di tempat-tempat itu banyak pemuka-pemuka ulama, di antaranya Sayyid Alawi Al-Maliki, Sayyid Amin al Quthbi, Sayyid Ishaq Aziz, Syekh Hasan al Masath, Syekh Muhammad Nur Saif, Syekh Hasan Yamani, Syekh al Arobi at Tabani, serta Syekh Yahya Aman. Mereka semua adalah alumni dari kurikulum terdahulu. Mereka juga mengajarkan kurikulum itu. Tidak ada seorang pun dari mereka yang melampaui batas, ekstremis, ataupun teroris. Bahkan, mereka adalah para imam ahlus sunnah wal jama’ah dan para pemuka ulama. Namun, beberapa orang yang fanatik kepada satu golongan berkata, ”Sayang sekali mereka Asy’ariyah.”

Perkataan ini sungguh sangat disayangkan. Akan tetapi, yang terpenting adalah bahwa tuan raja Abdul Aziz yang sezaman dengan beliau-beliau, mereka saling berhubungan. Beliau juga menggali manfaat dari diri, ilmu, semangat, dan aktivitas mereka. Bahkan, beliau mengangkat mereka sebagai para hakim, imam, dan khotib. Maka mereka pun memenuhi serambi masjidil Haram, halaqoh-halaqoh ilmu mereka juga memenuhi mahkamah syariat, khususnya di Mekkah dan Madinah. Di antara mereka juga mengajar di sekolah-sekolah agama. Ketika itu Mahkamah Syariat dan lembaga-lembaga pemerintah hanya dijabat oleh para ulama yang sangat disayangkan mereka dituduh dengan perkataan, ”sayang sekali mereka Asy’ariyah.”Mahkamah Syariat ketika itu dijabat oleh Syekh Hasan al Masath, Syekh Yahya Amman, Syekh Ahmad Nadhirin, Sayyid Abu Bakar al Habsy, Sayyid Hamzah al Marzuki, Syekh Hasan Said Yamani, dan beberapa tokoh besar yang tidak sempat kita temui. Akan tetapi, nama-nama mereka kita kenal dan tertulis dalam sejarah. Sumbang Saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani, Selasa, 7 Dzulqa’dah 1424 H. BismillaahirrohmanirrohiimSegala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salam sejahtera semoga tercurah kepada baginda Nabi besar, Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, keluarganya, serta para sahabatnya. Adapun tentang catatan yang disampaikan Saudara Syekh Dr. Yusuf kemarin (malam Senin) tentang apa yang saya sampaikan dari Syekh Islam Ibnu Taimiyah tentang orang-orang Asy’ariyah dan bahwa pendapat itu bukan pendapat beliau, melainkan pendapat yang beliau nukil dari Syekh al Faqih Abu Muhammad di dalam kitab Fatawa. Saya jawab bahwa apa yang disampaikan beliau itu benar dari sisi penyandaran pendapat dan saya berterima kasih kepadanya. Akan tetapi, saya ingin untuk mengokohkan pendapat saya tentang Asy’ariyah dari dua sisi. Pertama, bahwasanya Syekh Ibnu Taimiyah sependapat dengan fatwa Abu Muhammad ini. Syekh Dr. Yusuf pun tahu hal itu dari perkataannya (di dalam kitab Fatawa banyak hal-hal baik di samping fatwa-fatwa yang disampaikan beliau di dalamnya) Menurut saya, perkataan Syekh Yusuf di dalam kitab Fatawa banyak hal baik.Termasuk hal itu adalah pendapat Syekh Abu Muhammad tentang Asy’ariyah yang dinukil oleh Syekh Ibnu Taimiyah.

Pada masa itu golongan Asy’ariyah tidaklah menunggu pendapat Syekh Ibnu Taimiyah, baik pencemaran ataupun pembelaan kepada mereka. Mereka semua adalah para imam yang mulia, semoga Allah meridhoi mereka. Kedua, bahwasanya pembahasan kita adalah tentang ”pengafiran, menghukumi dengan kesesatan, dan penentuan golongan sesat.” Menurut pendapat Syekh Ibnu Taimiyah dan saya pahami dari pendapat beliau bahwa beliau tidak berpendapat demikian (sesatnya asy’ariyah).

Pada kasus pengafiran dan menghukumi sesat aliran Asy’ariyah dan aliran-aliran lainnya, menjerumuskan kita kepada menghukumi ulama-ulama terkemuka, misalnya, al Hafidz Ibnu Hajar, pengarang kitab Fathul Baari, Imam Nawawi, Syekh al Qurthubi, Syekh Islam Zakaria al Anshori, dan lain-lain. Hadirin yang mulia. Sungguh tidak akan terjadi keselarasan dan persatuan antara aliran dan golongan selagi mereka saling mengafirkan satu dengan yang lainnya atau saling menganggap sesat satu dengan yang lainnya.

Oleh karena itu, aku mengajak dengan segala kekuatan yang ada seraya aku sarankan bahwa kurikulum kitab tauhid yang telah ditentukan untuk jenjang sekolah harus diganti. Kata-kata, hukum-hukum yang menyimpang, ungkapan-ungkapan umum yang mencerai-beraikan barisan umat Islam dan menghancurkan persatuan mereka, harus dibuang jauh-jauh karena kalau tidak, maka diskusi ini tidak ada manfaatnya.Saudara-saudara, sesungguhnya kita semua berkumpul di sini bukan untuk memperdebatkan satu aliran tertentu ataupun mengoreksi pendapat-pendapat mereka.

Di sini bukanlah tempatnya dan bukan waktunya, dan juga kebanyakan saudara-saudara yang hadir bukanlah seorang spesialis tentang bagian parsial dalam aliran-aliran. Adapun yang menjadi keputusan yang dikokohkan di sini adalah kita semua mengharapkan dialog ini mencetuskan di dalam keputusannya tentang pelurusan kasus pengafiran, pemurtadan, dan penyesatan terhadap aliran-aliran Asy’ariyah dan aliran-aliran lainnya.

Saya ingin untuk mengakhiri bahasan ini dengan pendapat saya bahwa filterisasi, pembersihan, pembenaran, penggantian, pelurusan, koreksi ulang, saling memahami dan berdialog hendaknya menjadi tuntutan semua pihak: Sufiyah, Asy’ariyah, Salafiyah, dan aliran-aliran lainnya. Dasar pijakannya adalah bahwa segala metodologi pemikiran agama ataupun ilmiah yang berupa cabang-cabang yang bersifat ijtihadiyah harus bisa dikoreksi ulang untuk penyempurnaan, penggantian, dan perubahan dan setiap diri kita sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik, ”Boleh diterima atau ditolak pendapatnya kecuali Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.”Sebagian besar saudara muslim kita yang dikenal sebagai kaum sufi dan merasa mulia serta bangga dengan menisbatkan diri kepada tasawwuf, mereka adalah kaum sufi yang benar menurut syariat.

Mereka berpijak kepada maqom ihsan yang disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, ”Hendaknya kamu menyembah kepada Allah, seakan-akan kamu melihatnya.” (Al-Hadits)Segenap kaum muslimin menunggu dan menuntut dari kalian untuk menelaah kembali kurikulum pelajaran kita, menggantinya, meluruskannya, dan membenarkannya dengan apa-apa yang cocok dengan kebenaran situasi dan kondisi dan juga dengan apa-apa yang mendukung persatuan nasional yang dihimpun oleh kerajaan yang bersatu. Kerajaan yang diasuh oleh pemerintahan yang satu, melihat segenap rakyat, tidak ada pilih kasih, menganggap semuanya sebagai anak, memberikan segala hak-hak mereka, memberikan kesetaraan dalam kasih sayang, cinta, hak-hak, dan kewajiban seraya mereka semua berseru, ”Bertakwalah kalian semua kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anak kalian.”Akhirnya, saya berharap dialog ini memberikan izin resmi kepada beberapa sekolah tua yang telah mengorbitkan ulama-ulama besar dahulu untuk mengajarkan kurikulum terdahulu yang dengan kurikulum itu telah tercetak para ulama terkemuka semenjak 100 tahun yang lalu, misalnya, Madrasah Shoulatiyah yang telah berdiri sejak 120 tahun yang lalu.Sekolah ini telah mempunyai kurikulum yang bersandar pada kitab-kitab yang dispesialisasikan pembahasannya, misalnya, Kitab Shohih al Bukhari, Muslim, AlFiyah, Qotrunnada, Jam’ul Jawami’, Allub, Tafsir Jalalain dan kitab-kitab peninggalan ulama terdahulu lainnya. Kitab-kitab tersebut adalah dasar ilmu kita dan pilar-pilar kurikulum kita dahulu, maka seyogyanya orang-orang yang menguasainya dari pelajar-pelajar kita tidak ditiadakan walaupun hanya satu persen.Hal ini tidak menghambat perkembangan ilmu pengetahuan karena timbul dari sisi keterbukaan pengetahuan dan keluasan kurikulum pendidikan serta keluwesan dalam proses belajar-mengajar dengan bermacam-macam kurikulum dan bermacam-macam perasaan yang ada.Di satu sisi, ini adalah kurikulum peninggalan ulama sebagai pondasi awal kemudian dilanjutkan dengan sisi lain yaitu kurikulum yang telah berkembang dan secara umum telah tersebar di dalam seluruh lingkup pembelajaran, di luar negeri , di negara barat, maupun negara timur, seperti India, Pakistan, Indonesia, dan Malaysia. Di semua negara ini terdapat sekolah-sekolah umum pemerintah dan juga sekolah-sekolah yang mempunyai kurikulum terdahulu peninggalan para ulama. Kalau Anda sekalian meminta saya untuk menyebutkan nama dan tempatnya, saya sudah siap untuk menyebutkannya. Demikianlah, Allah ta’ala Maha Pemberi taufik. Sumbang Saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani, Selasa, 7 Dzulqa’dah 1424 H.Bismillaahirrohmaanirrohiim.Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salam sejahtera semoga selalu tercurah kepada rasul termulia, baginda Nabi Besar Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, keluarganya, serta para sahabatnya sekalian.Pertama-tama saya ucapkan terima kasih kepada saudara-saudara yang ikut andil dengan kerja keras untuk menyukseskan dialog nasional ini. Sesungguhnya, termasuk dari hasil dialog ini adalah hancurnya jembatan yang memisahkan antara kita dengan saudara-saudara kita. Alhamdulillah, jembatan itu telah hancur dan dialog ini berjalan dengan sukses, penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang. Kita semua memohon kepada Allah untuk selalu melanggengkan ini semua dan menganugerahkan kepada kita buah-buahnya yang manis.Semua paparan yang telah disampaikan sudah sangat bagus, istimewa, dan patut untuk diperhatikan. Akan tetapi, saya ingin mengungkapkan beberapa peringatan dan pengamatan. Saya mengingatkan bahwa dalam beberapa paparan yang kita dengar, telah digunakan kata “pengembangan kurikulum”. Menurut saya, kata pengembangan sama sekali tidak bisa digunakan, karena kata “pengembangan” tidak menuntut adanya perubahan sebagaimana yang telah menjadi tuntutan kita. Kita menuntut adanya perubahan dalam kurikulum, bukan hanya pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah target lain dan diperlukan pada waktu yang lain.

Adapun tuntutan kita adalah perubahan kurikulum khususnya kurikulum pelajaran tauhid di jenjang sekolah-sekolah yang mengandung pemberian hukum kafir, syirik, dan sesat kepada beberapa aliran dan madzhab yang tumbuh di antara kita dan kita pun hidup bersama pengikut-pengikutnya.Adapun pengamatan yang akan saya sampaikan ini tidak ada kepentingannya untuk pribadi saya. Pertama, hendaknya dikaji ulang tentang keadaan beberapa dosen yang mempunyai gelar doktor dalam spesialis keilmuan seperti ilmu hadits, tafsir, dan akidah. Beberapa dari mereka telah diberhentikan dari mengajar dan dipindahkan pada pekerjaan perkantoran hanya karena adanya perbedaan pendapat dan perbedaan madzhab yang masih berada dalam koridor Islam. Ada beberapa dosen yang bertitel doktor, sebenarnya saya tidak mau untuk menyebutkan nama mereka. Hanya saja bahasan ini mengharuskan saya untuk melakukan hal itu. Nama mereka telah sama-sama kita kenal. Oleh karena itu, saya harapkan panitia dialog ini untuk mengambil nama-nama ini dan menilik kembali. Nama-nama ini sudah saya persiapkan. Kedua, saya ingin mengukuhkan hendaknya dialog ini memutuskan bagi Universitas Syariah khususnya, Fakultas Hukum dan Mahkamah Agung untuk memilih beberapa siswa dari setiap daerah untuk belajar di Fakultas Hukum sehingga setelah mereka lulus, bisa menjadi hakim di daerah mereka masing-masing. Apa yang saya sampaikan ini bukan karena fanatisme atau mengharap keuntungan pribadi.

Saya bukanlah orang ahli dalam hal ini. Hal itu hanya untuk membantu mewujudkan kepercayaan dan ketenangan antara para hakim, pegawai pengadilan, dan masyarakat. Kalau kita lihat, misalnya ke pengadilan kota Mekkah atau pengadilan kota Madinah, berapa jumlah hakim dan pegawai pengadilan dari putra daerah dari penduduk Mekkah dan Madinah. Tidak akan kita temukan walaupun satu persen saja. Pengetahuan seorang hakim tentang suatu negeri, juga tentang kehidupan dan kebiasaan penduduknya akan membantu dalam penerapan keadilan. Banyak hadits yang menunjukkan bahwasanya apabila suatu kaum masuk Islam, maka Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam akan mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin mereka.Begitu juga saya mengharapkan untuk ditinjau kembali tentang masalah peninggalan-peninggalan Islam, khususnya yang berkenaan dengan kota Mekkah dan Madinah yang menjadi perhatian dunia. Banyak peninggalan Islam yang ada dan dikenal yang seyogyanya harus dijaga, diperhatikan, dan tidak dihancurkan atau dihilangkan.

Inilah beberapa hal yang hendaknya kita perhatikan bersama, terima kasih.Sumbang Saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani tentang kegiatan kesiswaanYang mulia, al Ustadz Qosim tidak memaparkan apa saja yang biasanya dilakukan dalam kegiatan siswa pada liburan musim panas ataupun training-training yang berisikan pengarahan-pengarahan kepada pemikiran-pemikiran tertentu, seakan-akan kegiatan tersebut adalah pembentukan kamp-kamp yang bertujuan untuk menyiapkan pemuda-pemuda penyerang yang otak-otak mereka telah dipenuhi dengan berbagai perbedaan pemikiran dan madzhab

.Saudara Abu Tholib telah menyampaikan masalah-masalah ini dalam paparannya. Hendaknya kita semua mengetahui materi apa saja yang disampaikan dalam kegiatan training di kamp-kamp ini? Seorang pemuda lebih baik tinggal di rumahnya daripada ikut serta di kamp-kamp ini. Hal itu dikarenakan adanya kegiatan-kegiatan negatif di kamp-kamp ini. Semua ini bisa kita saksikan dari anak-anak kita setelah kepulangan mereka dari kamp-kamp ini.Tidak bisa kita abaikan juga tentang beberapa perlengkapan yang dibagikan di kamp-kamp tersebut, semisal beberapa kaset, buku panduan, makalah, dan fatwa-fatwa yang penuh dengan propaganda, penyerangan, pembantahan, dan protes kepada para ulama.

Bahkan, pemberian julukan kepada mereka dengan ahli bid’ah, ahli tahayyul, dan orang-orang sesat. Tidak ada daya dan upaya melainkan atas pertolongan Allah, Dzat Yang Maha Mulia dan Maha Agung.Sumbang Saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani mengomentari saran dari Dr. Aidh al Qorni tentang perlunya pembentukan panitia pengawas terhadap buku-buku keilmuan dan di antaranya adalah Durarus Saniyyah Dalam pertemuan yang lain, beliau (Dr. Aidh al Qorni) mengumumkan bahwa beliau mencabut kembali usulan beliau ini, maka Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki mengomentarinya dengan perkataan beliau, “Saya menuntut dialog ini untuk memutuskan perubahan beberapa kurikulum.

Saya juga menuntut sebagaimana yang diminta oleh Dr. Aidh al Qorni tentang pembentukan panitia untuk mengkaji ulang beberapa buku untuk diluruskan dan diadakan perubahan. Beliau telah membuka pintu tentang permasalahan ini, namun kemudian beliau menutupnya kembali.

Hal itu adalah hak beliau. Akan tetapi, kami tetap menuntut hal itu.Kami juga ingin mengukuhkan usulan tentang penghapusan tuduhan syirik, kafir, dan sesat kepada para pengikut beberapa madzhab dan beberapa aliran. Hendaknya ditetapkan kurikulum pelajaran akidah Islam yang bersifat positif tanpa terjerumus kepada pembahasan-pembahasan yang terlalu luas dan membingungkan serta hasil-hasil ijtihad yang terlalu mendalam

.Saya juga menambahkan bahwasanya ada beberapa kitab yang diragukan kebenarannya dan penisbatannya kepada sang pengarang, maka hendaknya hal ini menjadi target panitia ini. Setidaknya, kitab-kitab itu tidak lagi disebarkan.

Di antara kitab-kitab itu adalah kitab karangan Abdullah bin al Imam Ahmad bin Hanbal yang diberi nama as Sunnah. Disebutkan dalam kitab itu bahwa Abu Hanifah adalah seorang yang sesat. Abdullah, pengarang kitab ini, memasukkan topik ini dalam judul “Apa yang aku ketahui dari ayah dan guru-guruku tentang Abu Hanifah” (Hal 227 --410)Pengoreksi kitab ini, Dr. Muhammad bin Said bin Salim al Qothoni berkata dalam pembukaan kitab ini: Termasuk hal-hal yang bisa dipahami bahwasanya sudah pasti Abu Hanifah mempunyai kesalahan-kesalahan sebagaimana Abdullah juga mempunyai kesalahan-kesalahan.

Akan tetapi, kesalahan-kesalahan Abu Hanifah tidak sampai kepada tuduhan-tuduhan yang disebutkan di dalam beberapa bahasan kitab ini. Bahkan, di antara bahasan itu ada yang merusak sendi-sendi agama Islam sedikit demi sedikit.Menurut saya (Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki), pernyataan ini bukanlah legalisasi kesalahan-kesalahan Abu Hanifah. Memang, beliau mempunyai kesalahan-kesalahan yang tidak kita setujui. Akan tetapi, pernyataan ini adalah dalam koridor bahwa beliau mempunyai sisi positif dan juga sisi negatif. Doktor Muhammad bin Salim berkata, “Aku telah mengumpulkan paragraf-paragraf yang salah yang berisikan tentang celaan-celaan dan ternyata sebagian besar diriwayatkan dari orang-orang bodoh atau orang-orang lemah dan disangsikan oleh ulama ahli dan terpercaya. Paragraf itu berjumlah 86 paragraf. Sambutan Spontan yang disampaikan Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki pada pertemuan dengan Tuan Pangeran al Amir Abdullah bin Abdul Aziz As-Saud di Riyadh, pada hari Sabtu 11 Dzulqa’dah 1424 H.Bismillaahir rahmaanir rahiimSegala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salam sejahtera semoga selalu tercurah kepada rasul termulia, baginda Nabi Besar Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, keluarganya, beserta segenap sahabatnya. Amma ba’du, Sesungguhnya saya ingin membuka sambutan saya ini dengan sesuatu yang baik, yaitu dengan ayat yang dibacakan saudara kita di awal pertemuan ini yaitu: يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian semua kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar. ”Saya menganggap bahwa apa yang Anda tangani ini, wahai Tuan Pangeran Abdullah, adalah langkah mulia yang diberkahi yang untuk pertama kalinya diadakan dalam sejarah negeri kita yang tercinta ini.

Pertemuan ini termasuk dalam kategori “berkata benar.” Pertemuan ini adalah pintu untuk “berkata benar” karena kita semua di sini dengan segala anugerah dan rahmat dari Allah, menyaksikan banyaknya buah-buah kemanfaatan yang besar sebagaimana telah dipaparkan sebelum ini oleh yang mulia Syekh Sholeh. Termasuk dari manfaat terbesar yang kita rasakan adalah hancurnya penghalang yang memisahkan antara kita dan saudara-saudara kita yang bahkan mungkin kita tidak akan pernah berkumpul dengan mereka atau melihat mereka, Andai saja tidak ada undangan Anda untuk dialog dan diskusi ini.Dialog ini berkat anugerah Allah ta’ala telah mencairkan kebekuan, menghancurkan pembatas-pembatas yang membawa kepada kecurigaan antara kita dan para pelajar, para pemikir, serta para sastrawan.

Semua ini tidak diragukan lagi adalah anugerah Allah dan juga kebaikan Anda. Kemudian berkat anugerah Allah, Anda telah mengulang kembali sejarah negeri kita dengan langkah mulia ini sebagaimana telah dilakukan oleh almarhum Ayah Anda, al Imam al Malik Abdul Aziz yang telah menyatukan kepulauan Arab Saudi dan menghilangkan fanatisme dan sukuisme serta menyatukan segenap manusia. Semua itu berkat anugerah Allah Ta’ala dan berkat tanggung jawab yang beliau emban dalam dakwah Islamiyah.Setelah itu terjadilah apa yang terjadi dari hal-hal yang telah kita saksikan.

Kemudian Anda datang untuk mengajak berdialog, berdiskusi, dan saling memahami sehingga menghasilkan kebaikan-kebaikan yang banyak. Niscaya dialog ini akan memberikan kontribusi yang besar dalam menyatukan umat Islam serta menyatukan rakyat dan negeri ini berkat anugerah Allah swt. Saya di pertemuan ini menyampaikan segala apa yang kami rasakan dalam dialog ini yang Anda rintis ini. Kemudian marilah kita semua memohon kepada Allah ta’ala taufiq.

Semoga Allah ta’ala membenarkan segala langkah Anda, menunjukkan Anda kepada segala kebaikan serta menjaga negeri ini dari segala kejahatan , musibah, dan bencana.Salam sejahtera semoga senantiasa tercurah kepada baginda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, keluarganya, serta segenap para sahabatnya. Segala puji hanya bagi Allah Tuhan semesta alam.

Taushiyah Sayyid Ahmadal-Maliki (Khalifah Imam Ahlussunnah Abad 21)

Saudara-saudaraku tercinta. Ide dan gagasan terbentuknya Hai’ah As Shofwah ini merupakan gagasan yang mulia, yang cemerlang, dan teramat agung. Di dalamnya berkumpul para alumni Ayahanda, Maulana al-Imam as-Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki rahimahullahu ta’la. Organisasi ini sangatlah patut untuk diperjuangkan, layak dipertahankan, dikembangkan, dan diikuti.

Ide terbentuknya organisasi ini bermula dan terprogram dari sejak perjalanan Ayahanda ke negeri Malaysia pada tahun 1423 H, setelah shalat Shubuh, di hadapan Saya al-faqir ilallah, serta di hadapan dua orang guru yang mulia, Ihya’ Ulumiddin dan Alil Karrar.Tujuan dari terbentuknya organisasi ini adalah untuk membentuk jalinan yang kuat dan kokoh, dengan rajutan ukhuwah nan indah antar para santri Maulana as-Sayyid Muhammad rahimahullahu ta’la. Juga untuk menyamakan dan merapatkan barisan, dengan saling tolong menolong, berinteraksi, untuk segala urusan yang berkaitan dengan khidmat dan keilmuan. Secara umum, untuk kepentingan segala dimensi yang bernuansa dakwah secara umum, khususnya terkait dengan misi Ayahanda tercinta.

Hal itu terjalin dengan cara saling tukar informasi ilmiah, tentang gerakan dakwah, khususnya dengan para alumni senior. Juga dengan para alumni yunior, demi mencapai hasil yang optimal, strategis, dan mengena.

Hanya kepada Allah kita bermunajat, memohon keberkahan dengan organisasi ini. Semoga hal ini akan mengantarkan pada sebab-sebab kebaikan, keberuntungan, kesuksesan, kemajuan, dan kegembiraan. Semoga Hai’ah As Shofwah ini akan berguna dan termasuk dari golongan yang teguh dan terpilih. Saudaraku tercinta.Seorang kader dakwah yang terhormat dan cerdas, yang hidup di tengah komunitas masyarakatnya, akan mampu berinteraksi dan memberi konstribusi penting dalam memecahkan segala problematika sosial. Dia mampu menyajikan materi dakwah yang arif dan santun. Dia akan menganalisa dengan skala prioritas, mana yang lebih penting.

Utamanya yang terkait dengan problema keumatan, aktual dan faktual. Terlebih lagi untuk masalah yang berkaitan dengan kepentingan umat. Terhadap problematika umat Islam yang marak terjadi dewasa ini, dia mampu menjadi juru tengah, memotivasi dan menasehati, mengobati, serta memantapkan akidah umat Islam.

Tak dapat dipungkiri lagi, semangat dakwah dan urgensi semacam ini adalah wujud dari buah pikiran kita yang cemerlang yang tumbuh dari lubuk hati terdalam. Ini adalah metode dakwah kita. Tradisi ini telah diwarisi dari para salaf kita yang shalihin, juga dari ulama-ulama pilihan. Mereka adalah para jumhur (mayoritas) ulama yang senantiasa jadi panutan Ayahanda—rahimahullah. Hidup Ayahanda selalu berpedoman pada mereka, baik dari segi pemaparan, ucapan, tulisan, pemikiran, dan pola dakwahnya.

Biografi Singkat Imam Ahlis Sunnah wal Jama’ah Abad 21

Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani

(Dinukil dari berbagai sumber) Nama lengkap beliau adalah Prof. Dr. Assayyid Muhammad Bin Assayyid Alwi Bin Assayyid Abbas Bin Assayyid Abdul Aziz Almaliki Alhasani Almakki Alasy’ari assyadzili. Sehari-hari beliau dipanggil Abuya. Abuya lahir di Makkah Almukarramah, pada tahun 1362 H / 1943 M. Ayah beliau bernama Assayyid Alwi Bin Abbas Almaliki, seorang ulama terkemuka di Makkah Almukarramah, dan seorang mudarris (pengajar) di Masjid Alharam.

Awal masa pendidikan yang ditempuh oleh Abuya adalah berbentuk halaqah-halaqah ilmiyah yang diasuh oleh ayahnya, Assayyid Alwi Bib Abbas Almaliki yang bertempat di Masjid Alharam. Selain belajar kepada ayahnya sendiri, beliau juga belajar kepada beberapa para Ulama, di antara guru beliau adalah Syeikh Hasan Muhammad Almassyath, Asayyid Amin Kutbi, Syeikh Muhammad Nur Saif, Syeikh Sa’id Yamani, dan sebagainya. Abuya juga belajar di Madrasah Alfalah, Madrasah Shaulatiyyah, dan Madrasah Tahfidz Alquran yang berada di kota Makkah. Beliau menimba ilmu Hadits kepada beberapa ulama di India dan Pakistan.

Di kedua negara tersebut, beliau berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari ilmu Hadits, di antaranya Bombai, Haidar Abad, Karachi, dan sebagainya. Beliau memperoleh sertifikasi mengajar (ijazah) dan rantas transmisi (isnad) dari Alhabib Ahmad Almasyhur Alhaddad di Jiddah, Syeikh Hasanain Makhluf dari Mesir, Syeikh Ghumari dari Maroko, Syaikh Diyauddin Qadiri di Madinah, Maulana Zakariyya Alkandahlawi, dan sebagainya. Pada fase selanjutnya, beliau menempuh studi akademis di Universitas Alazhar Mesir.

Beliau berhasil meraih gelar Magister dan Doktoral dari Fakultas Ushuluddin Universitas Alazhar yang kondang tersebut. Beliau juga pergi ke Maroko untuk belajar kepada ulama-ulama di negeri ujung barat benua Afrika itu. Pada tahun 1390 H / 1970 M, beliau diberi tugas mengajar di Fakultas Syari’ah di kota Makkah (1390-1399 H).

Beliau juga termasuk salah seorang staf pengajar program pasca sarjana Universitas King Abdul Aziz Makkah. Sepeninggal sang ayah,tanggal 25 Safar 1391, Abuya ditunjuk menjadi pengajar di Masjid Alharam menggantikan sang ayah. Keputusan ini merupakan hasil kesepakatan para ulama Makkah, di antaranya Syeikh Hasan Almassyath, Syeikh Muhammad Nur Saif, Syeikh Muhammad Salim Rahmatullah, Assayyid Amin Kutbi, dan sebagainya. Sang ayah sendiri, Assayyid Alwi Bin Abbas Almaliki, telah mengajar di majelis tersebut selama 50 tahun lamanya. Di Masjid Alharam, setiap malam Selasa, Abuya mengajar tanpa ada liburnya, baik di musim dingin maupun musim panas.

Majelis tersebut tidak pernah libur kecuali karena ada halangan syar’i saja. Selain halaqah di Masjid Alharam, banyak ceramah agama yang telah beliau sampaikan, baik di radio maupun televisi, juga yang terekam dalam bentuk kaset dan CD. Beliau selalu berperan aktif dalam Pekan Budaya (Almawasim Astsaqafiyyah) yang digelar oleh Rabithah Alam Islami. Sebagaimana beliau juga aktif dalam seminar-seminar agama yang diselenggarakan di dalam maupun luar Saudi Arabia.

Dalam momen MTQ tingkat internasional, beliau terpilih sebagai Ketua Dewan Juri pada kisaran tahun 1399, 1400, dan 1401 H. Beliau merupakan orang pertama yang mengetuai dewan tahkim MTQ tingkat internasional tersebut. Abuya juga telah mengunjungi banyak negara Islam. Tercatat, beliau berperan aktif membantu di berbagai pesantren dan madrasah di Asia Timur dan Asia Tenggara.

Bentuk bantuannya, termasuk segi peletakan metodologi (manhaj), pemberian bantuan dana, penataran guru, perekrutan murid pesantren atau madrasah tersebut untuk dididik di Makkah dengan beasiswa penuh dari beliau rahmatullah ‘alaihi. Dalam dunia tulis menulis dan karya ilmiah, Abuya berhasil menulis puluhan kitab dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, antara lain Aqidah Islam, Ulumul Quran, Musthalah Hadits, Fiqh, dan Sirah Nabawiyyah. Hingga akhir hayat, beliau tetap istiqamah mengajar di majelis ta’lim yang dirintis di tempat kediamannya di Syari’ Almaliki Distrik Rushaifah Makkah, yang dihadiri oleh berbagai lapisan masyarakat, mulai kalangan anak muda hingga orang tua, selain santri beliau sendiri yang berdomisili di Rushaifah.

Adapun para santri beliau baik yang berdomisili dikediaman beliau, maupun yang mukim di luar, mayoritas berasal dari luar negeri Saudu Arabiah, dan ada pula yang berasal dari masyarakat setempat. Banyak pula dari para muridnya itu, sekembalinya ke negara masing-masing, menjadi da’i, ustadz, dan ulama terkemuka.

Pada tanggal 2 Safar 1421 H / 6 Mei 2000, Universitas Alazhar Mesir, memberi Abuya gelar Profesor, berkat dedikasi beliau yang panjang dalam riset ilmiah dan karya tulis, yang memenuhi standar akademi. Selain itu, gelar honoris tersebut merupakan penghargaan atas jasa-jasa perjuangan beliau yang cukup lama, dalam dunia dakwah dan penyebaran ilmu syariat di banyak negara Islam. Halaqah ilmiyah yang cukup dikenal oleh penduduk Makkah, yang semula bertempat di Masjid Alharam, dan pada akhirnya dipindah ke kediaman beliau, adalah halaqah yang merupakan tradisi ilmiah turun menurun selama 600 tahun lamanya yang senantiasa ditekuni oleh datuk-datuk beliau.

Ayah dan kakek beliau, adalah ketua para khatib dan da’i di kota Makkah. Demikian juga dengan Abuya, profesi tersebut digeluti yakni sejak tahun 1971 dan harus berakhir pada tahun 1983, saat beliau dicekal dari kedudukan terhormat itu akibat penerbitan kitabnya yang berjudul; Mafahim Yajibu an Tushahhhah (Pemahaman-Pemahaman yang Harus Diluruskan), sebuah kitab yang banyak meluruskan paham yang selama ini diyakini oleh ulama-ulama Wahabi. Paham Wahabi sangat menguasai keyakinan mayoritas ulama Saudi Arabia dan mempunyai peran pesar dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah. Setelah pencekalan beliau dari pengajian umum dan khutbah, beliau mendedikasikan dirinya dalam pendidikan secara privat kepada ratusan murid-muridnya, dengan penekanan murid-murid dari Asia Tenggara, di kediaman di jalan Al Maliki di distrik Rushaifah Makkah.

Majelis ta’lim Abuya, dan juga ayah beliau, Sayyid Alwi Almaliki, tidak berkonsentrasi pada satu disiplin ilmu saja, atau hanya dikhususkan pada kalangan tertentu saja. Namun, teruntuk siapa saja. Karena itulah, Abuya berusaha mempersiapkan desain rumahnya untuk keperluan ini. Di rumahnya, dibangun ruangan (qa’ah) yang cukup luas, karena setiap hari dipergunakan untuk menampung jama’ah dalam halaqah ilmiyah yang diasuh beliau, tidak kurang dari 500 orang. Dalam setiap harinya, mulai ba’da Maghrib hingga ba’da Isya, Abuya menyampaikan pelajarannya, serta menyambut para tamu dan thalibul ilmi di tempat itu. Bahkan, majelis beliau selalu dihadiri oleh para ulama dan pejabat, baik dari Saudi Arabia sendiri maupun dari luar negeri, yang datang untuk melaksanakan ibadah haji atau ziarah.

Praktis, majelis itu menjadi ajang ta’aruf dan shilaturrahim yang ‘diformat’ oleh Sayyid Muhammad secara simpel, sederhana, dengan didukung oleh sifat beliau yang begitu simpatik. Beliau selalu menanyakan kabar para jama’ah, mencari yang tidak hadir di antara muridnya, atau para jamaah yang istiqamah datang ke majelis tersebut. Abuya dikenal sebagai figur yang sangat tawadlu, bijaksana, dan tidak ghuluw (fanatik secara berlebihan).

Beliau selalu bersedia dan selalu siap bila diajak berdiskusi hin gga beddebat. Beliau bukan figur yang senang mencerca atau marah kepada orang yang berbeda pendapat dengannya. Namun sikap tegas dan wibawah sudah menjadi bagian dari karakter hidupnya. Maka tak heran, semasa hidupnya, beliau adalah otoritas yang paling dihormati oleh kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Beliau senantiasa menghormati para ulama yang telah wafat mendahului beliau.

Beliau selalu mengenang guru-gurunya, yang telah berjasa dalam membentuk karakter pribadi beliau, baik para guru beliau sendiri, maupun para sahabat ayah beliau. Di antara faktor yang menjadikan beliau mudah diterima oleh masyarakat adalah kelembutan bicara dan akhlaqnya, terutama kepada orang yang membutuhkan bantuan kepada beliau.. Pada tahun-tahun terakhir masa hidupnya, banyak sikap kelompok yang meng-counter pendapat ilmiah beliau. Namun dengan kebesaran hatinya, Abuya menerima semua itu dengan penuh kesabaran.

Beliau menjawab semua counter tersebut dengan cara yang baik, dan menjelaskan duduk permasalahan dengan dalil-dalil syar’i. Abuya selalu mempunyai keyakinan, bahwa sejak ribuan tahun, tidak pernah tercatat dalam sejarah, adanya ulama yang berbeda pendapat dengan ulama lain, lantas menyerang dengan menggunakan cara-cara yang tidak gentel, yang tidak layak dilakukan oleh seorang alim. Sikap beliau ini, berhasil meluluhkan hati beberapa orang, yang pada asalnya berbeda pendapat dan ‘menyerang’ beliau.

Pada akhirnya mereka makin mengetahui ketulusan hati dan tujuan beliau dalam dakwah dan menyebarkan ilmu yang bersumber dari Alquran dan Sunnah. Pada tanggal 5-9 Dzul Qa’dah 1424 H, Abuya menjadi pemateri dalam seminar nasional untuk dialog pemikiran yang diselenggarakan di Makkah Al Mukarramah. Pertemuan yang baru pertama kali diselenggarakan oleh pemerintah Saudi tersebut bertajuk, “Fanatisme Berlebihan dan Proporsional – Pandangan Metodologi Umum”. Setelah berjuang panjang dalam dunia dakwah dan keilmuan, pada Jumat pagi hari, tanggal 15 Ramadhan 1425 H, setelah terkena serangan penyakit yang mendadak, beliau berpulang ke rahmatullah.

Meninggalkan beberapa putra (Assayyid Ahmad, Assayyid Abdullah, Assayyid Alwi, Assayyid Ali, Assayyid Hasan, Assayyid Husain) dan beberapa putri. Beliau dimakamkan di pemakaman Ma’la Makkah Almukarramah. Pemakaman beliau dihadiri para pentakziah dalam jumlah yang sangat besar. Jenazahnya dishalati di Masjid Alharam setelah shalat Isya pada hari itu.

Di antara yang hadir adalah para ulama, murid-murid beliau, para pejabat Kerajaan Saudi Arabia dan negara-negara teluk lain, yang mempunyai ikatan kuat dengan beliau semasa hidupnya. Semoga Allah senantiasa merahmati beliau, dan menjadikannya termasuk golongan orang-orang yang pertama masuk sorga untuk berziarah dan bermuwajahah kepada Allah, Dzat yang selalu dirindukannya, wujuuhun yauma idzin naadhirah, ilaa rabbihaa naadhirah Abuya meninggal dunia dengan meninggalkan banyak pusaka yang sulit untuk dilupakan ummat Islam.

Ribuan murid yang menyebar di berbagai negara, serta ratusan karya tulis dalam bentuk buku, monograf, makalah, dalam berbagai topik keislaman. Belum lagi kumpulan ceramah beliau yang terekam dalam kaset dan CD.

Kitab-kitab maupun rekaman ceramah beliau, tidak bertujuan mencari keuntungan materi. Hal ini makin membuat beliau dicintai dan dihormati ummat. Abuya Assayyid Muhammad Bin Alwi Almaliki Alhasani akan terus berada dalam sanubari terdalam ummat Islam, karena wacana keilmiahannya masih terus dapat dinikmati generasi demi generasi, dan tak akan lekang oleh pergantian zaman.

Di antara karya beliau yang paling terkenal adalah: Abwab al Faraj (Kunci-Kunci Kebahagiaan), [Kairo: Dar al Ja’fari, tanpa tahun], sebuah manual yang mendeskripsikan tentang doa munajah, dan bacaan untuk berbagai situasi dari Alquran, Sunnah, dan para imam Islam. Disertai pula tentang adab / tata cara dalam berdoa. Buku ini juga berisi resep yang berharga untuk memperbanyak bacaan Surat Al Fatihah.

Al Anwar al Bahiyyah min Isra’ wal Mi’raj Khayr al Bariyyah (Cahaya-Cahaya Menakjubkan dari Perjalanan Malam dan Naiknya Sang Ciptaan Terbaik) [Edisi Kedua, Riyadh: tanpa penerbit, 1998]. Sebuah monograph yang mengumpulkan seluruh riwayat-riwayat sahih tentang Isra Mi’raj dalam suatu narasi tunggal.

Al Bayan wa at Ta’rif fi Dzikra al Maulid as Syarif (Penjelasan dan Devinisi Perayaan Maulid yang Mulia) [diterbitkan tahun 1995). Sebuah antologi singkat teks dan sya’ir yang terkait dengan maulid. Haula Ihtifal bi Dzikra al Maulid an Nabi As Syarif (Berkaitan dengan Peringatan Hari Kelahiran Nabi SAW) [Cairo: Dar Jawami’ Al Kalim, 1998). Kumpulan detail bukti dan dalil yang diajukan ulama tentang kebolehan perayaan maulid. Al Husun al Mani’ah (Benteng-Benteng Tak Terkalahkan).

Sebuah buklet tentang ibadah harian yang dipilih dari Sunnah Nabi dan praktek ulama salaf. Huwa Allah (Dia Adalah Allah). Sebuah statemen dan doktrin Sunni untuk menolak penyimpangan kaum antrhopomorphisme (mujassimah) Khulasa Shawariq al Anwar min Ad’iya as Saadah al Akhyar (Ringkasan Cahaya-Cahaya yang Terbit dari Do’a-Doa Syuyukh Terpilih) Al Madh an Nabawi Bayn al Ghuluw wal Insaf (Pujian pada Nabi SAW, antara Berlebihan dan Kepantasan) Mafahim Yajibu an Tushahhah (Pemahaman-Pemahaman yang Perlu Diluruskan) Al Musytasyriquun Bayn al Insaf wal ‘Asabiyyah (Orientalis antara Kejujuran dan Primordialisme) Al Qawa’id al Asasiyyah fi ‘Ulumi al Quran (Kaidah-Kaidah Mendasar dalam Ilmu-Ilmu Alquran) Al Qawa’id al Asasiyyah fi Ushul al Fiqh (Kaidah-Kaidah Mendasar dalam Ushul Fikih) Al Qudwah al Hasanah fi Manhaj ad Da’wah ila Allah (Teladan Luhur dalam Metode Dakwah) Mafhum at Tathawwur wa at Tajdiid fis Syari’ati al Islamiyyah (Hakikat Kemajuan dan Pembaharuan dalam Syariat Islam) Manhaj as Salaf fi Fahmi an Nushush Bayn an Nadzariyyah wa at Tathbiiq (Metodologi Salaf dalam Memahami Teks; Teori dan Praktik) Muhammad SAW al Insan al Kamil (Muhamamad SAW Manusia Sempurna) Qul Haadzihii Sabili (Katakan: Inilah Jalanku) Ar Risalah al Islamiyyah Kamaluha wa Khuluduha wa ‘Alamiyyatuha (Pesan Islam; Kesempurnaannya, Keabadiannya, dan Keuniversalannya) Shifa’ al Fuad bi Ziyarah Khayr al ‘Ibad (Penyembuh Hati Berkenaan dengan Ziyarah Sebaik-Baik Manusia) At Tali’ as Sa’id As Sa’id Al Muntakhab Min al Musalsalat wal Asaaniid (Bulan Baru Kebahagiaan: Pilihan atas Hadits-Hadits Musalsal dan Isnad-Isnad) Tarikh al Hawadits wa al Ahwal an Nabawiyyah (Peristiwa-Peristiwa Bersejarah dan Penanda dalam Kehidupan Nabi SAW) Al ‘Uqud al Lu’lu’iyyah bi al Asanid al ‘Alawiyyah (Kalung Mutiara: Isnad-Isnad ‘Alawi) Wa Huwa bil Ufuqi al A’la (Dan Dia Di Cakrawala yang Paling Tinggi). Adapun salah satu pemikiran Imam Ahlussunnah wal Jama`ah Abad 21ini adalah sebagai berikut:

EKSTREM DALAM PEMIKIRAN AGAMA PENGARUHNYA PADA KEMUNCULAN TINDAKAN
TERORIS DAN ANARKIS
Kajian yang disampaikan oleh : Imam Ahlussunnah wal Jamaah Abad - 21Abuya Prof. DR. Assayyid Muhammad bin Alwi Almaliki Alhasani

Bismillaahir rahmaanir rahiimSegala puji bagi Allah Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam semoga tetap atas utusan paling mulia, junjungan kita, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya sekalian. Undangan untuk ikut serta dalam Dialog Nasional kedua di Makkah al Mukarromah datang kepadaku. Maju selangkah dan mundur dua langkah. Inilah yang aku alami menanggapi undangan tersebut sebab aku sendiri telah lupa tentang dasar–dasar dialog dan tukar pikiran.

Bahkan, aku juga telah lupa tentang tata tertib dan prinsip-prinsip seminar di dalam negeri sejak aku hanya ikut serta dalam seminar di luar negeri dan tak pernah lagi ikut ambil bagian pada seminar dalam negeri karena aku ditinggalkan dari keikutsertaan mulai tahun 1400 H. Setelah sholat istikhoroh seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, terbukalah hati untuk menghadiri undangan yang diprakarsai oleh yang mulia, Amir Abdulloh bin Abdul Aziz tersebut dari awal hingga selesai dalam rentang waktu lima hari tepatnya pada 5/11/1424 H sampai dengan 9/11/1424 H.

Dalam keikutsertaan ini aku memaparkan pembahasan yang sederhana dan insya Allah diberkahi yang semuanya ada di tangan Anda sekalian (para pembaca). Akan tetapi, sebelumnya juga kami cantumkan lampiran surat undangan yang memuat penjelasan metode dan tata tertib muktamar.

Lampiran Surat UndanganBismillaahirrohmaanirrohiimYang mulia, Syekh Muhammad bin Alawi al Maliki, Hafizhohulloh. Assalaamu Alaikum Warohmatulloh Wabarokaatuh. Waba’du. Kami memohon kepada Allah Azza wajalla semoga memberkahi dan senantiasa menjaga dan merawat Anda.Kami memberitahukan bahwa Muktamar Nasional Pertama yang berisi dialog pemikiran telah dilaksanakan.

Dan untuk mengembangkan pemikiran dan memperluas keikutsertaan yang mencakup semua komponen masyarakat dan bisa menyelesaikan aneka ragam permasalahan maka atas izin Allah telah ditetapkan akan diadakan Pertemuan Nasional Kedua yang berintikan dialog pemikiran yang akan dilaksanakan di Makkah al Mukarromah dan berlangsung selama lima hari terhitung mulai tanggal 5/11/1424 H dengan tema “Ekstrem Dan Moderat: Sisi Pandang Sistematis dan Universal”. Panitia pelaksana Dialog Nasional di markas Raja Abdul Aziz telah memberikan gambaran pokok dari tema tersebut seperti berikut: 1. Keterkaitan eratnya dengan pelaksanaan dialog di Kerajaan Saudi Arabia serta penentuan tata cara dan aturannya

.2. Sesungguhnya awal penyimpangan yang merusak dalam sejarah Islam muncul dalam bentuk tindakan ghuluw/tathorruf (ekstrem). Mungkin sekali hal itu menjadi sebab munculnya satu kelompok dengan ciri–ciri seperti yang banyak disebutkan dan diperingatkan oleh hadits–hadits shohih di antara kelompok–kelompok yang telah berpaling dari Islam. 3. Sesungguhnya bahaya paling besar yang dihadapi dunia Islam, khususnya negeri kita, adalah ancaman (tahdiid) akan terjadinya ketimpangan, sebuah kondisi tidak seimbang yang kelak akan menjadi tempat subur bagi tumbuhnya sikap ghuluw dan tathorruf.Gambaran masalah ini kiranya cukup memberikan penjelasan sampai di manakah dampak yang ditimbulkan oleh ghuluw yang berupa terciptanya permusuhan dan keburukan yang tidak terkontrol dalam watak kemanusiaan.

Selanjutnya, (perlu pula diketahui) bahwa topik ini telah dipersiapkan untuk dibahas (dalam dialog) dari berbagai aspek: psikologi, pendidikan, sosial, ekonomi, dan agama. Dan untuk semua itu telah disiapkan (diajukan) lima belas lembar yang ditulis oleh para ahli di bidangnya. Karena itu, sangat diharapkan agar para tokoh ulama, pemikir, dan para jurnalis hadir dan ikut ambil bagian dalam muktamar ini. Dan panitia pelaksana telah memilih Anda agar menghadiri muktamar ini.

Dan untuk hal itu, mereka lalu memaksaku untuk mengundang Anda. Kiranya kami bergembira jika Anda menghadiri undangan ini. Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, kami menunggu jawaban Anda dalam waktu sepuluh hari ke depan. Setelah itu seluruh lembar yang diajukan untuk Dialog akan segera dikirimkan kepada Anda.

Selain itu, kami juga memberitahukan bahwa panitia pelaksana pusat telah menjamin keamanan dan menanggung semua akomodasi mulai transportasi, penginapan, dan penjemputan para peserta. Di balik ini terlampir jadwal pertemuan yang menyangkut materi dan topik dialog.

Terimalah tahiyyat salam kami: Ketua Panitia Dialog Nasional Kedua untuk Dialog Pemikiran Sholeh bin Abdurrahman al HushenPertemuan Nasional dan Dialog Pemikiran KeduaJudul Pertemuan“Ekstrem dan Moderat: Sisi Pandang Sistematis dan Universal”Tanggal Pertemuan: 5 s.d. 9 Dzulqo’dah 1424 HMasa Pertemuan: lima hariAcara pertemuan dan Materi Dialog: Pertama:

Pembukaan pertemuan, meliputi: penjelasan topik, tujuan, dan tata tertib Dialog.Kedua : Dialog pertemuan:a. Dialog Syariat, meliputi topik berikut:1. Definisi Ghuluw dalam al Kitab dan as Sunnah: Studi Pemahaman dan Istilah

2. Problematika yang Muncul Akibat Ghuluw: Sisi Pandang Syariat yang Universal

3. fenomena ghuluw masa kini. Ghuluw dalam takfiir, ghuluw dalam memberikan loyalitas dan antipati (fil wala’ wal baro’), membelot dari penguasa sah, ghuluw dalam amar ma’ruf nahi munkar, ghuluw dalam sikap kepada non-Islam dan ghuluw dalam bersikap keras terhadap diri sendiri dan orang lain

4. Hubungan antara hakim dan yang dihukumi, hak–hak yang terkait dengan kependudukan (muwaathonah) dan kewajiban–kewajibannya serta hubungan hal itu dengan ghuluw. b. Dialog tentang Individu dan Masyarakat, meliputi topik:
1. Ciri–Ciri Pribadi yang Ekstrem: Fanatik, Toleransi, Kristalisasi Pemikiran, dan Kekakuan Berpikir (Tidak Toleran dan Harus Begitu)
2. Pengembangan Kemasyarakatan dalam Miliu Saudi: Fenomena–Fenomena dan Cara–Cara.
3. Pendidikan Agama di Masyarakat Saudi: Pandangan Kejiwaan dan Kemasyarakatanc. Dialog Pendidikan, meliputi topik:
1. Kurikulum Agama: Pembentukan Kurikulum, Guru, atau Kealamiahan Masyarakat.
2. Peran Pendidikan dalam Membangun Pribadi yang Seimbang: Contoh–Contoh Pemikiran
3. Kegiatan pendidikan (yang berupa) training–training (al laashifiyyah), apakah berperan nyata dalam membangun sikap i’tidal (bersikap normal dan wajar) atau justru memunculkan ghuluw. d. Dialog Pers, meliputi topik:

1. Apakah di sana ada teori (politik) pers yang jelas untuk menangani fenomena ekstremisme
2. Pentingnya kebebasan berbicara dalam media–media informasi yang berbeda dan peran yang dilakukan dalam menghadapi tantangan ghuluw dan mewujudkan i’tidale. Dialog Politik dan Ekonomi, meliputi topik:

1. Permasalahan kaum muslimin di medan internasional. Bagaimana memahami dan memberikan andil tanpa harus bersikap ghuluw
2. Pentingnya ikut serta dalam politik secara pemikiran dan praktik untuk memberikan terapi ghuluw yang menjangkit di masyarakat Saudi serta hubungan hal tersebut dengan kebebasan hak asasi manusia
3. Faktor ekonomi dan peranannya dalam ghuluw: pengangguran, kerusakan, dan pengembangan kawasanKetiga: Hasil–hasil pertemuan, meliputi resume kesepakatan dan rekomendasi dari pertemuan untuk menangani fenomena ghuluw, memberikan solusi dan strategi yang sesuai, yaitu dengan:
1. Memperjelas bentuk dan tampilan ghuluw di masyarakat Saudi serta memberikan penjelasan dampak yang ditimbulkannya

2. Memutuskan solusi tepat untuk fenomena ghuluw

3. Mempersiapkan strategi untuk melakukan terapi (menangani dan memberantas) fenomena ghuluw di masyarakat. BismillaahirrohmaanirrohiimYang terhormat: Ketua Pertemuan Nasional untuk Dialog Pemikiran,Syekh Sholeh bin Abdurrahman al HushenAssalaamu Alaikum Warahmatullahi Wabarokatuh. Amma Ba’du; Menanggapi ungkapan Anda yang berintikan undangan buat saya untuk hadir dalam Dialog Nasional Kedua.

Demi memenuhi undangan Waliyyul Ahdi (penguasa) maka kami memberitahukan bahwa kami setuju untuk hadir dalam Dialog Nasional ini.

Kami memohon kepada Allah semoga Dia memberi pertolongan kepada kita agar bisa beramal sholeh, mematikan fitnah di antara kaum muslimin, menyatukan kalimat mereka dan mengumpulkan urusan mereka dalam kebenaran. Washollallahu alaa Sayyidinaa Muhammad wa alaa Aalihii wa Shohbihi wa SallamSayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al HasaniTeks PembahasanBismillahirrohmaanirrohiimSegala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Sholawat dan salam atas utusan termulia, junjungan kita, Nabi Muhammad SAW dan keluarga serta seluruh sahabat. Amma Ba’du.Tahiyyat Islam kami persembahkan kepada Anda sekalian:Assalaamu Alaikum Warohmatulloh Wabarokaatuh.

Saya menyambut gembira terhadap undangan yang mulia ini. Saya merasa sangat senang dengan munculnya ide yang agung ini. Betapapun itu terlambat, tetapi urgen dan harus dilaksanakan andai saja hal ini dilaksanakan sebelum percikan api membesar dan sebelum bahaya menggurita.

Saya ingin mengingatkan kembali bahwa seruan dan ajakan untuk berkumpul dan berdialog menyamakan persepsi dan pemahaman telah kami lontarkan sejak dua puluh tahun lalu dalam buku saya “Mafaahim Yajibu an Tushohhah”. Saya juga telah memberikan peringatan akan masalah–masalah yang muncul dan dampak negatif yang mesti terjadi sebagai akibat dari sikap ekstrem (ghuluw/tathorruf) yang dibiarkan dan tidak dipedulikan dalam buku saya “at Tahdziir Minal Mujaazafah bit Takfiir” yang telah dicetak sepuluh tahun lalu. Sungguh langkah yang mulia ini datang tepat pada waktunya.

Kenyataan memang telah membuktikan pada tempatnya dan datang dari pihak yang memang berkompeten. Sungguh langkah ini dinanti oleh seluruh penduduk dunia sebab semua menggantungkan harapan dan prasangka baik mereka pada kerajaan (mamlakah), para penguasa, politikus, dan ulamanya.

Mereka juga menganggap semuanya sebagai suatu standar (miizan), komentar dan fatwanya sebagai hikmah hasanah, akal yang sempurna serta pendapat yang paling tepat. Sungguh realitas ini adalah bagian dari nikmat Allah.Saya sendiri yakin bahwa langkah–langkah bijak yang dilakukan dengan serius oleh pemerintah ini akan memberikan penjelasan yang memuaskan sebelum keluarnya penjelasan yang dinantikan dari Anda sekalian.

Dan satu hal yang mesti disepakati, ditetapkan, dan disiarkan ---sebelum dialog dan diskusi ini berjalan lebih lanjut-- adalah penjelasan global bahwa tindakan teror dan pengafiran yang terjadi di negeri ini dengan mengatasnamakan agama harus dihentikan. Klaim sepihak dan ulah brutal, penghinaan terhadap para imam kaum muslimin, pelecehan atas al Qur’an dan as Sunnah, mengapling surga dan neraka untuk orang-orang yang mereka kehendaki dengan seenaknya, dan semboyan mati syahid bagi siapa saja yang ikut dan menjadi simpatisan mereka harus segera diberantas.Sungguh telah banyak kaum yang lemah dan yang miskin yang lenyap menjadi korban masalah ini.

Padahal, sebenarnya mereka adalah orang–orang yang penanya tidak memiliki ruang gerak, tak ada suara bergelombang dari mereka yang bisa didengarkan dan sama sekali tak ada hasil pemikiran mereka yang layak disebarluaskan dalam media informasi model apapun. Mereka telah termakan kezholiman.

Mereka pergi begitu cepat dan hilang dalam sekejap, justru saat lawan–lawan mereka bisa duduk dan berdiri dan bisa bebas melakukan gerakan. Benarlah jika ada orang yang berkata, “Udara telah kosong untukmu maka cetaklah putih atau kuning (sesuai seleramu)”. Dalam situasi pintu tertutup, ruang gerak dibatasi, dan pusat komando dihentikan seolah terdapat sebuah peraturan dan keputusan pemerintah yang tidak bisa diganti atau diganggu gugat. Mengomentari kondisi seperti ini sangat layak bila dikatakan,

“Kondisi ini seperti nash Allah Azza wajalla, keputusan Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam yang tidak bisa dilawan dengan pendapat, masukan, perdebatan, atau protes apapun.” Sungguh Allah telah memberikan pertolongan-Nya kepada para pemegang kebijakan (instansi pemerintahan), utamanya yang mulia, Khodimul Haromain, yang memprakarsai dan memberikan perhatian istimewa pada Muktamar Pemikiran dan Dialog Ilmiah yang tenang (dan menyenangkan) ini.

Sungguh, (sekali lagi ini) adalah usaha mulia yang mendapatkan taufik dari-Nya dalam mengantisipasi bahaya besar dan memberikan manfaat yang besar pula. Langkah dan usaha semacam ini pasti membawa manfaat berupa terhindarkannya pertumpahan darah, kehormatan yang terjaga, aib dan cela yang terlindungi, dan lubang- lubang mengangah yang tertutupi.

Formalitas seperti ini juga menjadi pertanda jelas akan kemuliaan yang dikirimkan oleh Allah ke negeri kita yang berupa para penguasa yang sejak semula memiliki komitmen kuat untuk menyebarluaskan agama, ilmu dan kekayaan ilmiah, dan membangun peradaban manusia yang modern dengan aroma rasa sosial yang kuat dengan dasar–dasar yang kokoh dan metode yang jelas.

Kemuliaan yang dikirimkan Allah tersebut telah berlangsung sejak masa almarhum Raja Abdul Aziz yang telah mengikis fanatisme, mempersatukan dan menghilangkan perbedaan–perbedaan, dan merobohkan sekat–sekat latar belakang. Usaha tersebut sama sekali tidak menyisakan tempat bagi para penyeru keburukan maupun agen–agen asing untuk bisa masuk dan menjadi benalu dalam tatanan masyarakat Saudi yang kokoh dan bersatu yang sangat loyal dengan kepemimpinan beliau yang penuh dengan cinta dan kredibelitas.

Seperti disaksikan, perpecahan dan tindakan teror merupakan bencana dan keburukan (yang muncul dari para ekstremis ) yang saat ini menjadi beban berat banyak masyarakat. Dalam situasi seperti ini, para pengacau (penyeru keburukan) akan dengan mudah membuat dan menyebarluaskan fitnah, memperkeruh suasana, dan mencari kesempatan dalam iklim perdebatan pemikiran dan ilmu yang sedang terjadi di antara kita.

Hal ini sangat mungkin untuk memunculkan masalah, membuat semuanya menjadi rumit serta memunculkan kasus–kasus yang tidak bermanfaat dan tidak pula mempersatukan. Bahkan sebaliknya, hal itu akan membahayakan dan menjadi penyebab perpecahan serta tak ada apapun yang bisa dibanggakan dari awal hingga akhir sebab terlanjur banyak pihak yang dewasa ini merasa tersakiti dan terbakar oleh apinya yang membara yang terkadang terlihat dan pada suatu saat tersembunyi begitu rapi.

Ekstrem dalam MengafirkanUraian topik ini merupakan salah satu agenda pokok muktamar dan dialog kali ini. Akan tetapi, saya tidak ingin mengulas dan menjabarkan arti secara etimologi dari kata ini (ghuluw) sebab telah diungkap dan dijelaskan oleh yang lain. Hanya saja, di sini kami ingin memberikan definisi ghuluw sebagai suatu tindakan keluar dari batas sedang dan tengah–tengah yang sudah digariskan dan dianjurkan oleh Islam serta sangat ditekankan agar dipegang dengan teguh dan jangan sampai dilepaskan sebagaimana disebut dalam firman Allah: وَكَذَلِكَ جَعَلْناَكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُوْنُوْا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ ... “Dan demikian (pula) Kami jadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia... “ (Q.S. al Baqoroh: 142)

Dengan pengertian seperti ini, bisa disimpulkan bahwa ghuluw (sikap ekstrem) bukanlah suatu hal baru, tetapi telah sangat lama dan berumur tua sejajar dengan umur manusia. Perhatikanlah firman Allah yang artinya, “Wahai ahli Kitab, janganlah kalian bertindak melewati batas (ghuluw) dalam agama kalian....” (Q.S. an Nisa’: 171)Nabi Muhammad ShollAllahu Alaihi Wasallam bersabda: إِيَّاكُمْ وَالْغُلُوَّ فِى الدِّيْنِ فَإِنَّمَا أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِالْغُلُوِّ فِى الدِّيْنِ “Waspadailah oleh kalian tindakan ghuluw dalam beragama sebab sungguh ghuluw dalam beragama telah menghancurkan orang sebelum kalian.” Ada satu poin penting yang perlu dicamkan dari hadits ini, yaitu fenomena di mana tak ada satu umat pun (yang pernah ada) yang sepi dari kelompok–kelompok yang bertindak ghuluw (al Mughooliin).

Jadi, ghuluw merupakan bencana lama yang terbukti menjadi sebab kehancuran banyak umat. Yahudi, misalnya, sejarah menceritakan betapa banyak kisah–kisah seputar kehadiran mereka yang sangat aktif dalam lapangan tindakan ekstrem yang berbentuk aksi teror, kebiadaban, dan keangkuhan yang salah satunya terwujud dalam aksi mendustakan (takdziib), mengintimidasi, dan bahkan membunuh sebagian para nabi.

Al Qur’an telah mencatat dan menyuguhkan aksi–aksi penghinaan tersebut dalam firman-Nya, “Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan al Kitab (Taurot) kepada Musa, dan Kami telah menyusulinya (berturut–turut) sesudah itu dengan rasul –rasul, dan telah Kami berikan bukti-bukti kebenaran (mukjizat) kepada Isa putera Maryam dan Kami memperkuatnya dengan Ruuhul Qudus.

Apakah setiap datang kepada kalian seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginan kalian lalu kalian angkuh, maka beberapa orang (di antara mereka) kalian dustakan dan beberapa orang (yang lain) kalian bunuh.“ (Q.S. al Baqarah: 87) Dalam berakidah, orang Nashrani juga bertindak ghuluw dengan mengangkat Isa bin Maryam alaihissalaam sampai pada tingkat ketuhanan dan mereka pun menyembahnya. Allah berfirman yang artinya, “Sesungguhnya telah kafirlah orang–orang yang berkata, ‘Sesungguhnya Allah ialah al Masih putera Maryam’,

padahal al Masih sendiri berkata, ‘Hai Bani Israil, sembahlah Allah, Tuhanku dan Tuhan kalian’. Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga dan tempatnya ialah neraka. Tidaklah ada seorang penolong pun bagi orang–orang zholim itu. Sesungguhnya kafirlah orang–orang yang mengatakan, ‘Bahwasanya Allah salah satu dari yang tiga’. Padahal, sekali–kali tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa.

Jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang–orang kafir di antara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. Maka mengapa mereka tidak bertaubat kepada Allah dan memohon ampun kepada-Nya? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.“ (Q.S. al Maidah: 72 – 74).Ekstremisme Nashrani tidak hanya dalam menuhankan al Masih dan ibundanya, tetapi menjalar pada keyakinan bahwa para pastur dan pendeta berhak menentukan suatu hukum selain (ketentuan hukum) dari Allah.

Lebih jauh lagi, mereka bahkan menyatakan kesanggupan secara total untuk patuh kepada pastur dan pendeta dalam segala hal yang bertentangan dengan syariat dan hukum Allah. Ini semua terdorong oleh ulah para pastur dan pendeta yang menghalalkan sesuatu yang haram dan mengharamkan sesuatu yang halal atas mereka serta menetapkan hukum dan syariat yang sesuai dengan selera dan hawa nafsu sehingga mereka sangat antusias menerima dan menaatinya.

Allah berfirman, “Mereka menjadikan orang–orang alimnya, dan rahib–rahib mereka sebagai tuhan–tuhan selain Allah, dan mereka (juga mempertuhankan) al Masih putera Maryam. Padahal, mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia.

Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.“ (QS at Taubah: 31)Dalam aspek kehidupan dunia, kaum Nashrani juga memiliki banyak sikap yang termasuk dalam kategori tindakan ghuluw yang di antaranya seperti dijelaskan oleh firman Allah: ...وَرَهْبَانِيَّةَ نِابْتَـدَعُوْهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلاَّ ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا ...“ .... Dan mereka mengada–adakan rohbaaniyyah. Padahal, Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada–adakannya) untuk mencari keridhoan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya ....“ (Q.S. al Hadid: 27)

Sungguh bibit tindakan ghuluw dari sebagian orang pernah tampak pada masa Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, tetapi segera dicegah dan dibabat sampai ke akarnya meski bibit itu tidak dalam lapangan Aqidah, melainkan dalam medan ibadah.

Dalam masalah ini, Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam benar–benar meneliti dan melakukan pengawasan ketat serta memberikan pengarahan menuju arah yang benar. Hal itu seperti diceritakan oleh Anas ra bahwa ada tiga orang datang ke rumah–rumah isteri Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam guna meminta informasi tentang ibadah beliau.

Setelah mendapat penjelasan, mereka sepertinya menganggap ibadah Nabi SAW terbilang sedikit. Karena itulah, mereka saling berkata, “Di mana kita (dibandingkan) dengan Nabi SAW yang telah diampuni segala yang telah berlalu dan yang akan berlaku.” Seorang kemudian berkata, “Adapun aku, maka sungguh aku akan terus sholat semalam suntuk selamanya!” Yang lain juga berkata, “Aku akan terus berpuasa selamanya dan tak akan berbuka!” Sementara itu, orang ketiga berkata, “Aku menjauh dari wanita dan tak akan pernah menikah selamanya!” Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam datang lalu bersabda yang artinya, “Kalian yang berkata begini begitu? Ingat, demi Allah, aku orang yang paling takut dan paling bertakwa di antara kalian, tetapi aku berpuasa juga berbuka, sholat (malam) juga tidur, dan aku (juga) menikah dengan para wanita. (Karena itu), barang siapa yang menjauh dari sunnahku berarti ia bukan golonganku.”

Pengarahan yang diberikan oleh Rasulullah SAW ini kiranya sama sekali tidak menyisakan alasan apa pun bagi mujtahid untuk berijtihad guna menetapkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh syariat, melarang hal yang tidak dilarang oleh syariat atau memfatwakan suatu produk hukum sesuai dengan selera dan pendapatnya. Hadits tersebut bukan berarti melarang secara mutlak untuk berijtihad dalam beribadah sebab berijtihad dalam ibadah (seperti dimaklumi) merupakan tuntutan syariat selama berada dalam koridor syariat seperti dijelaskan oleh Allah: وَالَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْـنَا لَنَهْدِيَنَّـهُمْ سُبُـلَنَا وَإِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ "Dan orang–orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah bena–benar beserta orang–orang yang berbuat baik.“ (Q.S. al Ankabuut: 69)

Allah juga berfirman, “Dan bersegeralah kalian menuju ampunan dari Tuhan kalian serta surga yang luasnya (seluas) langit dan bumi yang disiapkan bagi orang–orang yang bertakwa.” (Q.S. Ali Imron: 133)“Hai orang–orang yang beriman, berdzikirlah kalian kepada Allah dengan dzikir yang banyak dan sucikanlah Dia di waktu pagi dan sore hari.” (Q.S. al Ahzaab: 41-- 42). Sungguh hadits tersebut hanya mengajak dan mendorong pada keseimbangan (Muwaazanah) dalam segala tuntutan dan kewajiban. Hal ini (sebagai langkah antisipatif atas) tindakan ekstrem (ghuluw) yang mereka lakukan dengan membebankan sesuatu hal yang sebenarnya tidak diwajibkan atas mereka serta mencegah hal yang semestinya tidak pernah diharamkan atas mereka.

Ini adalah tindakan ghuluw yang sebenarnya. Karena itulah sikap dan sisi pandang (ittijaah) yang diambil dan dianut oleh para sahabat (yang disebut dalam hadits riwayat Anas ra di atas) tidak diakui dan segera ditangani oleh Nabi SAW dengan memberi penjelasan langsung bahwa sikap dan sisi pandang demikian merupakan bentuk ghuluw. Selanjutnya Nabi SAW memberikan bimbingan bahwa esensi takut dan takwa kepada Allah bukanlah dengan bersikap ekstrem, terlalu, atau teledor, melainkan dengan sikap yang seimbang terhadap aneka ragam tuntutan (mathoolib).

Atas dasar ini, (bisa dimengerti bahwa tabir) perbedaan antara giat (ijtihad) dalam ibadah dan ghuluw sangat tipis.Sungguh sangat disayangkan, ketika sebagian dari para pelaku kebaikan yang getol memperjuangkan kebaikan justru melakukan kekeliruan dalam menggunakan dan menerapkan istilah ini (ghuluw) atas diri mereka dan orang–orang selain mereka. Hal itu akan berakibat pada terjadinya keburukan yang luas serta pintu–pintu fitnah besar yang terbuka lebar dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Dalam bukunya (Iqoomatul Hujjah alaa Annal Iktsaar fil Ibaadah Laisa bi Bid’ah), Syekh Abul Hasanaat Abdul Hayyi al Lacknawi menjelaskan perbedaan dalam topik penting ini dengan tuntas.

Bahkan, termasuk tindakan yang jelas–jelas bagian dari sikap ekstrem adalah klaim sebagai pelaku bid’ah yang ditumpahkan atas sebagian ulama ahli suluk dan tarbiyah yang memfokuskan diri dalam beribadah.

(Sekali lagi ) saya mengatakan, “Hal ini adalah bagian dari sikap ekstrem!! Laa Haula walaa Quwwata illa Billaah al Aliyyil Azhiim” Model Performa Ekstremisme (Ghuluw) Di antara performa–performa (mazhoohir) tindakan ghuluw adalah apa yang kita saksikan dari perilaku sebagian orang yang melakukan hujatan dan serangan sadis terhadap mayoritas ulama umat Islam yang berhaluan Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Syiah, Ibadhiyyah dan Shuufiyyah serta mengklaim secara mutlak bahwa seluruh mereka adalah kafir, syirik, sesat, keluar dari agama dan seterusnya tanpa terkecuali. Meski demikian, dalam kesempatan ini kami tidak berkehendak ikut campur dalam menguraikan klaim tersebut beserta maksud, tujuan, perkembangan, dan sejarahnya, (apalagi memberi penjelasan dengan) rinci tentang madzhab dan aliran ini.

Sebab hal ini tentu ada tempat dan medan yang spesifik untuknya, yaitu pembahasan ilmiah dan sisi pandang yang ada untuk kemudian dibahas secara bebas serta independen.Hal penting bagi kita (di sini) adalah mendukung dan memantapkan langkah dan usaha memberikan peringatan agar waspada dan tidak gegabah mengafirkan kelompok ini, madzhab itu, dan madzhab ini, serta (waspada akan) dampak dari pengafiran ini yang berupa munculnya aksi teror (irhaab) dan perusakan (ifsaad) di bumi.

Sungguh, aksi teror telah banyak memakan korban nyawa manusia hanya karena perselisihan ini. Sementara aksi perusakan maka bukti–buktinya bisa disaksikan dengan nyata yang berupa tindakan anarkis dan penghancuran hingga buku–buku ilmiah pun tidak selamat dan turut menjadi korban.

Betapa sangat disayangkan ketika ada sebuah kelompok yang senantiasa berjihad untuk Islam ternyata melakukan pembakaran terhadap kitab–kitab dan ensiklopedi yang di antaranya adalah Fathul Baari Syarah Shohih Bukhori milik al Hafizh Ibnu Hajar hanya karena alasan bahwa penulis berhaluan dan mengikuti jejak Imam Asy’ari dalam menafsirkan hadits–hadits tentang sifat–sifat-Nya yang terdapat dalam Shohih Bukhori.

Di sini kami mengatakan, “Sebelum mencela dan mencaci mereka maka wajib bagi kita semua mengerti sebab yang menjadikan mereka bertindak semacam itu. Jika sebab diketahui maka hilanglah keheranan. Anda sekalian tidak akan lama tenggelam dalam keheranan jika Anda sekalian mengetahui bahwa sebagian orang pandai yang mengaku sebagai pelayan ilmu telah mengeluarkan fatwa dan memutuskan hukum bahwa Asy’ariyyah adalah kafir.

Fatwa itu kemudian disebarkan dalam tulisan–tulisan ataupun ceramah–ceramah yang mereka berikan. Inilah sebab langsung dari munculnya dampak–dampak (negatif tersebut). Orang pandai itulah yang telah membuat dan memproduksi kunci di pabriknya kemudian menyerahkan kunci tersebut kepada mereka (para pelaku tindakan teror). Dialah yang menyiapkan dan membuka pintu (tindakan ghuluw/terorisme).

Akan tetapi, ketika kedua daun pintu telah terbuka lebar, dia berpaling dan mengatakan, “Sungguh aku berlepas diri dari kalian. Sungguh aku melihat apa yang tidak kalian lihat.” Akan tetapi, (ini) setelah Khaibar sudah hancur. Syekh Ibnu Taimiyyah berkata:Dalam fatwa–fatwa al Faqiih Abu Muhammad, terdapat banyak hal bagus. Aneka permasalahan ditanyakan kepada beliau dan di sana beliau mengatakan, “Adapun para ulama yang melaknat para Imam Asy’ariyyah, maka barang siapa yang melaknat mereka maka ia harus dita’zir (diberi hukuman) dan laknat pasti kembali kepada dirinya sendiri. Barang siapa melaknat seseorang yang tidak berhak dilaknat maka laknat itu pasti menimpa dirinya sendiri.

Sungguh ulama adalah penolong agama (anshoorud diin) sementara Asy’ariyyah adalah penolong dasar–dasar agama (anshoor ushuuliddiin)”. Sulthonul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdussalaam menyebutkan, “Sesungguhnya Akidah Imam al Asy’ari telah disepakati oleh seluruh pengikut madzhab Syafi’i, Maliki, Hanafi dan para petinggi madzhab Hambali. Di antaranya adalah guru besar madzhab Maliki, Syekh Abu Amar bin al Hajib, yang hidup sezaman dengan Imam Asy’ari serta guru besar madzhab Hanafi, Syekh Jamaluddin al Hushoiri.

Sementara Imam al Khoyaali dalam catatan kaki (Hasyiyah) Syarhul Aqo’id mengatakan, “Orang–orang madzhab Asy’ari (Asyaa’iroh), mereka adalah ahlu sunnah wal jamaah.” Di sini kita tidak sedang melakukan studi terhadap madzhab ini atau aliran itu dengan segala prinsipnya untuk kemudian memberikan penilaian, tanggapan, dan komentar sebagai hasil akhir dari studi tersebut.

Hal ini ada saat dan tempat, dan tokoh–tokoh di bidangnya sendiri. Karena itu, wajib atas mereka --sebagai tanggung jawab keilmuan, negara, dan sejarah-- mencurahkan usaha dengan maksimal untuk mewujudkannya sebagai sumbangsih dan pelayanan kepada riset ilmiah. Di dalam riset tersebut, setiap hal dalam masalah ini bisa diterima dengan lapang dada dan nalar yang luas terbuka selama maksud dan tujuan terarah pada menampakkan kebenaran (ihqoqul haqq) dan menjelaskan kebatilan (ibthoolul baathil) seperti disebut dalam sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam: إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ“Jika hakim memberi keputusan dan berijtihad kemudian tepat (sesuai kebenaran) maka baginya dua pahala.

Jika dia memutuskan hukum lalu berijtihad dan (ternyata) salah maka baginya satu pahala.” (Muttafaq alaih) Tentu saja, semua ini harus disertai kesadaran bahwa semua pintu di medan ini (medan pemikiran, aliran, dan pendapat ) tidak bisa terlepas dari kritik, sanggahan, dan garis bawah (dari pihak lain). Sebab, terjaga dari kesalahan (ishmah) hanya berlaku bagi Kitab Allah yang tidak bisa didatangi kebatilan dari depan maupun belakang, dan berlaku bagi Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam yang tidak berkata atas dasar keinginan, melainkan wahyu yang diwahyukan.

Dalam masalah ini, Imam Daarul Hijroh (Malik bin Anas) telah menggariskan satu standar ideal dan ungkapan yang tepat yang bisa dijadikan ukuran keadilan. Beliau mengatakan, “Setiap dari kita diambil dan ditolak darinya kecuali pemilik kubur ini,” seraya menunjuk kepada junjungan kita, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.Pembagian Klaim Syirik & Kufur kepada Kelompok–Kelompok Islam dalam Kurikulum PembelajaranDalam pertemuan dan kesempatan yang baik ini, saya ingin mengingatkan kepada Anda sekalian tentang sebagian kurikulum sekolah, khususnya materi tauhid.

Dalam materi tersebut terdapat pengafiran, tuduhan syirik dan sesat terhadap kelompok-kelompok Islam sebagaimana dalam kurikulum tauhid kelas tiga Tsanawiy (SLTP) cetakan tahun 1424 Hijriyyah yang berisi klaim dan pernyataan bahwa kelompok Shuufiyyah (aliran–aliran tashowwuf ) adalah syirik dan keluar dari agama.

Materi kurikulum tersebut menjadikan sebagian pengajar terus memperdalam luka dan memperlebar wilayah perselisihan. Padahal, 3/4 penduduk muslim seluruh dunia adalah Shuufiyyah dan seluruhnya terikat dan meramaikan padepokan (zaawiyah) mereka dengan tashowwuf. Bahkan, harus dimengerti bahwa zawiyah–zawiyah tersebut memiliki jasa besar dalam memerangi penjajahan, membela negara, menyebarkan agama, dan memberikan pengajaran kepada kaum muslimin. Inilah sikap dan perilaku zawiyah Sanusiyyah, Idrisiyyah, Tijaaniyyah, Qoodiriyyah, Rifaa’iyyah, Syadziliyyah, Mahdiyyah, Naqsyabandiyyah, dan Marghoniyyah.

Sejarah yang objektif dan terpercaya mengakui akan hal ini. Sementara itu, generasi berikut dari para imam thoriqot tersebut seperti Syekh Umar al Mukhtar, Syekh Abdul Qodir al Jazairi, al Imam al Mahdi, Syekh Umar al Fauti at Tiijani, Syekh Utsman bin Faudi al Qodiri juga mempunyai jasa–jasa yang perlu dihargai dalam berjihad di jalan Allah. Para imam tersebut melayani agama dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan untuk memerangi kebodohan dan tindakan bid’ah.

Adapun (lebih jauh lagi) para imam tashowwuf pendahulu mereka yang terkenal dalam abad–abad terdahulu seperti Imam Rifai, Imam al Badawi, Imam Syadzili, dan para imam lain setingkat mereka serta para imam dari generasi tabi’in dan para pengikutnya dari para ahli Hilyah, Shofwah, Risalah dan Madarijis saalikin.Usaha dan jihad mereka semua di jalan Allah merupakan suatu hal yang banyak memenuhi sejarah dan telah banyak dikisahkan oleh buku–buku biografi (Manaaqib/Taroojim).

Meskipun begitu, kita tidak mengatakan mereka ma’shum sebab setiap kita dan mereka (adalah sama,) diambil dan juga ditolak. Ijtihad yang mereka lakukan juga berputar antara daerah kebenaran dan kesalahan, diterima dan dibantah.

Kendati begitu, kita semua tidak ingin mereka dihujat dengan tuduhan keluar dari Islam, kafir, syirik, dan fanatik dalam bermadzhab.

Saya ingin bertanya kepada Saudara–Saudara yang berijtihad dalam menetapkan hukum dan klaim–klaim tersebut, dalam hitungan mereka berapa banyak mereka akan kehilangan saudara sesama kaum muslimin? Dengan hukum mereka yang menyimpang, berapa banyak tali silaturrahim dan persaudaraan Islam yang akan mereka putuskan di antara ratusan juta kaum muslimin yang telah mengucapkan Laa ilaaha illallah Muhammad Rasulullah? Karena itulah, marilah kembali meninjau perhitungan kita bersama saudara–saudara kita!Tiga Pembagian Tauhid sebagai Faktor DominanDi antara faktor terpenting dan dominan yang menjadi sebab munculnya ekstremisme adalah apa yang kita saksikan bersama pada metode pembelajaran tauhid dalam kurikulum sekolah. Dalam materi tersebut terdapat pembagian tauhid menjadi tiga bagian:

1) Tauhid Rububiyyah,
2) Tauhid Uluhiyyah,
3) Tauhid Asma’ was Shifaat. (Padahal pembagian seperti ini), tidak pernah dikenal oleh generasi salaf dari masa sahabat, tabi’in maupun tabi’it taabi’in. Bahkan, pembagian dengan format seperti ini tidak terdapat dalam al Qur’an atau Sunnah Nabawiyyah.

Jadi, pembagian (taqsiim) tersebut tak lebih merupakan ijtihad yang dipaksakan dalam masalah ushuluddin serta tak ubahnya seperti tongkat yang berfungsi membuat perpecahan di antara umat Islam dengan konsekuensi hukumnya yang memunculkan sebuah konklusi bahwa kebanyakan umat Islam telah kafir, menyekutukan Allah, dan lepas dari tali tauhid. Selanjutnya taqsiim ini juga akan senantiasa menjadi sarana yang mudah didapat untuk terus mengeluarkan klaim–klaim dan keputusan seenaknya tanpa didasari pemikiran dan perenungan.

Taqsiim ini, terlepas dari penelitian apakah memiliki dasar dalam aqidah Islaamiyyah atau tidak, yang jelas dan sangat disayangkan kini telah menjadi dasar kuat (dan alat) untuk mengafirkan banyak kelompok Islam. Andai saja yang menjadi korban dari taqsiim ini hanya sebagian orang, tentu bencana sangat ringan dan mudah diatasi.

Akan tetapi, musibah ini ternyata menimpa mayoritas umat: ulama dan awam, pemikir, juga para sastrawan. (Dengan demikian), pada hakikatnya taqsiim ini merupakan goresan yang memotong tali hubungan di antara umat Islam.

Jika kita berniat membersihkan Makkah Madinah --dengan standar pendapat mereka-- dari orang–orang yang dicurigai sebagai pemilik kesyirikan, penyembah para wali, pengagum Ahlul Bait, dan pengikut pemahaman umum dalam sifat–sifat-Nya, tentu akan terjadi penolakan terhadap banyak jamaah haji dan para peziarah.

Para jamaah haji dan para peziarah tersebut, dalam musim–musim agama, berasal dari berbagai kelompok umat Islam yang seluruhnya mendapat sambutan dan pelayanan dari pemerintah serta kebebasan menjalankan apapun sesuai dengan prinsip (madzhab) mereka yang sedikitpun tidak bertentangan dengan syariat Islam. (Sungguh, betapapun perbedaan itu ada), tetapi hanya berputar dalam masalah khilaafiyyah, hal di luar yang sudah disepakati bersama (ijma’) seperti halnya para pelaku kesalahan dan pelanggaran syariat. Para ulama tidak pernah sepakat (berijma’) mengafirkan para pelakunya, karena termasuk dalam firman-Nya: إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni apabila Dia disekutukan dan Dia memberikan ampunan kepada selain itu kepada orang yang Dia kehendaki.” (QS an Nisa’: 48)

Telah kami jelaskan di awal sambutan bahwa semua pihak dituntut untuk melakukan penjernihan (tashfiyah), pembersihan (tanqiyah), saling mengingatkan, mengoreksi, dan dengar pendapat (murooja’ah), berusaha saling memahami (mufaahamah), dan mengadakan dialog (muhaawaroh) dengan memegang satu prinsip, “

Sesungguhnya setiap jalan pemikiran ilmiah dalam agama, cabang–cabang, dan rinciannya yang masuk dalam medan ijtihad harus mau dikoreksi untuk perbaikan, pergantian, dan perubahan. Pemiliknya tidak boleh meyakini cabang dan rincian tersebut sebagai suatu masalah pasti yang wajib diterima dan dihormati seperti dua dasar pokok, yaitu al Qur’an dan al Hadits.”

Jika semua pihak memegang prinsip ini, niscaya semuanya bisa bertemu, saling mendekat, menerima alasan orang lain, dan saling memaafkan satu sama lain. Sudah barang tentu, ini merupakan pondasi langkah–langkah pertama untuk membangun persatuan Islam yang diinginkan dan didambakan serta menjadi keinginan kuat setiap muslim. Kendati begitu, ini tidak lantas harus menghapus, memberantas, membuang, dan menolak secara total serta tidak memberikan pengakuan akan keberadaan komunitas yang berbeda yang telah ada di muka bumi dan memiliki akar kuat, para penjaga, dan pengikut yang loyal dan siap menjadi pembela.

Sesungguhnya mayoritas kaum muslimin, dari saudara–saudara kita yang dikenal dengan tashowwuf dan meresapi betapa tashowwuf telah menyematkan kemulian dan keagungan besar kepada mereka serta merasa bangga memiliki hubungan dengannya. Itulah tashowwuf yang benar dan sesuai syariat serta berdiri di atas landasan maqom ihsan, maqom yang dibanggakan.

Semestinya, setiap orang Islam berusaha mengenal dan memiliki hubungan dengannya yang digambarkan dalam sabda Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam: ...أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ ...“…. hendaknya kamu menyembah Allah seakan–akan kamu melihat-Nya. Jika kamu tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu .…” (H.R. Muslim) Sungguh, mereka semua dituntut untuk kembali meneliti dan meninjau ulang kurikulum kemudian mengoreksi, membenarkan, dan meluruskan sesuai kebenaran, keadaan, kenyataan, dan selaras dengan semangat persatuan nasional dalam perlindungan dan perawatan satu pemerintahan yang melihat semuanya dengan satu pandangan keadilan.

Ibaratnya seperti anak–anak seorang lelaki yang semuanya harus memperoleh hak–hak dan kewajibannya masing–masing. Mereka mendapat kesempatan yang sama, perhatian dan kasih sayang yang seimbang. Semuanya berhak mengingatkan, “Takutlah kepada Allah dan berbuatlah adil terhadap anak–anak kalian.”

Model GhuluwDi antara rupa dan performa yang terlihat sangat buruk dalam lapangan ghuluw pada era ini adalah apa yang kita saksikan dilakukan oleh para pemuda yang terseret memasuki pintu ini oleh faktor husnuz zhon, pemahaman yang salah atau kealpaan. Semua itu membawa mereka terjatuh dalam bahaya besar, menyeret mereka untuk terperosok dalam banyak problema yang semestinya tidak perlu terjadi jika saja kebanyakan orang mau menanganinya.

Para pemuda tersebut mencela, mencaci, dan meremehkan para salaf yang sholeh, generasi yang membawa agama ini sampai kepada kita dan telah menghabiskan seluruh umur untuk membela syariat pemimpin para utusan, Rasulullah Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.

Generasi itu pula satu–satunya kelompok yang menjadi pelayan sunnah nabawiyyah sehingga bisa sampai kepada kita dalam keaadaan putih dan bersih. Imam Abu Hanifah, misalnya, oleh mereka (para pemuda) dikatakan sebagai seorang Jahmiyyah Murji’ah, seorang ahli bid’ah yang sesat dan pembawa naas bagi Islam dan pemeluknya. Begitu pula Imam Nawawi, Imam Ibnu Hajar al Asqolani, Imam Ghozali, Imam Juned, Imam Ibrahim bin Adham, Imam Fudhel bin Iyadh, Imam Sahl at Tustari, Imam Dzahabi, Sulthonul Ulama, Syekh Izzuddin bin Abdussalam, dan lainnya. Sungguh, pena merasa malu untuk menulis caci maki yang mereka keluarkan dan julukan–julukan jelek yang mereka lontarkan terdengar begitu risih oleh telinga orang yang mendengarkan.

Dan hal ini terdapat dalam seluruh isi buku dan sepanjang isi kaset yang telah disebarkan. (Jika perlakuan demikian diterima oleh para generasi salaf), maka sudah barang tentu caci maki itu juga dilontarkan terhadap ulama–ulama masa sekarang. Laa Haula walaa Quwwata illaa billaah.

Kedangkalan Tsaqafah dan Pengertian AgamaSudah barang tentu kita semua sepakat bahwa penghinaan, hujatan, dan caci maki kepada para ulama seluruhnya bersumber dari ketidakluasan ilmu dan pengertian agama, atau belajar tanpa adanya pengajar. Hal inilah yang menyeret sebagian para pemuda kita pada ketidaktepatan dalam menggali sebagian hukum, cenderung memusuhi setiap orang yang berbeda dengan mereka, dan menganggap pendapat pihak yang bertentangan dengan mereka sebagai hal yang bodoh.

Fanatik PendapatKedangkalan wawasan keagamaan, seperti kita saksikan dewasa ini, juga membawa sebagian dari para pemuda kita bersikap fanatik (ta’assub) dan menuhankan pendapat sendiri (istibdad bir ro’yi) khususnya dalam masalah–masalah yang sebetulnya di situ ijtihad bisa diterima.Orang–orang yang biasa berdebat, bertukar pendapat, dan berdialog pasti mengenal ungkapan, “Pendapatku benar, tetapi mungkin juga salah. Dan pendapat lawanku salah, tetapi mungkin juga benar.”

Adapun tidak mengakui pendapat dan mengingkari kebenaran yang dimiliki orang lain yang bersilang pendapat dengannya maka sungguh itu adalah salah satu bencana besar yang diakibatkan oleh ghuluw, khususnya pada saat ini. Kiranya tak ada satu pun orang berakal yang mengingkari bahwa jika manusia tidak mengerti akan sesuatu maka pasti memusuhi sesuatu tersebut.

Faktor bencana ini, (sekali lagi adalah), minimnya pengetahuan agama, bangga dengan pendapat sendiri (i’jaab bir ro’yi) dan cenderung menuruti hawa nafsu. Sebagian dari kaum ekstremis bahkan sampai bertindak kelewat batas dengan membodohkan orang lain dan menuduhnya sesat dan keluar dari agama. I

ni pun disebabkan oleh fanatik dan keyakinan bahwa hanya pendapat sendiri yang paling benar serta berusaha mempertahankan egonya. Sudah barang tentu bahwa hal tersebut merupakan bentuk fanatik yang paling dominan, eksklusif, dan semaunya. Karena itu, wajib bagi para ulama untuk menyelamatkan para pemuda dari fanatisme. Wajib pula bagi para ulama menyadari bahwa hal ini merupakan tantangan yang harus mereka hadapi. Mereka harus memiliki semangat tinggi untuk memberikan perhatian dan terapi kepada pasien-pasien yang sudah terlanjur terjangkit wabah ini agar mereka bisa segera sembuh.

Jika hal itu dibiarkan, akan berdampak pada kehancuran, umat tercabik, dan terpecah belah. Padahal, Allah telah berfirman, “Jangan kalian saling berselisih karena itu membuat kalian lemah dan hilang bau kalian.” (Q.S. al Anfaal: 46)“Dan berpegang teguhlah kalian semua dengan tali Allah dan jangan berpecah belah.” (Q.S. Ali Imran: 103)Model GhuluwTermasuk contoh dari berlebih-lebihan dalam beragama adalah banyak kita lihat di dunia Islam para pemuda yang mengaku salafiyah (pengikut jejak para ulama terdahulu).

Sungguh, pengakuan itu sangat mulia apabila pengakuan itu mereka realisasikan. Beberapa golongan lainnya mengaku ahli hadits (berpegang teguh kepada hadits). Pengakuan ini pun sangat mulia. Sebagian yang lain mengatakan tidak perlunya bermadhzab dan hanya berpegang teguh dengan al Qur’an dan as Sunnah saja karena al Qur’an dan as Sunnah adalah pilar-pilar agung berdirinya agama Islam sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. إِنِّى قَدْ خَلَفْتُ فِيْكُمْ مَا لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا مَا أَخَذْ تُمْ بِهِمَا أَوْ عَمِلْتُمْ بِهِمَا كِتَابَ الله وَسُنَّتِى وَلَنْ يَفْتَرِقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَي الْحَوْضِ (رواه البيهقى في السنن“Sesungguhnya aku tinggalkan untuk kalian dua pusaka.

Kkalian tidak akan tersesat selagi berpegang teguh atau mengamalkan keduanya, yaitu al Qur’an dan Sunnahku. Keduanya tidak terpisahkan sampai mengantarkan aku ke al-haudl/telaga.”(H.R. al Baihaqy). Pengakuan ini pada hakikatnya sangat terpuji. Namun, pengakuan-pengakuan ini hanya pengakuan dari orang-orang yang bukan ahlinya. Pengakuan dari orang-orang yang berfatwa secara individual tanpa ada dasar ataupun sandaran dari para ulama yang terpercaya.

Pendapat dan fatwa-fatwa mereka terlontar begitu saja tanpa adanya batasan, keterikatan kaidah-kaidah, bahkan asal-usulnya.Oleh karena itu, mereka mengingkari dan menyanggah keyakinan orang-orang selain mereka.

Mereka beranggapan, “hanya merekalah yang berada dalam jalan kebenaran dan selain mereka telah terjerumus dalam kesesatan.” Hal ini adalah salah satu pijakan atas apa-apa yang kita dengar dari mereka dalam mengafirkan, memusyrikkan, dan menuduhkan hukum-hukum dengan memberikan julukan-julukan dan sifat-sifat yang tidak pantas bagi seorang muslim yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah ta’ala dan bahwa Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam adalah utusan Allah ta’ala.

Misalnya, tuduhan mereka dengan mengatakan kepada orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dengan sebutan ”perusak! dajjal! ahli bid’ah! Bahkan, pada akhirnya mereka mengatakan “musyrik, kafir, dan lainnya. Sungguh, sangat sering kita dengar dari orang-orang yang mengaku berakidah, mereka membabi buta mengucapkan kata-kata keji di atas.

Bahkan, sebagian dari mereka menuduh orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka dengan berkata, ”Wahai orang yang mengajak kepada kemusyrikan dan kesesatan di zaman ini. Waha pembaharu agama, Amr bin Luhai!”Begitulah, sering kita dengar mereka melontarkan hinaan dan ejekan yang tidak sepantasnya terlontar dari mulut seorang pelajar apalagi dari mulut seorang ahli ilmu yang seyogyanya memilih cara-cara terbaik dalam berdakwah dan bersopan santun dalam berdiskusi.

Kemudian setelah itu, mereka mengaku pengikut Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka menjadikan beliau sebagai pintu atas segala perilaku mereka, sandaran hukum bagi pendapat mereka, dan mengajak manusia seraya menakut-nakuti mereka dengan berlindung pada nama besar beliau.

Dalam kesempatan ini akan saya paparkan perkataan Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab yang membebaskan dirinya dari orang-orang yang mengaku sebagai pengikutnya. Mereka melakukan segala kehendak mereka dengan berlindung kepada beliau. Mereka membunuh siapa saja yang mereka kehendaki dengan menggunakan tajamnya pedang beliau.

Mereka mengafirkan siapa saja yang mereka kehendaki dengan bersandar pada fatwa beliau. Mereka membagi segolongan manusia di surga dan sebagian yang lain di neraka hanya menurut pendapat mereka.Al Imam Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata dalam suratnya yang dikirim kepada orang-orang al Qashim:”Telah kalian ketahui bahwasanya aku mendengar Sulaiman bin Suhaim telah mengirim surat kepada kalian.

Bahkan, kalangan orang-orang berilmu di daerah kalian menerima dan membenarkan isi surat itu. Sungguh, Allah Maha Mengetahui bahwasannya orang itu (Sulaiman bin Suhaim) telah berbohong mengatasnamakan aku dalam beberapa perkara yang aku tidak pernah mengucapkannya. Bahkan, tidak pernah terlintas dalam hatiku.

Di antara isi surat itu yang dia tulis bahwa aku mengingkari kitab-kitab empat madzhab yang ada dan aku berkata, ‘sesungguhnya manusia selama 600 tahun telah hidup dalam keadaan sia-sia dan bahwa aku mengaku sebagai mujtahid, aku tidak bertaqlid, dan aku berkata bahwa perbedaan pendapat di antara para ulama adalah bencana dan bahwa aku mengafirkan orang-orang yang bertawasul dengan orang sholeh, dan bahwa aku mengafirkan al Bushiri karena dia berkata, ‘Wahai makhluk termulia!’ Dan bahwa aku berkata, ‘andai aku mampu menghancurkan kubah Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam, niscaya akan aku hancurkan dan andai aku mampu, aku akan mengambil talang emas ka’bah dan aku ganti dengan talang kayu, dan aku mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam dan aku mengingkari ziarah kepada kedua orang tua dan lainnya, dan aku bersumpah dengan selain nama Allah ta’ala dan aku mengafirkan Ibnu al Faridl dan Ibnu ‘Arobiy, dan aku membakar kitab Dalailul Khoirot dan kitab Roudur Royyahin dan menamainya Roudus Syaithan.

Aku jawab semua masalah ini seraya aku katakan, ”Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang besar dan sebelumnya telah ada orang yang mendustakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, juga ada orang yang telah menghina Isa bin Maryam dan orang-orang sholeh sehingga hati mereka menjadi serupa dalam kedustaan dan kebohongan. Allah ta’ala berfirman: إِِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ بِآيَاتِ اللهِ ”Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah dan mereka itulah orang-orang pendusta.”(Q.S. An Nahl:105)Mereka semua telah mendustakan Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam bahwa para malaikat, Isa, dan Uzair akan masuk neraka. Maka Allah swt menjawab perkataan mereka dengan firman-Nya: إِنَّ الَّذِيْنَ سَبَقَتْ لَهُمُ ِّمنَّا الْحُسْنَى أُولئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُوْنَ ”Sesungguhnya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.” (Q.S. Al Anbiya’: 101) Surat Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab lainnya: Surat ini dikirim oleh Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada as Suwaidi, seorang ulama di Iraq, sebagai jawaban dari surat as Suwaidi kepadanya. Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam suratnya berkata: “Sungguh, menyebarkan kebohongan adalah hal yang memalukan bagi orang yang berakal apalagi mengadakan kebohongan. Adapun yang Anda katakan bahwasanya aku mengafirkan segenap manusia kecuali pengikutku sungguh mengherankan. Bagaimana hal ini bisa terpikirkan oleh orang yang berakal? Apakah pantas seorang muslim berkata demikian? Adapun yang Anda katakan bahwa aku berkata, ’Andai aku mampu menghancurkan kubah Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam, niscaya akan aku hancurkan. Juga tentang Kitab Dalailul Khairot, bahwa aku melarang untuk bersholawat kepada Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam. Hal itu semua adalah dusta belaka dan seorang muslim tidak akan berkeyakinan adanya hal yang lebih mulia dari pada kitab Allah (al Qur’an). ”Sumbang Saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani dalam Dialog Nasional II di Mekkah, Ahad, tanggal 5 Dzulqo’dah 1424 H Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salam sejahtera semoga selalu tercurah kepada Rasul termulia, Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, keluarga, serta segenap sahabatnya. Amma ba’du. Sesungguhnya saya tidak ingin memperpanjang pembahasan tentang “melampaui batas dalam beragama” karena pembahasan ini telah dibicarakan oleh saudara-saudara kita sebelumnya (semoga Allah memberkahi mereka). Hanya saja, saya ingin menambah sedikit pendapat dari salah seorang saudara kita yang membahas tentang sebab-sebab ghuluw (keterlaluan dalam beragama). Mungkin bisa ditambahkan dalam pembahasan itu bahwasanya dari penyebab ghuluw yang bisa kita rasakan adalah kedangkalan dalam memahami agama. Kedangkalan pemahaman inilah yang menjadikan seseorang gegabah mengingkari hal-hal yang tidak dia ketahui karena setiap orang akan membenci apa yang tidak diketahui. Guru-guru kita, di antaranya, Imam Alawi al Maliki telah menyebutkan bahwa manakala seorang siswa lebih mendalami pemahaman dalam beragama niscaya dia tidak akan banyak mengingkari banyaknya masalah dan kasus-kasus yang terjadi . Hal itu karena dia mengerti tentang perbedaan pendapat para ulama.Beberapa saudara kita dalam presentasinya membahas fanatisme terhadap satu madzhab atau seorang imam. Sebenarnya, fanatisme terhadap satu madzhab atau seorang imam itu muncul akibat dangkalnya pemahaman ilmu fiqih. Telah kita ketahui bersama bahwa asas/dasar dari dialog dan diskusi ulama terdahulu adalah ucapan salah seorang dari mereka. Sesungguhnya pendapatku itu benar. Akan tetapi, ada kemungkinan salah. Pendapat orang lain menurutku salah. Akan tetapi, ada kemungkinan benar.Adapun mengingkari pendapat orang lain dan menyalahkannya, selagi tidak sependapat dengannya, hal itu termasuk penyakit yang besar khususnya masa dewasa ini. Tidak bisa dipungkiri bahwa hal itu mengakibatkan kerusakan dan marabahaya karena hal itu akan mendorong pelakunya untuk mengingkari dan menyanggah pendapat orang selainnya. Mereka menganggap diri merekalah yang benar dan orang lain telah terjerumus dalam kesesatan. Anggapan inilah yang mereka jadikan pijakan atas perilaku mereka dalam mengafirkan, memusyrikkan, dan memberi julukan kepada seorang muslim dengan julukan yang tidak sepantasnya. Misalnya, mereka menjuluki orang yang berbeda pendapat dengan mereka sebagai perusak, dajjal, tukang sulap, ahli bid’ah, bahkan syirik dan kafir.Sungguh, telah banyak kita mendengar dari orang-orang yang mengaku berakidah mengucapkan julukan-julukan ini secara membabi buta. Bahkan, sebagian dari mereka menambahkan dengan perkataan, ‘Wahai penganjur kepada kemusyrikan, penganjur kepada kesesatan, pembaharu agama Abu Lahab, dan lain-lain.’ Begitulah kita sering mendengar celaan dan ejekan dari mereka, semacam kata-kata dan julukan yang tidak sepantasnya terlontar dari mulut seorang siswa, apalagi dari seorang ahli ilmu yang seyogyanya dia memilih cara terbaik dalam berdakwah dan bersopan santun dalam diskusi.Kemudian setelah itu mereka mengaku sebagai pengikut Imam al Mujahid, Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab. Mereka menjadikan beliau sebagai pintu atas segala perilaku mereka, sebagai sandaran hukum atas pola pikir mereka. Kemudian mereka melabeli pola pikir itu dengan nama besar beliau dan menakuti-nakuti segenap manusia dengan berlindung di bawah pedangnya. Sangat banyak fatwa dari Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab (yang tidak bisa saya paparkan pada kesempatan yang sedikit ini tentang sanggahan beliau terhadap golongan yang melakukan segala perilaku tersebut dengan berlindung kepada beliau, dan membunuh siapa saja yang dia kehendaki dengan ketajaman pedang beliau, serta mengafirkan siapa saja yang mereka kehendaki dengan bersandar kepada fatwa beliau.Fatwa beliau yang berisi pembebasan diri beliau dari suatu hal yang disandarkan kepada beliau bahwa beliau mengafirkan orang yang bertawasul. Fatwa tersebut sangat panjang. Saya tidak berkenan untuk membahasnya panjang lebar. Fatwa itu ada dan bisa dilihat di dalam kitab-kitab karangan beliau yang telah dicetak dan disebarkan oleh dosen-dosen Universitas Islam Muhammad bin Saud semester lima.Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata di dalam surat yang beliau kirimkan kepada penduduk al Qashim, “Allah ta’ala Maha Mengetahui bahwa laki-laki itu (Sulaiman bin Suhaim) telah berdusta atas namaku dengan beberapa perkara yang sama sekali tidak pernah aku katakan bahkan tidak pernah terlintas dalam hatiku. Di antaranya dia berkata bahwa aku mengingkari kitab-kitab empat madzhab yang ada dan bahwa aku berkata, ‘Sesungguhnya segenap manusia selama 600 tahun hidup dalam kesia-siaan dan bahwa aku mengaku sebagai mujtahid dan bahwa aku tidak bertaqlid dan bahwa aku berkata bahwa perbedaan pendapat para ulama adalah bencana dan bahwa aku mengafirkan orang yang bertawasul dengan orang-orang sholeh dan bahwa aku mengafirkan al Bushiri karena perkataannya ‘wahai makhluk termulia’ dan bahwa aku berkata, ‘andai aku mampu menghancurkan kubah rasul, niscaya aku akan menghancurkannya. Andai aku mampu, niscaya aku ambil talang emas ka’bah dan aku ganti dengan talang dari kayu dan bahwa aku mengharamkan ziarah ke makam Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam ….sampai perkataan beliau…. Jawabanku atas semua masalah ini, aku berkata, “Maha Suci Engkau ya Allah, ini adalah kedustaan yang besar). Fatwa ini dan fatwa-fatwa semisalnya sangat banyak tertulis di dalam kitab-kitab beliau. Kemudian aku ingin menutup keikutsertaanku dalam hal ini dengan beberapa saran tentang apa yang telah disampaikan oleh Saudara Syekh Dr. Abdurrahman bin Ma’la al Wahidi yang mengungkapkan bahwa keterlaluan dalam beragama terkadang terjadi di dalam amal perbuatan dan terkadang terjadi di dalam akidah. Menurut pendapat saya, bahwasanya pada masa kehidupan Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam sama sekali tidak terjadi ghuluw dalam berakidah yang memunculkan pengafiran, pemusyrikan, dan penyesatan kepada orang yang tidak sepaham. Hanya saja terjadi pada beberapa sahabat. Mereka berlebihan dalam beribadah. Sebagian mereka mewajibkan atas diri mereka sholat malam, sebagian lainnya mewajibkan atas dirinya berpuasa setahun penuh, sebagian yang lain tidak mau menikah selamanya. Ghuluw semacam inilah yang nampak di kala itu. Namun, ketika Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam mendengar hal itu, beliau segera mengingkarinya, kemudian mematikan dan menyingkirkan hal-hal tersebut pada waktu itu juga.Syekh al Luwaihiqi juga berpendapat bahwa pelaku-pelaku ghuluw bukanlah anggota dari suatu yayasan atau lembaga pemerintah. Menurut pendapat saya, bahkan sebenarnya yang terjadi adalah bahwa ghuluw banyak terjadi di dalam lembaga-lembaga pendidikan.Hal ini adalah akibat dari materi-materi pelajaran dan hasil dari himbauan-himbauan dalam masalah ini. Beliau juga membahas tentang masalah kurikulum. Beliau mengatakan bahwa kami tidak melihat orang-orang yang fanatik dalam bermadzhab, mengambil dalil dari kurikulum yang telah ada. Saya berpendapat bahwa walaupun mereka tidak berpegang pada kurikulum yang ada, atas apa yang telah mereka lakukan, dari bom bunuh diri, perusakan, pembangkangan, dan pengafiran. Akan tetapi, mereka sangat banyak mendapatkan pemahaman-pemahaman itu dan buku-buku kebudayaan dan kitab-kitab tauhid. Hal ini sudah bukan rahasia lagi.Yang mulia, Syekh Aidh al Qorni --semoga Allah ta’ala memberkahinya-- berpendapat bahwa sudah seharusnya didirikan satu panitia khusus untuk mempelajari materi beberapa kitab yang hendaknya dikaji ulang dan dikoreksi kebenarannya, di antaranya kitab ad Duror as Saniyyah. Sungguh, aku sepakat dengannya dan aku mendukung permintaan ini, dan aku berpendapat bahwa bukan hanya kitab ad Duror as Saniyyah saja, tetapi kurikulum pelajaran tauhid di jenjang SD, SMP, dan SMA sudah seharusnya untuk dikoreksi, dibersihkan, dan dikaji ulang. Kurikulum yang ada sangat berlebihan karena membahas banyaknya kelompok-kelompok Islam dan perbedaan-perbedaan madzhab yang tersebar. Padahal, datang kepada kita ratusan ribu dari kelompok dan madzhab itu untuk berhaji. Kita berhadapan dengan mereka, melihat mereka sholat dan thowaf di ka’bah. Mereka bersama kita dan di hadapan kita, namun mereka dihukumi musyrik dengan hanya bertumpu pada kurikulum yang telah ada ini. Saya tidak ingin menyebutkan satu per satu nama mereka karena kalian lebih mengetahuinya.Yang mulia, Syekh Abdurrahman Ma’la, di halaman kedua menyebutkan tanda-tanda ghuluw dewasa ini. Beliau menyebutkan bahwa di antara tanda-tanda ghuluw adalah pengafiran para hakim, pengafiran orang-orang tertentu, dan pengafiran orang yang tidak mengafirkan orang kafir. Hal ini (pengafiran orang yang tidak mengafirkan orang kafir) adalah salah satu masalah yang dibahas dalam kitab tauhid di sekolah-sekolah. Begitu juga tentang pengafiran sebagian golongan umat Islam yang tidak sefaham dalam masalah-masalah ilmiah. Sekian, hanya Allah-lah pemberi taufiq dan semoga kalian tetap dalam lindungan Allah ta’ala. Sumbang Saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani pada Dialog Nasional II di Makkah al Mukarromah, Senin 6 Dzulhijjah 1424 H Bismillaahirrohmaanirrohiim.Ini adalah sedikit sumbang saran dan sedikit tambahan pada apa yang dikemukakan oleh saudara Dr. Thoriq Habib. Beliau menyampaikan bahwa beberapa pemuda yang dianggap ekstrem dan keterlaluan dalam beragama telah mengajak dan menuntut untuk diadakan dialog. Mereka juga telah mendatangi para ulama namun mereka ditolak.Bahasan yang disampaikan beliau ini menjadi api fitnah yang mengenai saudara-saudara kita yang disifati dengan pengafiran (keluar dari agamanya). Namun, apalah daya, mereka adalah orang-orang lemah dan miskin, tidak mempunyai kekuatan untuk menggerakkan pena mereka, tidak mempunyai gelombang-gelombang suara yang bisa didengar dan tidak mempunyai acara-acara yang dapat menyiarkan pendapat-pendapat mereka sehingga mereka pun ditindas dan didholimi. Mereka juga pergi dan hilang tersia-sia, padahal di sisi lain, pihak-pihak yang menentang mereka bebas beraktivitas sekehendak mereka.Hal itu karena pintu-pintu telah ditutup, tempat-tempat telah dibatasi, dan daerah-daerah telah diblokir dengan kekuasaan yang tidak bisa diubah. Mereka dijauhkan dari majalah-majalah ilmiah, tidak diperkenankan untuk melakukan kegiatan keilmuan dan dilarang untuk mengarang. Meskipun terkadang hal itu diperbolehkan, akan tetapi tidak diperkenankan untuk menjalin hubungan dengan media atau mengikuti seminar-seminar keilmuan dan keislaman.Sekitar dua puluh tahun yang lalu, saya pernah diundang untuk Dialog Nasional tahunan di negara kita ini. Beberapa orang teraniaya dan terdholimi juga pernah diundang untuk berdiskusi dan berdialog beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi, mereka tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan isi hati mereka. Sungguh saya berharap, dialog ini awal dari segala kebaikan, mencairkan kebekuan, menghilangkan perasaan yang membedakan satu dengan yang lainnya sebagai penyebab terjadinya perbedaan dan fanatisme. Allah ta’ala Maha Pemberi taufiq. Sebenarnya, al Ustadz Qosim sangat bagus dan banyak memberi faedah dalam bahasan beliau yang mendalam dan luas. Namun, seyogyanya lebih diperhatikan lagi hal yang beliau sampaikan tentang kurikulum pelajaran yang banyak memberi pengaruh kepada pola pikir siswa. Mereka disibukkan dengan materi-materi mendalam yang berkisar tentang perbedaan-perbedaan ilmu kalam antara Mu’tazilah dan al Asy’ariyah. Saya ingin menambahkan maklumat yang mungkin sudah tidak asing lagi. Hanya saja, saya ingin mengungkapkannya dalam kesempatan ini, yaitu sebenarnya hal tersebut tidak hanya sebatas menyibukkan para siswa dalam pelajaran itu saja. Akan tetapi, lebih dari itu kurikulum yang ada mendorong siswa untuk menghukumi orang-orang dengan julukan syirik dan keluar dari agama. Bahkan, menempatkan mereka dalam daftar orang-orang yang sesat sehingga akan memberi kesempatan kepada beberapa pengajar di luar jam pelajaran untuk lebih mendalami pertentangan dan mengorbankan api permusuhan antara anak-anak negeri yang bersatu ini.Kami tidak ingin untuk menerangkan hakikat madzhab atau pendapat ini. Hanya saja, saya ingin mengingatkan kalian bahwa Syekh Islam Ibnu Taimiyah adalah seorang yang netral ketika menyebutkan tentang Asy’ariyah. Beliau menyebutkan beberapa sifat baik mereka di dalam beberapa kitab karangan beliau walaupun beliau berbeda pendapat dengan mereka dalam beberapa perkara. Disebutkan dalam kitab al Fatawa tentang Asy’ariyah: العُلَمَاءُ أَنْصَارُ فُرُوْعِ الدِّيْنِ وَالأَشْعَرِيَّةُ أَنْصَارُ أُصُوْلِ الدِّيْنِ“Para ulama adalah penolong cabang-cabang agama dan Asy’ariyah adalah penolong dasar-dasar agam.” (al Fatawa Juz IV:16) Saya tambahkan bahwasanya silet ini juga telah menyayat beberapa golongan umat Islam dan madzhab-madzhab, misalnya, al Maturidiyah, Syiah, al Ibadhiyah, dan as Sufiyah secara umum dan meluas tanpa adanya batasan yang mengikat ataupun pengecualian. Kitab-kitab yang ditetapkan untuk materi tauhid kelas tiga SMA dan kelas-kelas sebelumnya, berisi tentang pengafiran dan pemusyrikan beberapa golongan umat Islam. Bukannya kami membenarkan mereka, karena sesungguhnya pendapat kita semua boleh diterima ataupun ditolak. Hanya saja, kami mengingkari penyerangan terhadap satu golongan dengan menghukumi mereka syirik dan kafir dengan hanya bersandar kepada fanatisme madzhab.Saya ingin bertanya kepada saudara-saudara kami yang sering melontarkan hukum-hukum dan julukan-julukan ini. Berapa banyak lagi orang muslim yang akan hilang (keluar dari agama mereka) menurut mereka? Dan berapa banyak lagi jaringan cinta kasih islami yang akan terputus antara umat Islam yang bersaksi bahwa tiada Tuhan yang hak disembah selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, akibat hukum mereka yang keterlaluan ini? Maka hendaknya kita mengoreksi kembali hubungan kita dengan saudara-saudara kita.Catatan Dr. Yusuf al GhonifaisDr. Yusuf al Ghonifais berkata dalam sumbang sarannya:Sesungguhnya apa yang disebutkan oleh Dr. Muhammad al Maliki, sebenarnya bukanlah perkataan Syekh Islam Ibnu Taimiyah. Akan tetapi, perkataan Abu Muhammad al Juwaini sebagaimana disebutkan oleh Syekh Ibnu Taimiyah dua halaman sebelumnya.Sumbang saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani setelah presentasi yang disampaikan Syekh al Ghoni, Senin, 6 Dzulqo’dah 1424 H.Saya ingin mengukuhkan pendapat Dr. Al Ghodami dalam paparan beliau mengatakan bahwa kurikulum pelajaran yang ditetapkan dahulu untuk jenjang SD, SMP, dan SMA sudah memenuhi standar, mudah, dan cepat dipahami oleh para siswa. Kurikulum tersebut cocok bagi umur dan kelas-kelas mereka serta tidak membuahkan hal-hal negatif seperti yang kita lihat sekarang ini. Ustadz Abdul Maqsud Khowjah menyebutkan bahwasanya dia dan teman-temannya telah belajar di sekolah al Falah, di masjidil Haram dan di masjid Nabawi. Di tempat-tempat itu banyak pemuka-pemuka ulama, di antaranya Sayyid Alawi Al-Maliki, Sayyid Amin al Quthbi, Sayyid Ishaq Aziz, Syekh Hasan al Masath, Syekh Muhammad Nur Saif, Syekh Hasan Yamani, Syekh al Arobi at Tabani, serta Syekh Yahya Aman. Mereka semua adalah alumni dari kurikulum terdahulu. Mereka juga mengajarkan kurikulum itu. Tidak ada seorang pun dari mereka yang melampaui batas, ekstremis, ataupun teroris. Bahkan, mereka adalah para imam ahlus sunnah wal jama’ah dan para pemuka ulama. Namun, beberapa orang yang fanatik kepada satu golongan berkata, ”Sayang sekali mereka Asy’ariyah.” Perkataan ini sungguh sangat disayangkan. Akan tetapi, yang terpenting adalah bahwa tuan raja Abdul Aziz yang sezaman dengan beliau-beliau, mereka saling berhubungan. Beliau juga menggali manfaat dari diri, ilmu, semangat, dan aktivitas mereka. Bahkan, beliau mengangkat mereka sebagai para hakim, imam, dan khotib. Maka mereka pun memenuhi serambi masjidil Haram, halaqoh-halaqoh ilmu mereka juga memenuhi mahkamah syariat, khususnya di Mekkah dan Madinah. Di antara mereka juga mengajar di sekolah-sekolah agama. Ketika itu Mahkamah Syariat dan lembaga-lembaga pemerintah hanya dijabat oleh para ulama yang sangat disayangkan mereka dituduh dengan perkataan, ”sayang sekali mereka Asy’ariyah.”Mahkamah Syariat ketika itu dijabat oleh Syekh Hasan al Masath, Syekh Yahya Amman, Syekh Ahmad Nadhirin, Sayyid Abu Bakar al Habsy, Sayyid Hamzah al Marzuki, Syekh Hasan Said Yamani, dan beberapa tokoh besar yang tidak sempat kita temui. Akan tetapi, nama-nama mereka kita kenal dan tertulis dalam sejarah. Sumbang Saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani, Selasa, 7 Dzulqa’dah 1424 H. BismillaahirrohmanirrohiimSegala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salam sejahtera semoga tercurah kepada baginda Nabi besar, Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, keluarganya, serta para sahabatnya. Adapun tentang catatan yang disampaikan Saudara Syekh Dr. Yusuf kemarin (malam Senin) tentang apa yang saya sampaikan dari Syekh Islam Ibnu Taimiyah tentang orang-orang Asy’ariyah dan bahwa pendapat itu bukan pendapat beliau, melainkan pendapat yang beliau nukil dari Syekh al Faqih Abu Muhammad di dalam kitab Fatawa. Saya jawab bahwa apa yang disampaikan beliau itu benar dari sisi penyandaran pendapat dan saya berterima kasih kepadanya. Akan tetapi, saya ingin untuk mengokohkan pendapat saya tentang Asy’ariyah dari dua sisi. Pertama, bahwasanya Syekh Ibnu Taimiyah sependapat dengan fatwa Abu Muhammad ini. Syekh Dr. Yusuf pun tahu hal itu dari perkataannya (di dalam kitab Fatawa banyak hal-hal baik di samping fatwa-fatwa yang disampaikan beliau di dalamnya) Menurut saya, perkataan Syekh Yusuf di dalam kitab Fatawa banyak hal baik.Termasuk hal itu adalah pendapat Syekh Abu Muhammad tentang Asy’ariyah yang dinukil oleh Syekh Ibnu Taimiyah. Pada masa itu golongan Asy’ariyah tidaklah menunggu pendapat Syekh Ibnu Taimiyah, baik pencemaran ataupun pembelaan kepada mereka. Mereka semua adalah para imam yang mulia, semoga Allah meridhoi mereka. Kedua, bahwasanya pembahasan kita adalah tentang ”pengafiran, menghukumi dengan kesesatan, dan penentuan golongan sesat.” Menurut pendapat Syekh Ibnu Taimiyah dan saya pahami dari pendapat beliau bahwa beliau tidak berpendapat demikian (sesatnya asy’ariyah).Pada kasus pengafiran dan menghukumi sesat aliran Asy’ariyah dan aliran-aliran lainnya, menjerumuskan kita kepada menghukumi ulama-ulama terkemuka, misalnya, al Hafidz Ibnu Hajar, pengarang kitab Fathul Baari, Imam Nawawi, Syekh al Qurthubi, Syekh Islam Zakaria al Anshori, dan lain-lain. Hadirin yang mulia. Sungguh tidak akan terjadi keselarasan dan persatuan antara aliran dan golongan selagi mereka saling mengafirkan satu dengan yang lainnya atau saling menganggap sesat satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, aku mengajak dengan segala kekuatan yang ada seraya aku sarankan bahwa kurikulum kitab tauhid yang telah ditentukan untuk jenjang sekolah harus diganti. Kata-kata, hukum-hukum yang menyimpang, ungkapan-ungkapan umum yang mencerai-beraikan barisan umat Islam dan menghancurkan persatuan mereka, harus dibuang jauh-jauh karena kalau tidak, maka diskusi ini tidak ada manfaatnya.Saudara-saudara, sesungguhnya kita semua berkumpul di sini bukan untuk memperdebatkan satu aliran tertentu ataupun mengoreksi pendapat-pendapat mereka. Di sini bukanlah tempatnya dan bukan waktunya, dan juga kebanyakan saudara-saudara yang hadir bukanlah seorang spesialis tentang bagian parsial dalam aliran-aliran. Adapun yang menjadi keputusan yang dikokohkan di sini adalah kita semua mengharapkan dialog ini mencetuskan di dalam keputusannya tentang pelurusan kasus pengafiran, pemurtadan, dan penyesatan terhadap aliran-aliran Asy’ariyah dan aliran-aliran lainnya.Saya ingin untuk mengakhiri bahasan ini dengan pendapat saya bahwa filterisasi, pembersihan, pembenaran, penggantian, pelurusan, koreksi ulang, saling memahami dan berdialog hendaknya menjadi tuntutan semua pihak: Sufiyah, Asy’ariyah, Salafiyah, dan aliran-aliran lainnya. Dasar pijakannya adalah bahwa segala metodologi pemikiran agama ataupun ilmiah yang berupa cabang-cabang yang bersifat ijtihadiyah harus bisa dikoreksi ulang untuk penyempurnaan, penggantian, dan perubahan dan setiap diri kita sebagaimana dikatakan oleh Imam Malik, ”Boleh diterima atau ditolak pendapatnya kecuali Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam.”Sebagian besar saudara muslim kita yang dikenal sebagai kaum sufi dan merasa mulia serta bangga dengan menisbatkan diri kepada tasawwuf, mereka adalah kaum sufi yang benar menurut syariat. Mereka berpijak kepada maqom ihsan yang disebutkan dalam sabda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, ”Hendaknya kamu menyembah kepada Allah, seakan-akan kamu melihatnya.” (Al-Hadits)Segenap kaum muslimin menunggu dan menuntut dari kalian untuk menelaah kembali kurikulum pelajaran kita, menggantinya, meluruskannya, dan membenarkannya dengan apa-apa yang cocok dengan kebenaran situasi dan kondisi dan juga dengan apa-apa yang mendukung persatuan nasional yang dihimpun oleh kerajaan yang bersatu. Kerajaan yang diasuh oleh pemerintahan yang satu, melihat segenap rakyat, tidak ada pilih kasih, menganggap semuanya sebagai anak, memberikan segala hak-hak mereka, memberikan kesetaraan dalam kasih sayang, cinta, hak-hak, dan kewajiban seraya mereka semua berseru, ”Bertakwalah kalian semua kepada Allah dan berbuat adillah kepada anak-anak kalian.”Akhirnya, saya berharap dialog ini memberikan izin resmi kepada beberapa sekolah tua yang telah mengorbitkan ulama-ulama besar dahulu untuk mengajarkan kurikulum terdahulu yang dengan kurikulum itu telah tercetak para ulama terkemuka semenjak 100 tahun yang lalu, misalnya, Madrasah Shoulatiyah yang telah berdiri sejak 120 tahun yang lalu.Sekolah ini telah mempunyai kurikulum yang bersandar pada kitab-kitab yang dispesialisasikan pembahasannya, misalnya, Kitab Shohih al Bukhari, Muslim, AlFiyah, Qotrunnada, Jam’ul Jawami’, Allub, Tafsir Jalalain dan kitab-kitab peninggalan ulama terdahulu lainnya. Kitab-kitab tersebut adalah dasar ilmu kita dan pilar-pilar kurikulum kita dahulu, maka seyogyanya orang-orang yang menguasainya dari pelajar-pelajar kita tidak ditiadakan walaupun hanya satu persen.Hal ini tidak menghambat perkembangan ilmu pengetahuan karena timbul dari sisi keterbukaan pengetahuan dan keluasan kurikulum pendidikan serta keluwesan dalam proses belajar-mengajar dengan bermacam-macam kurikulum dan bermacam-macam perasaan yang ada.Di satu sisi, ini adalah kurikulum peninggalan ulama sebagai pondasi awal kemudian dilanjutkan dengan sisi lain yaitu kurikulum yang telah berkembang dan secara umum telah tersebar di dalam seluruh lingkup pembelajaran, di luar negeri , di negara barat, maupun negara timur, seperti India, Pakistan, Indonesia, dan Malaysia. Di semua negara ini terdapat sekolah-sekolah umum pemerintah dan juga sekolah-sekolah yang mempunyai kurikulum terdahulu peninggalan para ulama. Kalau Anda sekalian meminta saya untuk menyebutkan nama dan tempatnya, saya sudah siap untuk menyebutkannya. Demikianlah, Allah ta’ala Maha Pemberi taufik. Sumbang Saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani, Selasa, 7 Dzulqa’dah 1424 H.Bismillaahirrohmaanirrohiim.Segala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salam sejahtera semoga selalu tercurah kepada rasul termulia, baginda Nabi Besar Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, keluarganya, serta para sahabatnya sekalian.Pertama-tama saya ucapkan terima kasih kepada saudara-saudara yang ikut andil dengan kerja keras untuk menyukseskan dialog nasional ini. Sesungguhnya, termasuk dari hasil dialog ini adalah hancurnya jembatan yang memisahkan antara kita dengan saudara-saudara kita. Alhamdulillah, jembatan itu telah hancur dan dialog ini berjalan dengan sukses, penuh dengan rasa cinta dan kasih sayang. Kita semua memohon kepada Allah untuk selalu melanggengkan ini semua dan menganugerahkan kepada kita buah-buahnya yang manis.Semua paparan yang telah disampaikan sudah sangat bagus, istimewa, dan patut untuk diperhatikan. Akan tetapi, saya ingin mengungkapkan beberapa peringatan dan pengamatan. Saya mengingatkan bahwa dalam beberapa paparan yang kita dengar, telah digunakan kata “pengembangan kurikulum”. Menurut saya, kata pengembangan sama sekali tidak bisa digunakan, karena kata “pengembangan” tidak menuntut adanya perubahan sebagaimana yang telah menjadi tuntutan kita. Kita menuntut adanya perubahan dalam kurikulum, bukan hanya pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum adalah target lain dan diperlukan pada waktu yang lain. Adapun tuntutan kita adalah perubahan kurikulum khususnya kurikulum pelajaran tauhid di jenjang sekolah-sekolah yang mengandung pemberian hukum kafir, syirik, dan sesat kepada beberapa aliran dan madzhab yang tumbuh di antara kita dan kita pun hidup bersama pengikut-pengikutnya.Adapun pengamatan yang akan saya sampaikan ini tidak ada kepentingannya untuk pribadi saya.

Pertama, hendaknya dikaji ulang tentang keadaan beberapa dosen yang mempunyai gelar doktor dalam spesialis keilmuan seperti ilmu hadits, tafsir, dan akidah. Beberapa dari mereka telah diberhentikan dari mengajar dan dipindahkan pada pekerjaan perkantoran hanya karena adanya perbedaan pendapat dan perbedaan madzhab yang masih berada dalam koridor Islam.

Ada beberapa dosen yang bertitel doktor, sebenarnya saya tidak mau untuk menyebutkan nama mereka. Hanya saja bahasan ini mengharuskan saya untuk melakukan hal itu. Nama mereka telah sama-sama kita kenal. Oleh karena itu, saya harapkan panitia dialog ini untuk mengambil nama-nama ini dan menilik kembali. Nama-nama ini sudah saya persiapkan. Kedua, saya ingin mengukuhkan hendaknya dialog ini memutuskan bagi Universitas Syariah khususnya, Fakultas Hukum dan Mahkamah Agung untuk memilih beberapa siswa dari setiap daerah untuk belajar di Fakultas Hukum sehingga setelah mereka lulus, bisa menjadi hakim di daerah mereka masing-masing. Apa yang saya sampaikan ini bukan karena fanatisme atau mengharap keuntungan pribadi. Saya bukanlah orang ahli dalam hal ini. Hal itu hanya untuk membantu mewujudkan kepercayaan dan ketenangan antara para hakim, pegawai pengadilan, dan masyarakat. Kalau kita lihat, misalnya ke pengadilan kota Mekkah atau pengadilan kota Madinah, berapa jumlah hakim dan pegawai pengadilan dari putra daerah dari penduduk Mekkah dan Madinah. Tidak akan kita temukan walaupun satu persen saja. Pengetahuan seorang hakim tentang suatu negeri, juga tentang kehidupan dan kebiasaan penduduknya akan membantu dalam penerapan keadilan. Banyak hadits yang menunjukkan bahwasanya apabila suatu kaum masuk Islam, maka Rasulullah Shollallahu Alaihi Wasallam akan mengangkat salah seorang di antara mereka sebagai pemimpin mereka.Begitu juga saya mengharapkan untuk ditinjau kembali tentang masalah peninggalan-peninggalan Islam, khususnya yang berkenaan dengan kota Mekkah dan Madinah yang menjadi perhatian dunia. Banyak peninggalan Islam yang ada dan dikenal yang seyogyanya harus dijaga, diperhatikan, dan tidak dihancurkan atau dihilangkan. Inilah beberapa hal yang hendaknya kita perhatikan bersama, terima kasih.Sumbang Saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani tentang kegiatan kesiswaanYang mulia, al Ustadz Qosim tidak memaparkan apa saja yang biasanya dilakukan dalam kegiatan siswa pada liburan musim panas ataupun training-training yang berisikan pengarahan-pengarahan kepada pemikiran-pemikiran tertentu, seakan-akan kegiatan tersebut adalah pembentukan kamp-kamp yang bertujuan untuk menyiapkan pemuda-pemuda penyerang yang otak-otak mereka telah dipenuhi dengan berbagai perbedaan pemikiran dan madzhab.Saudara Abu Tholib telah menyampaikan masalah-masalah ini dalam paparannya. Hendaknya kita semua mengetahui materi apa saja yang disampaikan dalam kegiatan training di kamp-kamp ini? Seorang pemuda lebih baik tinggal di rumahnya daripada ikut serta di kamp-kamp ini. Hal itu dikarenakan adanya kegiatan-kegiatan negatif di kamp-kamp ini. Semua ini bisa kita saksikan dari anak-anak kita setelah kepulangan mereka dari kamp-kamp ini.Tidak bisa kita abaikan juga tentang beberapa perlengkapan yang dibagikan di kamp-kamp tersebut, semisal beberapa kaset, buku panduan, makalah, dan fatwa-fatwa yang penuh dengan propaganda, penyerangan, pembantahan, dan protes kepada para ulama. Bahkan, pemberian julukan kepada mereka dengan ahli bid’ah, ahli tahayyul, dan orang-orang sesat. Tidak ada daya dan upaya melainkan atas pertolongan Allah, Dzat Yang Maha Mulia dan Maha Agung.Sumbang Saran Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki al Hasani mengomentari saran dari Dr. Aidh al Qorni tentang perlunya pembentukan panitia pengawas terhadap buku-buku keilmuan dan di antaranya adalah Durarus Saniyyah Dalam pertemuan yang lain, beliau (Dr. Aidh al Qorni) mengumumkan bahwa beliau mencabut kembali usulan beliau ini, maka Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki mengomentarinya dengan perkataan beliau, “Saya menuntut dialog ini untuk memutuskan perubahan beberapa kurikulum. Saya juga menuntut sebagaimana yang diminta oleh Dr. Aidh al Qorni tentang pembentukan panitia untuk mengkaji ulang beberapa buku untuk diluruskan dan diadakan perubahan. Beliau telah membuka pintu tentang permasalahan ini, namun kemudian beliau menutupnya kembali. Hal itu adalah hak beliau. Akan tetapi, kami tetap menuntut hal itu.Kami juga ingin mengukuhkan usulan tentang penghapusan tuduhan syirik, kafir, dan sesat kepada para pengikut beberapa madzhab dan beberapa aliran. Hendaknya ditetapkan kurikulum pelajaran akidah Islam yang bersifat positif tanpa terjerumus kepada pembahasan-pembahasan yang terlalu luas dan membingungkan serta hasil-hasil ijtihad yang terlalu mendalam.Saya juga menambahkan bahwasanya ada beberapa kitab yang diragukan kebenarannya dan penisbatannya kepada sang pengarang, maka hendaknya hal ini menjadi target panitia ini. Setidaknya, kitab-kitab itu tidak lagi disebarkan. Di antara kitab-kitab itu adalah kitab karangan Abdullah bin al Imam Ahmad bin Hanbal yang diberi nama as Sunnah. Disebutkan dalam kitab itu bahwa Abu Hanifah adalah seorang yang sesat. Abdullah, pengarang kitab ini, memasukkan topik ini dalam judul “Apa yang aku ketahui dari ayah dan guru-guruku tentang Abu Hanifah” (Hal 227 --410)Pengoreksi kitab ini, Dr. Muhammad bin Said bin Salim al Qothoni berkata dalam pembukaan kitab ini: Termasuk hal-hal yang bisa dipahami bahwasanya sudah pasti Abu Hanifah mempunyai kesalahan-kesalahan sebagaimana Abdullah juga mempunyai kesalahan-kesalahan. Akan tetapi, kesalahan-kesalahan Abu Hanifah tidak sampai kepada tuduhan-tuduhan yang disebutkan di dalam beberapa bahasan kitab ini. Bahkan, di antara bahasan itu ada yang merusak sendi-sendi agama Islam sedikit demi sedikit.Menurut saya (Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki), pernyataan ini bukanlah legalisasi kesalahan-kesalahan Abu Hanifah. Memang, beliau mempunyai kesalahan-kesalahan yang tidak kita setujui. Akan tetapi, pernyataan ini adalah dalam koridor bahwa beliau mempunyai sisi positif dan juga sisi negatif. Doktor Muhammad bin Salim berkata, “Aku telah mengumpulkan paragraf-paragraf yang salah yang berisikan tentang celaan-celaan dan ternyata sebagian besar diriwayatkan dari orang-orang bodoh atau orang-orang lemah dan disangsikan oleh ulama ahli dan terpercaya. Paragraf itu berjumlah 86 paragraf. Sambutan Spontan yang disampaikan Sayyid Muhammad bin Alawi al Maliki pada pertemuan dengan Tuan Pangeran al Amir Abdullah bin Abdul Aziz As-Saud di Riyadh, pada hari Sabtu 11 Dzulqa’dah 1424 H.Bismillaahir rahmaanir rahiimSegala puji hanya bagi Allah, Tuhan semesta alam. Salam sejahtera semoga selalu tercurah kepada rasul termulia, baginda Nabi Besar Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, keluarganya, beserta segenap sahabatnya. Amma ba’du, Sesungguhnya saya ingin membuka sambutan saya ini dengan sesuatu yang baik, yaitu dengan ayat yang dibacakan saudara kita di awal pertemuan ini yaitu: يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا اتَّقُوا اللهَ وَقُوْلُوْا قَوْلاً سَدِيْدًا“Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian semua kepada Allah dan berkatalah dengan perkataan yang benar. ”Saya menganggap bahwa apa yang Anda tangani ini, wahai Tuan Pangeran Abdullah, adalah langkah mulia yang diberkahi yang untuk pertama kalinya diadakan dalam sejarah negeri kita yang tercinta ini. Pertemuan ini termasuk dalam kategori “berkata benar.” Pertemuan ini adalah pintu untuk “berkata benar” karena kita semua di sini dengan segala anugerah dan rahmat dari Allah, menyaksikan banyaknya buah-buah kemanfaatan yang besar sebagaimana telah dipaparkan sebelum ini oleh yang mulia Syekh Sholeh. Termasuk dari manfaat terbesar yang kita rasakan adalah hancurnya penghalang yang memisahkan antara kita dan saudara-saudara kita yang bahkan mungkin kita tidak akan pernah berkumpul dengan mereka atau melihat mereka, Andai saja tidak ada undangan Anda untuk dialog dan diskusi ini.Dialog ini berkat anugerah Allah ta’ala telah mencairkan kebekuan, menghancurkan pembatas-pembatas yang membawa kepada kecurigaan antara kita dan para pelajar, para pemikir, serta para sastrawan. Semua ini tidak diragukan lagi adalah anugerah Allah dan juga kebaikan Anda. Kemudian berkat anugerah Allah, Anda telah mengulang kembali sejarah negeri kita dengan langkah mulia ini sebagaimana telah dilakukan oleh almarhum Ayah Anda, al Imam al Malik Abdul Aziz yang telah menyatukan kepulauan Arab Saudi dan menghilangkan fanatisme dan sukuisme serta menyatukan segenap manusia. Semua itu berkat anugerah Allah Ta’ala dan berkat tanggung jawab yang beliau emban dalam dakwah Islamiyah.Setelah itu terjadilah apa yang terjadi dari hal-hal yang telah kita saksikan. Kemudian Anda datang untuk mengajak berdialog, berdiskusi, dan saling memahami sehingga menghasilkan kebaikan-kebaikan yang banyak. Niscaya dialog ini akan memberikan kontribusi yang besar dalam menyatukan umat Islam serta menyatukan rakyat dan negeri ini berkat anugerah Allah swt. Saya di pertemuan ini menyampaikan segala apa yang kami rasakan dalam dialog ini yang Anda rintis ini. Kemudian marilah kita semua memohon kepada Allah ta’ala taufiq. Semoga Allah ta’ala membenarkan segala langkah Anda, menunjukkan Anda kepada segala kebaikan serta menjaga negeri ini dari segala kejahatan , musibah, dan bencana.Salam sejahtera semoga senantiasa tercurah kepada baginda Nabi Muhammad Shollallahu Alaihi Wasallam, keluarganya, serta segenap para sahabatnya. Segala puji hanya bagi Allah Tuhan semesta alam.

Sumber : http://pejuangislam.com

0 comments:

Post a Comment