Masjid Al Anwar, Angke

Kata angke menurut sejarawan Perancis Denys Lombard berasal dari kata Tionghoa yang berarti Riviere qui deborde yakni kali yang (suka) banjir. Di Jakarta Barat terdapat sebuah kali yang dinamakan Kali Angke yang dulunya memang sering banjir.

Mungkin karena letaknya berada di dekat kali yang sering banjir tersebut, maka masjid yang memiliki nama resmi Masjid Al-Anwar ini lebih populer di masyarakat dengan nama Masjid Angke. Masjid ini konon memang sering kebanjiran sehingga ketinggian lantai ruang shalat dinaikkan lima anak tangga dari lantai ruang luarnya. Namun, letak masjid ini sebenarnya menarik yakni berada di sekitar kampung warga etnis yang bersejarah baik bagi masyarakat Bali, Banten, dan terutama masyarakat Tionghoa.

Saat ini, bangunan masjid tua yang sangat menarik ini berlokasi di sebelah selatan Jalan Tubagus Angke (dahulu Bacherachts-gracht), Kampung Rawa Bebek, Kelurahan Angke, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat. Berdasarkan sumber Oud Batavia karya Dr F Dehan, masjid didirikan pada hari Kamis, tanggal 26 Sya'ban 1174 H yang bertepatan dengan tanggal 2 April 1761 M oleh seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim dari Tartar yang bersuamikan orang Banten.

Menurut sejarawan Heuken dalam bukunya Historical Sights of Jakarta, kampung di sekitar Masjid Angke dulu disebut Kampung Goesti yang dihuni orang Bali di bawah pimpinan Kapten Goesti Ketut Badudu. Kampung tersebut didirikan tahun 1709. Banyak orang Bali tinggal di Batavia, sebagian dijual oleh raja mereka sebagai budak, yang lain masuk dinas militer karena begitu mahir menggunakan tombak, dan kelompok lain lagi datang dengan sukarela untuk bercocok padi. Selama puluhan tahun orang-orang Bali menjadi kelompok terbesar kedua dari antara penduduk Batavia (A Heuken SJ, 1997:166).

Selain orang-orang Bali, kampung sekitar masjid dulunya juga banyak dihuni masyarakat Banten dan etnis Tionghoa. Mereka pernah tinggal bersama di sini sejak peristiwa pembunuhan massal masyarakat keturunan Tionghoa oleh Belanda. Bahkan jika kita berkunjung ke tempat tersebut saat ini, akan kita lihat masih banyak warga etnis Tionghoa yang tinggal di perkampungan tersebut.

Sejarah pendirian masjid ini berkaitan erat dengan peristiwa di zaman Jenderal Adrian Valckenier (1737-1741), di mana beberapa kali terjadi ketegangan antara VOC dengan rakyat dan orang Tionghoa. Ketegangan memuncak pada tahun 1740 ketika orang-orang Tionghoa bersenjata menyusup dan menyerang Batavia. Karena kejadian ini, sang jenderal menjadi sangat marah dan memerintahkan untuk membunuhi orang-orang Tionghoa secara massal.

Namun, peristiwa ini diketahui Pemerintah Belanda sehingga sang jenderal dimintai pertanggungjawabannya dan dianggap sebagai gubernur jenderal tercela. Akibatnya, ia kemudian dipenjarakan Pemerintah Belanda pada tahun 1741. Dan tak lama kemudian sang jenderal pun akhirnya meninggal dunia.

Sewaktu terjadi pembunuhan massal itu, sebagian orang Tionghoa yang sempat bersembunyi dilindungi oleh orang-orang Islam dari Banten, dan hidup bersama hingga tahun 1751. Mereka inilah yang kemudian mendirikan Masjid Angke pada tahun 1761 sebagai tempat beribadah dan markas para pejuang menentang penjajah Belanda. Masjid konon juga sering dipakai sebagai tempat perundingan para pejuang dari Banten dan Cirebon.

Yang menarik dari penampilan masjid ini adalah langgam arsitekturnya yang merupakan perpaduan antara Jawa, Tionghoa dan Eropa. Langgam arsitektur Jawa dapat ditelusuri dari denah bangunan persegi, bentuk atap tumpang, dan sistem struktur saka guru. Bagaimanapun bentuk bangunan bujur sangkar dan atap tumpang seperti itu dengan jelas menunjukkan bentuk masjid tradisional Jawa. Termasuk sistem konstruksi empat saka guru di tengah ruang shalat yang menopang atap yang meskipun tidak menggunakan material kayu tetapi material beton/bata pada kolomnya, tetapi tetap memperlihatkan kesamaannya dengan sistem konstruksi masjid-masjid tradisional di Jawa.

Langgam Tionghoa dapat dilihat pada detail konstruksi pada skur atap bangunan yang mengingatkan pada skur bangunan Tionghoa atau klenteng. Skur kayu bertumpuk seperti ini memang merupakan pengaruh budaya Tionghoa yang juga banyak ditemukan di pantai utara Jawa antara abad ke-14 dan ke-18. Sedangkan bentuk dan detail pada ujung-ujung atap bangunan juga memperlihatkan langgam Tionghoa, meski ada yang berpendapat bahwa hal ini merupakan pengaruh seni bangunan Bali yakni punggel.

Sedangkan langgam Eropa dapat diamati terutama pada bukaan-bukaan seperti pintu, jendela dan lubang angin. Pintu-pintu di sini dicirikan dengan ukuran yang tinggi dan besar dan berdaun pintu ganda. Sedangkan jendelanya juga besar dan lebar-lebar, namun jeruji kayu ulir sebagai pengisi jendela seperti itu lebih menampakkan kemiripan dengan jendela khas rumah tradisional Betawi dan umum dipakai pada masjid-masjid kuno di Jakarta yang dibangun pada sekitar abad ke-18.

Masjid yang berbentuk bangunan tunggal dan kini menempati lahan seluas kurang lebih 500 m2 ini memiliki banyak elemen menarik. Elemen masjid yang paling unik yang dijumpai pada masjid ini adalah elemen Mimbar. Sebuah tempat khutbah berbentuk ceruk yang mirip seni sculpture tersebut menjadi aksen penting di dalam ruang shalat. Hiasan pada kiri dan kanan cerukan ini sangat serasi dengan tangga-tangga melingkar dari material marmer berwarna merah yang menuju ke kursi mimbar. Pola hiasan ini kembali diulang pada pengapit setiap pintu masuk terutama pada pintu utama (timur), yang diberi bingkai ukiran kayu. Bentuk mimbar memang sangat unik yang jarang dijumpai pada masjid-masjid lainnya di Jawa.

Selain itu, elemen ragam hias juga menjadi daya tarik tersendiri pada masjid yang pernah diperbaiki beberapa kali namun tetap menunjukkan ciri khasnya ini. Beberapa ragam hias yang menarik di antaranya adalah detail ukiran kayu corak floral natural dan kaligrafi pada kusen atau pintu utama, anak-anak tangga pintu masuk utama yang terbuat dari batu-batu candi berwarna merah, hiasan pada kanan dan kiri cerukan mimbar, dan hiasan pipit gantil pada setiap ujung atap bangunan masjid. Yang disebut terakhir ini sekilas nampak seperti ornamen "emprit gantil" pada konstruksi rumah-rumah tinggal di Jawa namun jika dilihat detailnya dengan jelas memperlihatkan sentuhan langgam Tionghoa.

Arsitek Unik

Dari segi penggunaan ruang, masjid juga memiliki keunikan yakni sudah terdapatnya semacam mezanin yang memanfaatkan ruang di bawah atap tumpukan. Mezanin yang bisa dicapai dari anak tangga di sebelah timur salah satu kolom saka guru ini konon dulunya dipakai untuk mengumandangkan adzan, itikaf dan tempat pertemuan-pertemuan penting. Mezanin seperti ini juga terdapat di Masjid Al-Mansyur di Jalan Sawah Lio Jakarta Barat yang telah berdiri sejak tahun 1717.

Di dekat masjid terdapat makam putra Sultan Pontianak Pangeran Hamid Al-Qadri yang dibuang ke Batavia pada masa Pemerintahan Hindia Belanda karena mengadakan pemberontakan pada sekitar tahun 1800-an. Makamnya terbuat dari batu pualam dan terdapat tulisan yang menyebutkan usia sultan yakni meninggal dunia dalam usia 64 tahun 35 hari. Ia meninggal pada tahun 1854. Namun nisan yang konon tertua adalah nisan Ny Chen, seorang wanita keturunan Tionghoa Muslim, dan kini disimpan di samping masjid.

0 comments:

Post a Comment