Masjid Al-Mansur (1717)Sawah Lio, Jembatan Lima, Jakarta Barat

Konon sebelum diberi nama Al Mansur, pembangunan masjid ini dirintis oleh seseorang dari Kerajaan Mataram bernama Abdul Malik. Abdul Malik adalah putra dari Pangeran Cakrajaya, yang sebelumnya bergabung dengan Tentara Mataram berperang di Batavia.

Tahun 1717 masehi tercatat sebagai tahun pembangunan masjid bermenara setinggi 50 meter, berkubah seperti topi baja kompeni, dan berjendela di sepanjang batang menaranya ini.

Tak ada catatan resmi, diberi nama apa masjid dengan atap seperti rumah biasa ini. Namun yang pasti seperti diakui oleh masyarakat sekitar daerah Kampung Sawah Lio, Tambora, alur sejarah masjid Al Mansur diyakini seperti itu adanya. Hingga dua abad kemudian kegiatan dakwah tetap diteruskan oleh keturunan Abdul Malik, seperti Imam Muhammad Habib, dan ulama-ulama perantau seperti Imam Muhammad Arsyad Banjarmasin, pengarang kitab Sabilil Muhtadin.

Imam Muhammad Arsyad Banjarmasin inilah yang kemudian memperbaiki letak mihrab masjid. Pembentulan arah kiblat itu diakukan bersama-sama dengan sejumlah ulama lokal pada 2 Rabiul Akhir 1181 H atau 11 Agustus 1767 M. Dua abad berikutnya, tanggal 25 Sya'ban 1356 H / 1937 M dibawah pimpinan KH. Muhammad Mansyur bin H. Imam Muhammad Damiri diadakan perluasan bangunan masjid. Berturut kemudian, untuk menjaga terpeliharanya tempat suci serta makam-makam para ulama (di depan kiblat), maka di sekitar masjid dibuatkan pagar tembok (sekarang berpagar besi).

Tahun '60-an adalah kali kedua masjid di Jalan Sawah Lio ini dipugar. Hasilnya seperti yang terlihat sekarang. Merapat dengan jalan di selatan, di bagian utara dan timur berdempetan dengan pemukiman. Seperti Masjid Al-Alam, Al-Anwar dan As-Salafiyah, bangunan asli masjid ini berukuran 10x10 m2 --bekasnya adalah bagian terendah di dalam masjid. Arsitekturnya pun tak jauh berbeda dengan model-model masjid masa itu. Beratap joglo dua tingkat dan ditopang empat pilar besar berdiameter 1,5 meter. Jendelanya hanya sebuah lobang segi empat berteralis kayu profil gada pada setiap sisi tembok. Model pintunya, berdaun dua dengan profil pahatan berlian. Kini, tembok, jendela dan pintu di semua sisinya dimajukan sejauh 10 meter.

Di masa awal setelah proklamasi kemerdekaan, masjid ini digunakan sebagai tempat mobilisasi pejuang sekitar Tambora, pimpinan KH. Muhammad Mansur. Sebuah pertempuran frontal dikisahkan pernah terjadi di muka masjid. Terjadi baku tembak antara pejuang RI yang berlindung di masjid dengan tentara NICA yang kala itu masuk dari Pelabuhan Sunda Kelapa bergeser ke selatan menuju daerah Kota lalu menyebar ke sekitar Tambora.

Baku tembak itu dipicu oleh tindakan berani KH. Mohammad Mansur yang mengibarkan bendera Merah Putih di atas kubah menara masjid. Sesudah peristiwa tersebut KH. Muhammad Mansur lalu dipanggil ke Hofd Bureau (Polsek) untuk diadili dan ditahan atas perbuatannya itu. Karena keaktifan Muhammad Mansur memimpin perjuangan dan pergerakan melawan Belanda, pemerintah memberi kehormatan dengan memberi nama masjid bersejarah itu Masjid Jami Al Mansur.

Dan nama beliau pun diabadikan untuk nama jalan persis di muka Jalan Sawah Lio II, Kelurahan Jembatan Lima. Tanggal 12 Mei 1967 KH. Muhammad Mansur wafat, dan kepengurusan masjid dekat Stasiun KA Angke dan Pasar Jembatan Lima ini dilanjutkan oleh Badan Panitia Kepengurusan Masjid Jami Al Mansur hingga sekarang.

0 comments:

Post a Comment