Irsyad al-’Ibad

Kitab ini mengajarkan pada setiap Mukallaf untuk menggapai kebenaran sejati.

Setiap Muslim menginginkan dirinya senantiasa berada di jalan yang lurus, yaitu jalan yang diridlai Allah SWT. Dan bagi mereka yang dari awal hingga akhirnya berada di jalan lurus itu, maka balasannya adalah surga yang dijanjikan Allah.

Namun, untuk menggapai itu tidaklah mudah. Banyak tantangan dan rintangan yang setiap saat siap menghadang. Tak jarang, tantangan dan rintangan itu benar-benar menjadi batu sandungan dan menyebabkan pelakunya jatuh atau berada di jalan yang salah. Jika tidak segera memperbaiki diri, maka dia akan tersesat dan balasannya adalah neraka.

Berkenaan dengan hal ini, maka ulama asal Malabar, India, yang bernama Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz bin Zainuddin al-Malibari, menyusun sebuah kitab dalam menuju jalan yang lurus tersebut, yaitu Irsyadul Ibad Ila Sabili al-Rasyad (Petunjuk bagi seorang hamba menuju jalan yang lurus).

Syekh Zainuddin mengawali kitabnya ini dengan mengajak setiap muslim untuk memulai segala perbuatan disertai dengan niat. Mengutip hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim dari Umar bin Khattab RA, Rasulullah SAW bersabda : ”Sesungguhnya tiap amal perbuatan itu tergantung pada niat. Dan seseorang akan mendapatkan bagiannya seperti yang diniatkannya. Bila dirinya niat hijrah karena taat pada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrah itu benar-benar kepada Allah dan RasulNya. Dan siapa yang niat hijrah untuk keuntungan dunia atau wanita yang akan dikawininya, maka hijrahnya terhenti pada apa yang ia hijrah karenanya.” (HR Bukahri dan Muslim).

Hampir sama dengan kitab-kitab fikih yang disusun para ulama, kitab yang disusun oleh Zainuddin Al-Malibari ini juga menitikberatkan pada masalah fikih. Hanya saja, bila ulama lainnya memulai pembahasan dari cara bersuci (taharah), maka Zainuddin Al-Malibari mengawalinya dengan pembahasan tentang Iman (beriman kepada Allah SWT). Tujuannya, agar setiap Muslim bisa mengingatkan pada dirinya sendiri tentang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah.

Dalam sebuah riwayat dijelaskan, ketika Rasulullah SAW sedang mengajarkan ilmu dan ayat-ayat Alquran pada para sahabatnya, tiba-tiba datanglah seseorang yang langsung bertanya pada beliau. Orang tersebut yag kemudian dijelaskan oleh Rasulullah sebagai Malaikat Jibril AS tersebut, menanyakan tentang makna Iman, Islam dan Ihsan. Nabi menjelaskan, iman itu adalah percaya kepada Allah yang tertanam dalam hati, kemudian diungkapkan dengan perkataan (lisan), dan dilaksanakan dengan amal perbuatan.

Sedangkan makna Islam, jelas Rasul, adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, mengerjakan shalat, puasa, zakat dan melaksanakan haji bila mampu. Adapun makna Ihsan, menyembah Allah SWT dengan sebenar-benarnya seolah-olah kita sedang melihat-Nya dan apabila kita tidak melihat-Nya, yakinlah bahwa Allah SWT melihat dan mengetahui setiap gerak-gerik makhluk-Nya.

Berdasarkan hal ini, maka Syekh Zainuddin memulai pembahasan kitabnya dengan bab Iman. Berikutnya baru kemudian dijelaskan, tentang bab bersuci, shalat, puasa dan zakat. Namun, diantara pembahasan masalah tersebut, Syekh Zainuddin menyelinginya dengan pembahasan tentang bagaimana caranya menjadi seorang mukmin yang baik. Seperti harapan, zuhud, sabar dan lain sebagainya. Karena itu, kitab ini menjadi semakin menarik untuk dipelajari. Sebab, didalamnya selain diterangkan tentang masalah ibadah, tetapi juga dibahas tentang masalah pernikahan, perceraian, membangun rumah tangga yang harmonis, cara mendidik anak dan lainnya.

Dalam bab shalat, ulama terkemuka India ini mengawalinya dengan penjelasan tentang keutamaan shalat fardhu. ”Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya atas setiap orang-orang yang beriman.” (QS An-Nisaa ayat 103).

Dalam ayat lain Allah berfirman : ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kesibukan terhadap harta dan anak-anakmu, menyebabkan kamu lalai dalam mengingat Allah (Shalat, Red). Siapa yang berbuat demikian, merekalah orang-orang yang merugi.”

Sementara itu, Rasulullah bersabda : ”Pertama kali yang diwajibkan atas ummatku adalah shalat lima waktu, pertama yang terangkat dari amal mereka juga shalat lima waktu, dan yang akan ditanya dari amal mereka adalah shalat lima waktu.”

Dari Jabir RA, Rasulullah SAW bersabda : ”Perumpamaan shalat lima waktu itu bagaikan sungai yang lebar mengalir dimuka pintu salah satu rumah kamu, lalu ia mandi daripadanya tiap hari lima kali. Apakah yang demikian itu masih ada kotoran yang tertinggal pada badannya?” (HR Muslim).

Dalam kitab Az-zawajir karya Ahmad bin Hajar al-Haitami disebutkan, ”Siapa yang menjaga shalat lima waktu maka Allah akan memuliakannya dengan lima kemuliaan, yaitu dihindarkan kesempitan hidup, dijauhkan dari siksa kubur, diberi kitab amalnya dengan tangan kanannya, berjalan diatas shiratal mustaqim bagaikan kilat, dan masuk surga tanpa hisab.

Dan bagi mereka yang meremehkan atau meninggalkan shalat, maka mereka akan dihukum dengan 15 siksaan, masing-masing lima di dunia, lainnya disiksa ketika meninggal dunia, siksa alam kubur dan ketika keluar dari kubur.

Adapun siksa didunia itu antara lain, dicabut barokah umurnya, dihapus tanda orang shalih dari mukanya, tiap amal yang dikerjakan tidak diberi pahala oleh Allah, doanya tidak dinaikkan ke langit, dan dia tidak dapat bagian doa orang shaleh.

Adapun hukuman yang diterima ketika mati, antara lain, matinya hina, mati kelaparan, dan mati haus. Dan andaikan diberi air samudera dunia maka hal itu tidak akan membuatnya puas, malah tetap akan merasakan kehausan.

Sedangkan hukuman yang menimpa dalam kubur, adalah disempitkan kubur sehingga hancur tulang-tulang rusuknya, dinyalakan api dalam kubur, maka ia bergelimpangan dalam api, siang dan malam dan didatangkan padanya ular yang matanya berapi. Ular itu bernama Syuja’ al-Aqra’. Itulah balasan bagi mereka yang enggan melaksanakan shalat. Wa Allahu A’lamu.

***

Setelah pembahasan tentang masalah shalat, Syekh Zainuddin Al-malibari kemudian melanjutkan pembahasan lainnya. Diantaranya tentang harapan. Mengutip ayat Alquran surah Al-Zumar ayat 53, Syekh Zainuddin mengajak orang mukmin untuk menggantungkan segala sesuatunya hanya kepada Allah.

”Katakanlah (Hai Muhammad) : Hai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. SAesungguhnya, Allah mengampuni segala dosa. Dan sesungguhnya Dia-lah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Dalam sebuah riwayat disebutkan, ada seorang wanita Bani Israil telah datang kepada Nabi Musa AS dan berkata; ”Ya Nabiyallah, aku telah berbuat dosa besar dan kini aku akan bertaubat kepada Allah. Doakan aku semoga Allah mengampuniku dan menerima taubatku.”

Lalu Nabi Musa bertanya; ”Dosa apakah yang kamu lakukan?” Wanita itu menjawab : ”Ya Nabiyallah, aku telah berzina hingga melahirkan anak dan telah aku bunuh anakku itu.” Mendengar cerita wanita tersebut, Nabi Musa terus menghardiknya. ”Pergilah engkau dari sini wahai pelacur. Jangan kau bakar kami dengan apimu. Jangan sampai ada api turun dari langit dan membakar kami karena perbuatan sialmu.”

Kemudian pergilah wanita itu meninggalkan Nabi Musa AS dengan hati yang hancur dan patah harapan. Beberapa saat kemudian turunlah Malaikat Jibril dan berkata; ”Wahai Musa, Allah berkata kepadamu, mengapa engkau menolak orang yang datang untuk bertaubat? Hai Musa, apakah tidak ada orang yang lebih jahat daripadanya?” Nabi Musa malahan bertanya kepada Jibril; ”Siapakah orang yang lebih jahat daripadanya?” Lalu Malaikat Jibril menjawab : ”Orang yang meninggalkan sholat dengan sengaja.”

Keterangan diatas, mengharapkan agar setiap pribadi Muslim senantiasa bersikap optimis dan menggantungkan harapan besar pada Allah SWT.(sya/republika)

0 comments:

Post a Comment